Sudah enam bulan lebih satu minggu Bima berada di Jogja. Bima belum tahu di mana Sovia. Meski dia belum paham dengan Kota Jogja, tapi dia terus mencari Sovia di setiap sudut kota Yogyakarta dengan meminta bantuan manager cafenya yang memang orang Jogja asli, untuk membantunya mencari Sovia, tapi tetap saja dia belum juga menemukan Sovia.
Malam hari, Bima keluar dari rumahnya. Dia merasa jenuh di rumah saja, dan sendiri di rumahnya. Tidak ada teman mengobrol, dan tidak ada hal yang ia lakukan selain menonton TV atau nonton film kesukaannya.
Bima melajukan mobilnya, entah dia mau ke mana, tidak tahu arah dan tujuannya. Bima belum paham tentang Jogja, yang ia tahu hanya Malioboro, Alun-alun kidul, dan mungkin dia hanya tahu itu saja. Dia biasnya keluar dengan manager cafenya yang bernama Ikbal, tapi malam ini Ikbal sepertinya sedang sibuk dengan kekasihnya. Jadi, Bima terpakasa keluar sendiri, tanpa arah dan tujuan.
Bima melihat keramaian di sekitar Jalan Malioboro. Dia memarkirkan mobilnya, dan keluar dari dalam mobilnya. Meski sendirian di kota orang Bima tidak pernah merasakan kesepian, hati dan jiwanya sudah penuh tentang Sovia yang selalu hidup dalam hatinya.
Bima duduk di bangku dan memesan kopi untuk menemaninya melihat orang yang berlalu lalang di depannya.
“Andai saja ada kamu, Sov. Kamu di mana, Sayang?” batin Bima.
Bima melihat dua orang gadis seusia Aina adiknya. Pikirannya langsung tertuju pada adik perempuan semata wayangnya itu. Adik yang sangat ia sayangi, dan paling mengerti Bima setelah Bagas. Sudah enam bulan Bima belum juga ingin pulang ke Surabaya, dan Bima juga tidak memberikan alamat rumahnya yang baru pada mamanya. Dia tidak mau mamanya datang bersama Alesha. Bima hanya memberikan alamatnya pada papa dan opanya saja.
“Ih, buruan, Meta ... nanti bu bos nungguin!”
“Sebentar, kita foto di sini dulu, Feb!”
Dua gadis itu sedang berpose mengambil foto dengan lucu dan bergantian. Bima melihatnya hanya tersenyum, karena dia mengingat Aina yang tingkah polahnya sama dengan gadis itu.
“Mas, minta fotoin sebentar dong,” pinta salah satu gadis tersebut yang bernama Meta pada Bima.
“Boleh, sini Kakak fotoin.” Bima menerima ponsel milik gadis itu.
“Febby, ayo ikutan!” teriak Meta.
“Eh ... bapak yang sering beli bunga lily dan lavender, juga sering beli cake di toko bunga tempat saya kerja, kan?” tanya Febby.
“Eh, iya, kamu karyawan di situ, ya? Pantas dari tadi saya melihat Mbaknya seperti saya pernah lihat di mana,” jawab Bima.
“Iya, Pak. Duh, Pak ... maafkan teman saya yang bar-bar ini, ya?” ucapnya.
“Met, jangan malu-maluin, ih ....!” tukas Febby.
“Sudah, sana berpose, biar saya ambil foto kalian,” ucap Bima.
Bima memotret mereka. Untung Bima cukup ahli memotret, jadi hasilnya tidak mengecewakan mereka.
“Ini bagus sekali, Pak,” ucap Febby.
“Eh, iya, bagus ya, Feb?” imbuh Meta.
“Kalian berdua saja di sini?” tanya Bima.
“Sama Bu Bos saya, Pak. Dia sedang merenung di sana, aku ajak foto-foto tidak mau,” jawab Febby.
“Kenalkan, saya Bima, kalian siapa?” tanya Bima dengan memperkenalkan dirinya.
“Saya Febby, Pak,” jawab Febby.
“Saya Meta, kerja bareng sama Febby, tapi saya seringnya di belakang bantu Bu Bos cantik bikin cake, jadi gak pernah lihat bapaknya beli bunga sama cake,” jawab Meta.
Meta meminta Bima untuk memotretkan dirinya lagi. Baru saja mengenal Bima, dia sudah seperti kenal lama dengan Bima. Tidak ada basa-basinya, dia langsung meminta Bima mengambil fotonya lagi.
“Astaga ... kalian aku cariin ternyata di sini. Ini sudah malam, ayo pulang!” Seorang perempuan mendekati Meta dan Febby yang sedang berfoto.
“Sovia?” panggil Bima.
“Bi—Bima?” Sovia melihat Bima dengan tatapan sendu.
“Kamu di sini ngapain, Bim?”
“Kamu ternyata di sini, Sov? Aku cari kamu Sovia, aku cari kamu ke mana-mana, dan ternyata kamu di sini? Kita di kota yang sama? Sov, kenapa kamu pergi?” Bima mendekati Sovia, tapi Sovia semakin menjauhi Bima.
“Meta, Febby, ayo kita pulang!” ajak Sovia.
“Tunggu, Sov! Jangan pergi, please ... kita bicara baik-baik.” Bima memegangi tangan Sovia yang akan pergi.
“Bim, lepaskan, aku mau pulang,” ucap Sovia dengan suara serak karena menahan tangisnya.
“Kita bicara sebentar, Sov. Sebentar saja, aku mohon,” pinta Bima.
