LARA - 21

2093 Kata
Bima sudah sampai di depan rumah mamanya. Sovia menolak untuk turun, dia benar-benar tidak ingin membuat mamanya Bima marah lagi, tidak mau membuat keributan malam ini. Mobil Alesha juga sudah terparkir di halaman rumah Bima. Sovia masih terdiam di dalam mobil, dan kekeuh tidak ingin keluar dari mobil. “Sov, katanya kita mau  hadapi bersama? Ayo dong turun?” ajak Bima. “Bim, aku tidak ingin Tante Riri yang bahagia, jadi marah lihat aku datang. Lihat raut wajah mamamu, beliau terlihat bahagia sekali,  Bim. Dia kangen sama kamu, lama tidak pulang, sekali pulang kamu malah membuat mamamu sakit hati,” ucap Sovia. “Kan memang tujuan kita seperti itu, Sov? Papa tahu, Alesha dan kedua orang tuanya juga tahu,” jelas Bima. “Lalu mamamu? Pasti akan kecewa sekali, Bim. Kalau aku ikut masuk,” ucap Sovia. “Sov, aku mohon.” Bima memohon dengan wajah memelas pada Sovia. Itu kelemahan Sovia, saat Bima sudah memohon padanya sesuatu, dan melihat Bima yang wajahnya memelas. “Oke, kita turun. Tapi, ini yang terakhir, Bim. Kalau mama kamu tetap tidak merestui hubungan kami, kita cukup ya, Bim? Jangan meneruskan hubungan yang salah ini. Aku mohon, jangan sakiti mamamu. Mamamu sudah terlalu sakit karena bunda dan Papa Reza. Aku tidak mau menyakitinya, biar aku yang sakit, biar aku yang pergi. Aku akan melupakan rencana kita hidup bersama, tanpa harus berhenti mencintaimu. Aku mencintaimu, Bim. Sangat mencintaimu, tapi kalau cintaku ini menyakitkan orang lain, yang tak lain adalah mamamu, aku tidak bisa memaksa diri ini untuk memilikimu. Cinta tak harus memiliki, Bim. Untuk apa memiliki, kalau hanya menyakiti orang, apalagi orang yang aku sakiti seorang ibu. Aku tidak bisa,” ucap Sovia. “Sov, tapi?” “Enggak ada tapi-tapian, Bim. Oke kita turun,” tukas Sovia. Sovia turun dari dalam mobilnya. Dia melihat mamanya Bima yang menatap sengit pada dirinya. Takut. Itu yang ada di dalam diri Sovia. Sovia takut kalau mamanya Bima akan kambuh sakit darah tingginya. Masalah mamanya Bima mengeluarkan kata-k********r, itu sudah biasa bagi Sovia. Yang dia takutkan itu tadi, kalau mamanya Bima sakit lagi. Dia sudah merasakan bagaimana melihat bundanya sakit dulu. Dia tidak ingin menyakiti hati seorang ibu. Riri mengahampiri Sovia dengan menatap sinis dan mengepalkan kedua telapak tangannya. Dia tidak menyangka, Bima bersama Sovia lagi. Jadi selama ini Bima sudah membohongi dirinya, pindah ke Jogja meninggalkan perusahaannya hanya untuk menemui Sovia, bukan untuk menekuni bisnis kulinernya di Jogja. “Jadi ini, Bim? Jadi ini kamu rela meninggalkan perusahaan, lalu ke Jogja bilangnya mau menekuni bisnis kuliner, tapi malah menemui wanita ini! Mama harus bilang berapa kali lagi, Bim? Lupakan wanita yang sudah membuat hidup kita sengsara! Kamu sama sekali tidak mengerti hati mama, Bima. Mama tidak menyangka kamu sangat menyakiti mama.” Riri sangat kecewa dengan putra kesayangannya itu. Putra yang selalu ia banggakan, tapi malah menyakitinya karena mencintai anak dari perebut suaminya dulu. “Kamu! Kamu masih berani menampakkan wajah di depanku? Kamu mau mengambil Bima dariku, setelah dulu kamu mengambil papanya Bima? Kamu belum tahu rasanya kami dulu saat papanya Bima kamu ambil. Kamu dan bundamu sama saja! Suka merebut kebahagiaan orang! Kamu tahu, kan? Ada Alesha di sini, dia calon istri Bima. Jangan menjadi wanita perebut milik orang, kamu masih muda! Mau jadi seperti bundamu? Ah, jelas saja mau lah! Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pergi! Aku minta angkat kaki dari rumah ini! Selamanya, sampai akhir hidupku, aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Demi Allah, aku tidak akan merestui hubungan kalian sampai aku mati!” Amarah Riri sudah tidak bisa dibendung lagi. Dadanya sesak, napasnya tersengal-sengal, karena saking marahnya dengan Bima yang sudah membohongi dirinya. “Dan kamu, Bima! Sekarang mama mau kamu pilih, kamu mau pilih mama, menuruti mama untuk meninggalkan wanitamu itu, atau kamu memilih pergi dengan wanita itu!” tegas Riri pada Bima. Bima hanya diam, dia tidak mungkin meninggalkan mamanya, apalagai Sovia. Dia tidak bisa, tapi mau bagaimana lagi, dia malam ini sudah membuat mamanya marah dan sakit hatinya. “Ma, Bima sayang sekali sama mama. Bima juga mencintai Sovia. Ma, apa tidak ada sedikit restu dari mama untuk hubungan kami? Ma, mau sampai kapan mama dendam dengan kejadian dulu? Mengingat terus kejadian yang menyakitkan itu. Ma, Bima mohon restui hubungan kami.” Bima berlutut di depan mamanya, memeluk kaki mamanya, dia tidak tahu harus bagaimana lagi, selain berlutut meminta restu pada mamanya untuk menikahi Sovia. “Sampai mama mati, mama tidak akan merestui kamu dengan Sovia!” tegas Riri. “Pergi kamu dari sini!” usir Riri pada Sovia. “Maaf, Bim. Seperti yang aku bilang tadi, jangan lagi meminta restu hubungan kita pada mamamu. Kita tidak bisa sama-sama, Bim. Aku pergi, pilihan mamamu yang terbaik, Bim. Kita tidak bisa terus-terusan menyakiti mamamu, aku tidak mau menyakitinya terus,” ucap Sovia, lalu pergi meninggalkan rumah Bima. “Kak, Kak Sovia, tunggu!” Alesha menghentikan langkah Sovia, dia berlari ke arah Sovia. Alesha sudah janji dengan dirinya sendiri kalau dia akan memabantu hubungannya Sovia dan Bima supaya direstui mamanya Bima. “Ada apa, Al?” tanya Sovia. “Jangan pergi, Kak. Kakak jangan menyerah seperti ini,” ucap Alesha. “Al, bukan kakak menyerah. Kakak hanya tidak ingin menyakiti seorang ibu. Kakak sudah sangat menyakiti mamanya Bima. Sudah ya, Al. Aku titip Bima. Aku pergi, tolong jangan bujuk Kakak lagi, ini sudah selesai, Al. Kakak sudah membicarakannya tadi sebelum turun dari mobil dengan Bima. Kita masih bisa komunikasi, masih bisa ketemu lagi, tapi tolong jangan paksa kakak terus dengan Bima. Sekali lagi, kakak tidak mau menyakiti Tante Riri,” jelas Sovia. “Kakak mau ke mana?” tanya Alesha. “Kakak mau pulang langsung ke Jogja. Kakak titip Bima, ya?” jawab Sovia. Alesha memeluk Sovia. Dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat agar hubungan Sovia dan Bima tidak berakhir. Tapi, melihat mamanya Bima yang seperti itu Alesha juga tidak tega. Alesha merasakan apa yang mamanya Bima rasakan. Alesha berada di posisi yang sulit saat ini.  