*P.O.V Sovia*
Aku yakin itu Bima, yakin sekali. Tapi, kenapa dia di sini? Untuk apa? Apa dia tahu soal aku yang berada di sini? Atau mungkin hanya sebetas bisnis saja dia ke sini? Aku merindukan Bima, sungguh rindu sekali. Namun, aku tidak mengingkari janjiku pada Tante Riri. Aku harus menjauhi Bima. Ya, harus menjauhinya. Aku tidak mau bermasalah dengan Tante Riri lagi. Tapi, bagaimana aku? Bagaimana dengan nasib hatiku ini?
Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku harus bisa melawan rasa yang ada di dalam hatiku. Rasa cinta, sayang, dan rindu untuk Bima, agar aku tidak terlalu menggebu-gebu untuk tetap bersama Bima. Tante Riri selamanya tidak akan pernah menyetujui hubunganku dengan Bima. Aku tidak boleh memaksakan semua ini, aku tidak mau Bima menjadi anak yang durhaka pada ibunya karena aku.
Apa mungkin Arga yang memberitahu Bima kalau aku ada di sini? Kalau iya, dia benar-benar tidak bisa menjaga janjinya.
“Arga, kamu tidak bilang siapa-siapa kalau aku di sini, kan?” tanyaku pada Arga.
“Tidak, bahkan kemari Om Reza dan Tante Tasya ke kantor untuk mencari tahu soal kamu aku sama sekali tidak memberitahukannya. Silvi dan Adam juga ke rumah, menanyakan kamu, tapi aku sama sekali tidak mengatakan apa-apa soal keberadaan kamu,” jawab Arga.
“Lalu Bima? Apa kamu memberitahukan soal aku yang di sini pada Bima?” tanyaku lagi.
“Tidak, Sov. Bima hanya menemuiku sekali saja, setelah itu tidak pernah lagi. Memang kenapa?” tanya Arga.
“Aku kira kamu memberitahukan dia soal aku yang berada di sini,” jawab Sovia.
Apa aku harus bilang pada Arga kalau tadi aku melihat Bima di sini? Ah ... lebih baik jangan kasih tahu dia. Sudah, mungkin aku salah melihat orang. Karena aku merindukannya, jadi aku lihat orang seperti Bima.
Tapi, hati ini, d**a ini sesak dan bergemuruh sekali, seperti saat bertemu dengan Bima. Hati ini meyakinkan aku kalau itu Bima. Hatiku tidak bisa berbohong kalau soal Bima. Entah, aku tidak mengerti dengan diriku ini. Setiap ada Bima hati ini rasanya bergemuruh, tidak menentu sekali rasanya.
Aryasatya Bagus Bimantara. Sosok lelaki yang sangat aku cintai. Aku tidak tahu, kenapa rasa terlalu benci berubah dengan rasa Cinta yang sungguh besar untuk Bima. Bahkan aku rela menutup hatiku untuk Arga yang jelas-jelas lelaki baik-baik, dan ibunya pun baik denganku. Setelah kejadian di Resort dengan Marchel itu, aku putuskan untuk menutup hatiku untuk laki-laki. Tapi, kenapa hati ini berlabuh pada Bima? Laki-laki yang menyelamatkanku dari kebejatan Marchel saat itu.
Aku tidak pernah tahu akan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya dengan adik tiriku yang sangat aku benci. Ya, aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya padanya, karena aku sama sekali tidak bisa membuka hati untuk laki-laki lain, padahal sudah jelas, mamanya Bima tidak merestui hubungan kami. Bahkan mamanya Bima pernah bersumpah di hadapanku, tidak akan pernah merestui hubungan Bima dan aku sampai mati. Itu artinya tidak ada harapan untukku bersama Bima. Tidak ada harapan untuk menikah dan hidup bahagia dengan Bima.
Menikah tanpa sepengetahuan Tante Riri pun tidak mungkin terjadi. Aku tidak mau membawa seorang anak laki-laki untuk durhaka dengan ibunya. Aku juga tidak mau menikah tanpa adanya restu, apalagi tidak direstui oleh seorang ibu. Wanita yang sudah melahirkan Bima. Cinta tanpa restu hanya sebuah kehampaan. Hubungan tanpa restu bagai hidup tak bernapa. Mati. Iya mati, mati segalanya, kebahagiaan pun rasanya tidak pernah hidup dengan seseorang yang menjalin hubungan tanpa restu.
Aku sudah cukup bahagia, apalagi ada Aksa yang menjadi hiburanku. Aksa yang sudah merubah hidupku menjadi sedikit berwarna. Tidak keabu-abuan lagi. Aku seolah memiliki semangat hidup lagi karena ada Aksa. Aku bisa merawat dia dan bisa menikmati masa-masa indah menjadi seorang ibu, yang mungkin nantinya aku tidak akan bisa merasakannya.
Bagaimana aku bisa merasakan menjadi seorang ibu? Ingin menikah dengan orang yang aku cintai saja tidak bisa. Tidak direstui. Aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai. Aku menunggu restu dari Tante Riri, meski tidak mungkin mendapatkan restu dari beliau. Dan, jika tidak mendapatkan restu Tante Riri, selamanya aku tidak akan pernah menikah. Aku janji itu.
Aku tidak mau pernikahanku sia-sia tanpa cinta. Aku tidak bisa mencintai laki-laki selain Bima, meski laki-laki itu lebih baik dari Bima, orang tuanya pun lebih baik dari Tante Riri. Ya, seperti Arga. Arga mencintaiku, dan ibunya pun sangat merestui hubungan kami. Namun, aku tidak mau, karena aku tidak mencintai Arga. Aku hanya menganggap dia teman baikku. Rekan bisnisku yang sangat membantuku saat ini.
“Di sini ada Cafe baru, kamu pengin coba?” Aku menawari Arga untuk mencoba Cafe baru yang dekat dengan toko bungaku.
“Ehm ... boleh, kalau kamu yang traktir,” jawab Arga.
“Jelas aku yang traktir dong, kan aku yang ngajak. Kamu tahu toko bungaku, kan? Nanti sebelah utaranya ada ruko-ruko baru, nah di situ Cafenya. Kata Lani di sana enak, makanannya juga lumayan enak, lama kan kita tidak nongkrong di cafe,” jelasku pada Arga.
“Boleh-boleh, sebelum aku pulang, kita ke cafe dulu,” ucap Arga.
“memang kamu mau pulang kapan? Katanya mau agak lama di sini?” tanyaku.
“Kantor bagaimana coba? Kamu gak ada, aku gak ada, masa iya aku titipin Yunita terus? Lagian aku besok pagi ada meeting, jadi nanti siang aku harus pulang ke Surabaya,” jelas Arga.
“Oke, kita ke cafe dulu, ya?” ajakku, dan di iyakan oleh Arga.
Kami sudah sampai di depan Cafe yang baru beberapa hari buka. Katanya Lani cukup enak tampatnya, dan menu makanannya juga katanya tidak kalah dengan cafe-cafe lainnya yang sudah terkenal.
Kami masuk ke dalam cafe, aku menggendong Aksa yang dari tadi diam, dan tidak rewel sama sekali. Dia tidak pernah rewel. Aksa anak yang pintar sekali, itu mengapa aku ingin sekali mengadopsinya.
Aku memesan minuman dan makanan, begitu juga Arga. Cafenya memang nyaman sekali, dan banyak sekali pengunjungnya. Mungkin benar, selain tempat yang nyaman, di sini juga makanannya enak.
Mataku memandangi sekeliling cafe yang cukup luas. Penataannya sangat klasik dan tidak membosankan jika lama-lama di sini. Sejenak pandanganku berhenti saat melihat sekelebat bayangan laki-laki yang keluar dari sebuah ruangan dan menuju ke dalam.
Bima? Ya, laki-laki itu seperti Bima. Kenapa aku dari tadi melihat orang seperti Bima? Apa itu beneran Bima? Rasanya tidak mungkin, karena pasti yang keluar dari ruangan itu manajer Cafe atau pemilik Cafe. Masa Bima pemilik cafe ini? Mana mungkin?
Aku terus mengedarkan pandanganku ke dalam, menunggu laki-laki itu kembali ke ruangan tadi. Tapi, Arga mengagetkanku, dia menyuruhku mencicipi pesanan minuman dan makanan yang sudah diantar oleh pelayan Cafe.
“Maaf, Arga aku tadi lihat barista itu. Dia cantik, sekali,” ucapku.
“Cantikan kamu, Sov. Coba deh kamu coba makanan kamu, ini enak banget, Sov. Benar kata Yunita, cafe ini memang rekomanded banget,” ucap Arga.
Aku mencicipi makananku dan minumanku. Ya, memang rasanya pas di lidah, dan memang enak. Pantas saja cafe ini rame sekali. Untuk masalah harga juga cocok di kantong pelajar dan mahasiswa.
Lagi-lagi aku mengedarkan pandanganku ke ruangan tadi. Dan, sayangnya baru saja ruangan itu di tutup oleh seseroang yang masuk ke dalam. Mungkin orang yang mirip Bima sudah masuk ke dalam. Tapi, aku tidak yakin itu Bima.