“Febby, Meta, kalian boleh tunggu di dekat mobil, aku mau bicara dengan Bima,” titah Sovia pada kedua karyawannya.
Bima mengajak Sovia duduk di bangku yang tadi ia duduki sendirian. Mereka saling terdiam, belum ada percakapan di antara mereka berdua. Sovia sebenarnya sangat merindukan Bima. Namun, dia selalu ingat akan kata-kata mamanya Bima yang melarangnya untuk bersama Bima.
“Sov, jangan pergi lagi, aku mohon,” ucap Bima dengan menggenggam tangan Sovia.
“Bim, untuk apa kamu di sini? Untuk apa kamu mencariku? Percuma saja, Bima, kita tidak bisa bersatu,” ucap Sovia.
“Jangan bicara seperti itu, Sov. Kita berusha, kita sama-sama meyakinkan mama. Aku yakin mama akan mengerti.” Bima meyakinkan Sovia.
“Jangan menentang orang tua kamu, Bim. Aku tidak yakin Tante Riri merestui hubungan kita.”
“Percaya padaku, kita pasti bisa bersama, Sov.”
“Aku tidak tahu, Bim. Yang aku tahu, aku sangat mencintaimu. Sesakit ini, Bim? Mencintai seseorang yang tidak direstui mamanya? Dan, mamanya sangat membenci aku? Apa ini karma untukku atas perbuatan orang tuaku?”
“Sov, jangan bicara seperti itu, yang berlalu ya sudah, biar saja berlalu. Kita butuh masa depan, Sov. Masa depanku, kamu.”
Sovia tidak tahu harus bagaimana, bertemu Bima adalah keinginannya, dan hidup bersama Bima adalah impiannya. Namun, bagaimana bisa dia meraih mimpinya, sedang restu orang tua Bima menjadi penghalang impiannya?
“Kamu kenapa di sini, Bim?” tanya Sovia.
“Aku memutuskan untuk menggeluti bisnis kuliner di sini. Aku mendirikan cafe di daerah X, yang dekat dengan Aksa Florist. Itu toko bungan kamu, kan?” jawab Bima.
“Jadi benar itu Cafe milik kamu? Aku pernah sepintas melihat orang yang seperti kamu, di dalam cafe itu, aku menunggu dia keluar, namun tak kunjung keluar,” ucap Sovia.
“Iya, itu Cafe milikku. Ruko itu, dan ruko sebelahnya yang aku buka restoran jepang, itu milik Opa. Aku disuruh opa mengelolanya. Dan, ayah mendukung, karena Ayah yakin kamu ada di sini,” jelas Bima.
“Kenapa Om Alex yakin aku di sini?”
“Ayah bilang, ayah kamu asli sini, dan kamu masih punya opa dan bibi kamu di sini. Itu kenapa ayah yakin, kamu pulang ke tanah kelahiran ayah kamu.”
“Om Alex memang akrab dengan ayah kata eyang. Eyang pernah cerita tentang Om Alex.”
“Apa kamu menceritakan hubungan kita pada eyang kakungmu?”
“Iya, aku menceritakan semua sama Eyang. Aku harus cerita dengan siapa lagi kalau tidak dengan eyang, Bim? Om Rudi dan Tante Tasya? Aku sudah jauh dari mereka, bahkan mereka sampai saat ini tidak tahu aku di sini.”
“Iya, Silvi juga tanya sama aku, dia juga sempat menemui Arga dengan suaminya.”
Bima mengobrol cukup lama dengan Sovia, hingga malam semakin larut dan udara juga sudah semakin dingin. Meta dan Febby dari tadi menunggu Sovia yang masih saja mengobrol dengan Bima.
“Met, sampai nih tempat sepi, Bu Bos pasti gak balik-balik, atau jangan-jangan mereka ada hubungan khusus, Met?” tanya Febby.
“Entahlah, aku ngantuk, Feb. Bu Bos tega menyiksa kita,” jawab Meta.
“Yuk, ah ke sana, ajak Bu Bos pulang, Aksa juga kan sendirian di rumah, sama Bibi Ani saja di rumah,” ujar Febby.
“Iya, sana panggil Bu Sovi,” ujar Meta.
Febby mendekati Sovia dan Bima yang sedang duduk dan mengobol. Mereka seperti sedang melepas rindu yang lama tidak tercurahkan.
“Bu Bos, ayo pulang, gak kasihan sama Aksa?” ajak Febby.
“Eh iya, Bim. Sudah hampir jam dua belas malam ternyata, kasihan Aksa aku tinggal sendirian di rumah sama bibi saja,” ucap Sovia.
“Aksa? Siapa Aksa?” tanya Bima.
“Anak panti yang aku adopsi, dia baru sebelas bulan, besok ke toko bunga saja, biar kamu kenal dengan Aksa. Dia sangat lucu, Bim,” jawab Sovia.
“Ya sudah, kamu pulang gih, kasihan Aksa. Besok aku ke toko bungamu, terima kasih ya, Sov?” ucap Bima.
“Untuk?” tanya Sovia.
“Karena kamu sudah berjanji tidak akan pergi lagi,” jawab Bima.
“Iya, Bim.”
Sovia pamit pulang dengan Bima, begitu juga dua karyawan Sovia yang setia, yang ia kenal saat di panti. Mereka adalah anak yatim piatu, jadi sama seperti Sovia yang sudah tidak memiliki ayah dan ibu. Sovia juga sangat menyayangi mereka, seperti adik Sovia sendiri.