Di sisi lain, dia ingin membantu Sovia dan Bima supaya mendapat restu, tapi di sisi lain, dia tidak tega melihat mamanya Bima yang sudah terlanjur sakit hati dengan Sovia. “Aku harus bagaimana? Kalau aku membantu mereka, juga ujungnya Tante Riri tidak bisa menerima Kak Sovia, aku melihat Tante Riri sangat benci dengan Sovia,” gumam Alesha. Alesah menguraikan pelukannya. Alesha menatap wajah Sovia yang basah karena air matanya terus mengalir membasahi pipinya. “Kakak pulang, Al,” pamit Sovia. “Om, tante, Sovia pulang dulu,” pamit Sovia pada kedua orang tua Alesha. Bima masih terdiam, menatap kepergian Sovia. Dia ingin mengejarnya, tapi melihat mamanya yang masih  menangis di pelukan ayahnya dia tidak tega. Dia merasa sudah sangat menyakiti mamanya malam ini dengan membawa Sovia. Namun, dalam hatinya dia masih ingin menyusul Sovia besok atau lusa. Dia masih ingin bersama Sovia, meski tanpa restu dari mamanya. Alex membawa Riri masuk ke dalam. Alex menyuruh istrinya duduk di sova lalu dia mengambilkan air putih hangat untuk istrinya. Alesha mendekati Riri yang masih lemas karena napasnya sedikit sesak. “Kamu ada hubungan apa dengan Sovia, Al? Apa kamu sudah terpengaruh Bima dan Sovia, jadi kamu berpihak pada mereka?” tanya Riri. “Tante, Kak Sovia itu teman masa kecilku yang selama ini aku cari. Aku tidak menyangka kalau Kak Sovia adalah temanku dulu,” jawab Alesha. “Jadi hanya karena teman, kamu relakan Bima begitu saja? Kamu relakan orang yang kamu cintai bersama orang lain, yang tak lain adalah wanita yang dulu pernah menghancurkan tante,” ucap Riri. “Bukan begitu, Tante. Bima tidak mencintaiku, apa aku bisa hidup dengan orang yang tidak mencintaiku?” ucap Alesha. “Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Kamu sudah membuat tante kecewa, Al. Karena, pikiranmu terlalu dangkal seperti Bima. Sudah jelas bagaimana Sovia dan bundanya menyakitiku, tapi kamu dan Bima tetap menganggap Sovia gadis yang baik. Dia anak dari perebut suami orang, Al. Apa baiknya?” Riri mengungkapkan kekecewaannya pada Alesha Riri sadar kalau dirinya salah, masih menyimpan dendam pada Sovia dan keluarganya. Rasa sakit itu masih mendarah daging pada dirinya. Terlebih saat mendengar Sovia memanggil Reza dengan sebutan ayah. Sakit sekali mendengar itu, dan menyaksikan mereka berbahgia layaknya sebuah keluarga harmonis, dengan berlibur di Vila milik Dilla di pinggir pantai. Bilang ada urusan bisnis, ternyata berlibur dengan Sovia dan Dilla ke subuah Villa. Wanita mana yang tak sakit hatinya, melihat jelas dengan kedua matanya sendiri, suaminya bahagia dengan mantan pacarnya dan anak dari mantan pacarnya, bercanda di tepi pantai layaknya keluarga yang harmonis sekali. Sakit jika mengingat itu, walau dia sekarang sudah bahagia bersama Alex. Tapi, rasa sakit itu mungkin akan ia bawa sampai mati. “Alex memberiku kebahagian yang nyata. Cintanya begitu besar padaku, tapi kenapa aku tidak bisa melupakan kejadian pahit itu? Saat Reza mengkhianatiku? Aku yang sedang hamil tua, dengan tega dia membohongiku. Dia terang-terangan bilang ingin menikahi Dilla karena sudah terlanjur sayang dengan Sovia, sedangkan kehamilanku yang ia sangat tunggu-tunggu dicampakkan begitu saja hanya karena dia kembali mencintai Dilla. Apa gunanya aku saat itu? Dia bilang sangat mencintaiku, tapi dengan mudahnya dia berpaling dariku, sedangkan Alex, dia menikah dengan wanita lain pun, cintanya padaku masih sangat besar, hingga dia merencanakan untuk menikahiku setelah menikah dengan ibunya Bagas.” Riri tercenung, berkata dalam hatinya, mengingat semua kejadian pahit yang Reza dan Dilla lakukan padanya. Alex memberikan air putih pada istrinya. Dia bingung harus berkata apa lagi pada istrinya. Dia membela Bima pun, tetap saja Riri tidak akan pernah merestu Bima dengan Sovia. Memang perlakukan Reza dan Dilla saat itu sangat menyakiti Riri. Hingga Riri sedikit trauma dengan sebuah pernikahan. Alex susah payah meyakinkan Riri kembali, dan akhirnya dia bisa memiliki Riri seutuhnya. Alex tidak ingin lagi menyakiti istrinya. Dia akan terpaksa memakasa Bima menuruti apa yang mamanya mau. Meski dia pernah merasakan hal yang sama, tidak direstui dengan Riri, dan dijodohkan dengan wanita lain, yang tak lain adalah ibunya Bagas. “Sudah yuk, makan malam. Mama kan belum makan,” ajak Alex. “Mama tidak ingin makan, Yah. Rasa lapar mama sudah hilang, mama ingin ke kamar,” pinta Riri. “Ya sudah, ayah antar mama ke kamar,” ucap Alex. “Tante makan, ya? Aku bawain makanan ke kamar tante, tante harus makan, nanti tante sakit,” ucap Alesha. “Tante belum lapar, Al. Kalian makan malam saja,” ucap Riri. Setelah mengantar Riri ke dalam kamar. Alex menghampiri Bima yang masih duduk di teras depan. Dia tidak tahu harus bagaimana, ingin menyusul Sovia, tapi melihat keadaan mamanya seperti itu, dia tidak tega. “Bim,” panggil Alex. “Iya, yah,” sahut Bima dengan mengusap kasar wajahnya. “Aku harus bagaimana, Yah?” tanya Bima. “Jalan satu-satunya, kamu harus melupakan Sovia. Cukup, Bim! Jangan sakiti mama kamu lagi!” jawab Alex. “Ayah menyuruh Bima mempertahankan Sovia, tapi sekarang ayah malah menyuruh Bima melupakan Sovia?” ucap Bima. “Kamu lihat mamamu seperti apa, Bim. Ayah juga pernah merasakan hal yang sama seperti kamu. Ayah ingin dengan mama kamu, tapi orang tua ayah tidak menginginkannya, dan tidak merestuinya. Jangan sakiti mamamu lagi, ayah mohon, Bim,” ucap Alex. Bima tahu, memang dirinya sudah menyakiti mamanya, tapi  dia pun tidak ingin melihat Sovia sakit. Dia tidak mau menyakiti dua perempuan yang sangat ia cintai, mamanya dan Sovia. “Lalu Bima harus bagaimana, Yah? Sudah melupakan Sovia, dan mau menerima perjodohan Bima dengan Alesha?” tanya Bima dengan tersenyum miris. “Masalah perjodohan itu, bisa kamu kesampingkan dulu. Yang terpenting, kamu buktikan pada mamamu, kalau kamu tidak lagi dengan Sovia. Ini demi kebaikan mamamu, demi kesehatan mamamu. Kamu hanya punya satu orang tua kandung sekarang, Bim. Tidak seperti adik-adikmu, dia memliki ayah dan mama. Kamu hanya punya mama, kamu tega menyakiti mama kamu? Satu-satunya orang tua kandung dalam hidupmu? Pikirkan itu! Mama kamu seperti itu, karena mama masih sangat terluka dan kecewa karena perbuatan papamu dan bundanya Sovia. Coba kamu rasakan, dan jadi mama sebentar saja, bagaimana perasaan mama saat ini,” tutur Alex. “Bima tahu perasaan mama, Yah. Bima sangat tahu itu, tapi apa bagus menyimpan dendam yang berlarut? Papa dan Tante Dilla sudah tidak ada, dan apa salah aku mencintai Sovia?” ucap Bima. “Cinta tak pernah salah, Bim. Tapi kamu salah, jika kamu membangkan orang tua kamu. Pikirkan masalah ini baik-baik, sejatinya pilihan mama adalah yang terbaik, Bim,” tutur Alex. Bima hanya terdiam mendengar penuturan ayahnya. Bima merasa sudah sangat menyakiti mamanya malam ini, dan biarlah Sovia pergi, menenangkan dirinya. “Maaf, Sov. Malam ini, aku menghargai perasaan mama. Kalau memang perpisahan ini yang terbaik, aku akan menjalaninya sendiri, tanpa menikah dengan siapapun,” gumam Bima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN