LARA - 22

1350 Kata
Riri tidak menyangka Alesha adalah teman masa kecil Sovia. Lebih tidak menyangkanya, Alesha sekarang berpihak dengan hubungan Bima dan Sovia. Riri tahu, Alesha sangat mencintai Bima, namun karena rasa sayang dirinya pada Sovia, Alesha rela  memberikan Bima untuk Sovia. “Tante kecewa sama kamu, Al. Tante tidak menyangka kamu membela mereka .” Ucapan Riri masih terngiang di telinga Alesha. Alesha merasa bersalah dengan mamanya Bima, dia seharusnya tidak bicara seperti itu pada mamanya Bima. Meminta mamanya Bima supaya merestui hubungan Bima dengan Sovia. Dirinya yang sangat mencintai Bima, merelakan Bima dan Sovia bersatu, karena mereka saling mencintai. Tidak bisa suatu hubungan tanpa dilandasi rasa cinta, dan Alesha tidak mau seperti itu. Memaksa Bima untuk dirinya, padahal tidak ada cinta di hati Bima untuk dirinya. Memiliki raga namun tak memiliki hatinya, itu percuma saja. Alesha masih belum bisa memejamkan matanya. Setelah pulang makan malam dari rumah Bima, dia masih ingat kejadian sebelum makan malam. Kejadian saat mamanya Bima mengusir Sovia. Tidak tega. Itu yang Alesha rasakan. Dia tidak tega melihat Sovia yang diusir dan dicaci maki oleh mamanya Bima. Ditambah dia tidak bisa menghubungi nomor Sovia. Tidak tahu sekarang Sovia di mana, Bima juga tidak menyusulnya, karena mamanya melarang dirinya untuk menyusul Sovia. “Huh ... Kak Sovia di mana, sih? Nomornya tidak aktif, tidak mungkin aku ke rumah Kak Sovia, aku tidak tahu di mana rumahnya. Lagian kalau aku tahu pun, pasti tidak bisa ke sana, ini sudah hampir jam satu malam,” gumam Alesha. ^^^ Sovia sudah diperjalanan munuju ke Jogja. Dia tidak ingin lama-lama di Surabaya, karena dia tidak mau Alesha selalu membujuk dirinya untuk tidak menyerah meminta restu pada mamanya Bima. Tidak mungkin mamanya Bima merestui dirinya, sampai kapan pun Sovia yakin mamanya Bima tidak akan merestui dirinya. Biar cinta Bima ia bawa sendiri. Tidak memiliki Bima pun dia tidak mempermasalahkan itu, yang terpengting baginya, cintanya pada Bima terbalaskan, Bima sama-sama mencintainya. Cinta yang suci akan kekal abadi sampai mati. Itu yang ada di pikiran Sovia. Biarkan dirinya tidak bisa memiliki Bima, asal cintanya pada Bima tetap kekal di hatinya, begitu pun Bima. Sovia percaya, Bima tidak mudah berpaling hatinya. Kalau pun akan berpaling, mungkin sudah dari dulu. Banyak rekan kerja perempuan yang suka dengan Bima, Bima juga acuh. Terlebih pada Alesha, yang sudah jelas-jelas direstui mamanya. Bima pun terus menolak perjodohannya dengan Alesha. Cinta tak harus memiliki, semboyan itu kini berlaku di hidup Sovia. Mencintai Bima, tanpa harus memiliki pun dia sudah bahagia. Hidup dengan rasa cinta yang ada di hatinya, cinta yang benar-benar tulus, cinta yang suci, dan mungkin akan menjadi cinta sejati, hingga dirinya mati. “Huuhh ....” Sovia mengembuskan napasnya sedikit berat. Dia membernarkan posisi duduknya yang sudah tidak terasa nyaman. Arga hanya melirik Sovia saja. Dia tahu apa yang terjadi tadi pada Sovia. Arga hanya diam, dia tidak mau banyak bicara, karena dia tahu apa yang sedang Sovia rasakan sekarang. Sovia sebenarnya akan memesan tiket travel untuk ke Jogja, tapi saat dia akan berangkat memesan tiket, Arga menelefonnya. Arga ingin membicarakan soal perusahaan Sovia. Akhirnya Sovia menemui Arga lebih dulu, menunggu Arga ke rumahnya. Arga yang melihat mata Sovia sembab, akhirnya berani gak berani Arga menanyakan aopa yang terjadi pada Sovia. Sovia menjelaskan semuanya pada Arga. Akhirnya Arga menawarkan diri mengangtar Sovia pulang ke Jogja, saat dia tahu Sovia meminta dia mengantarkan untuk memesan tiket travel. “Arga, bisa mampir ke SPBU terdekat tidak? Aku pengin ke toilet,” ucap Sovia. “Oh, iya bisa, Sov,” jawab Arga. Dia juga merasakan ngantuk, dan ingin istirahat sebentar, sambil meminum kopi. Arga membelokkan mobilnya ke SPBU, dan memarkirkannya di depan mini market yang ada di area SPBU. Sovia langsung turun dan menuju ke toilet. Sedangkan Arga, dia langsung masuk ke mini market, membeli cemilan dan kopi. Dia juga membelikan teh hangat untuk Sovia. Setelah beberapa menit, Sovia keluar dari toilet. Dia langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Arga memanggil Sovia yang sedang duduk di bangku yang ada di depan mini market, dia melambaikan tangannya pada Sovia, dan menyuruh Sovia duduk sambil menikmati teh, melepas lelahnya. Sovia bergegas mendekati Arga. “Minum teh dulu, Sov. Istirahat bentar enggak apa-apa, kan?” ucap Arga. “Iya, gak apa-apa. Biar kamu gak ngantuk juga,” jawab Sovia. Sovia meminum tehnya, dan mengambil cemilan yang tadi Arga belikan. Dia ngemil sambil bicara soal perusahaannya pada Arga. Sovia memang wanita yang profesional. Meski hatinya sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tetap bekerja dengan baik. Itu yang membuat Arga kagum padanya, dan kekagumannya beralih ke rasa cinta. Namun, sayangnya Sovia tidak pernah membalas cintanya. Dia hanya menganggap Arga teman kerja saja, dan sahabat paling baik, yang selalu support dia saat keadaannya terpuruk karena pekerjaan atau cinta. Sovia tahu, Arga mencintainya dengan tulus, bahakn orang tua Arga pun baik terhadapnya. Seperti malam ini, Arga mengantarkan Sovia ke Jogja pun atas izin orang tuanya, dan orang tua Arga mengizinkan Arga mengantarkan Sovia. “Sov, kamu belum makan, kan?” tanya Arga. “Belum, Ar. Nanti saja lah, aku tidak lapar,” jawab Sovia. “Makan, ya? Nanti kamu sakit, Sov,” ucap Arga. “Belum lapar, Ar. Nanti saja di rumah,” jawab Sovia. “Di rumah? Perjalanan masih dua jam lagi, perut kamu kosong, nanti lambung kamu bermasalah lagi, Sov?” Arga yang tahu Sovia punya riwayat asam lambung, dia tidak mau Sovia sampai telat makan. “Kita cari restoran atau rumah makan yang buka 24 jam. Kamu harus makan!” tegas Arga. “Ih, bawel!” tukas Sovia. “Aku tidak mau kamu sakit karena cinta! Boleh sakit hati karena cinta, tapi badan kamu harus sehat, karena hatimu sudah tidak sehat! Ayo kita cari rumah makan!” Arga reflek menarik tangan Sovia, mengajak Sovia untuk mencari rumah makan, dan menyuruh Sovia makan. “Arga, lepasin tanganku dulu,” ucap Sovia dengan manik matanya menuju ke arah tangan Arga. “Oh iya, maaf. Habis kamu bandel sekali, Sov,” ucap Arga. “Aku enggak bandel, memang aku anak kecil?” protes Sovia. “Makanya makan, jangan kek anak kecil, makannya susah!” tukas Arga. “Iya, iya ... sudah jangan bawel!” jawab Sovia. Seperti itulah Arga, saat tahu Sovia belum makan, dia selalu mengajaknya makan, atau membawakan Sovia makanan. Sovia mengingat saat dulu Arga membawakan Sovia makanan, saat dirinya sedang sibuk kerja, dan melupakan makan siangnya. Arga sampai bawakan makanan, menyuruh Sovia makan, karena makanannya tidak ia makan-makan, Arga menyuapi Sovia sambil dirinya bekerja. Arga tidak mau melihat Sovia sakit, seperti itu yang selalu ada di pikiran Arga. Setiap hari pun Arga selalu menanyakan kabar Sovia. Hanya sekadar mengingatkan jangan lupa makan. Mereka sudah sampai di rumah makan yang buka 24 jam. Arga memesan makanan untuknya, dan memesankan makanan untuk Sovia. Sovia yang tidak suka sayuran, dia kesal dengan Arga, karena ada sayuran di makanannya. “Jangan ngambek, coba dulu. Kamu itu harus banyak-banyak makan sayur, Sov. Jangan makan makanan yang bersantan terus, sudah gitu pedas, kasihan lambung kamu,” tutur Arga. “Gak enak, Arga ...,” protes Sovia. “Coba dulu, kemarin saja bisa makan sayur, kok.” Arga menyendokkan makanan Sovia dan mengarahkan sendoknya ke arah mulut Sovia. “Ayo buka mulutanya?” ucap Arga, Sovia mencebikkan mulutnya. Selalu saja Arga seperti itu dengan Sovia. Terlalu over protektif, dan selalu khawatir dengan kesehatan Sovia. “Aku makan sendiri saja, Ar,” ucap Sovia dengan mengambil sendoknya yang berada di tangan Arga. Dengan terpaksa Sovia memakan makanan yang sudah Arga pesankan. “Enak juga ternyata sayuran ya, Ar?” ucap Sovia dengan memikmati makanannya. “Apa aku bilang? Mulai sekarang kamu harus banyak-banyak makan sayuran, itu demi untuk kesehatan kamu, Sov,” ucap Arga. “Hmmm ... iya deh,” jawab Sovia. Nyaman, itu yang selalu Sovia rasakan saat bersama Arga. Nyaman tanpa cinta juga rasanya ada yang kurang. Sovia sangat nyaman dengan perlakuan Arga yang selalu baik dengannya, selalu tahu apa yang Sovia butuhkan. Hingga Eyangnya pun membandingkan Arga dengan Bima. Menurut eyangnya, Bima hanya mementingkan cinta, bukan kebutuhan Sovia di kehidupannya, berbeda dengan Arga. Eyangnya Sovia juga tahu Arga menaruh hati pada Sovia, dan beliau menyetujuinya jika Arga dan Sovia bisa bersatu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN