Hadiah Untuk Kirana

1423 Kata
Bagian 12 "Alhamdulillah akhirnya Dek Kirana siuman juga," ucap Ahmad saat menemui Kirana. Saking senangnya melihat calon istrinya itu sudah siuman, Ahmad hendak mengecup keningnya. Namun, niat itu dia urungkan setelah tersadar bahwa Kirana belum halal baginya. "Iya, Alhamdulillah akhirnya bestieku sadar juga," timpal Hamidah sambil tersenyum kepada Kirana. Kirana sedikit terkejut melihat kehadiran Ahmad. Dia bertanya-tanya di dalam hati kenapa Ahmad ada di sini. Sepengetahuannya, Ahmad berada di toko materialnya, sekarang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Pasti Hamidah yang sudah mengabari Bang Ahmad," batin Kirana. Kirana yang tadinya berbaring, kini menukar posisinya menjadi duduk. "Midah, Bang Ahmad, makasih ya udah bawa aku ke sini. Maaf kalau aku merepotkan." "Tidak sama sekali. Itu sudah kewajiban Abang." "Bang, Abang sama sekali tidak berkewajiban untuk itu. karena kita belum memiliki ikatan, Bang." "Kalau begitu izinkan Abang menghalalkanmu." Kirana tak menjawab. Kepalanya kembali terasa berdenyut saat Ahmad menyinggung soal pernikahan. "Bang Ahmad, Kirana masih sakit begini kok' malah bahas kawin, sih!" protes Hamidah. "Maaf," kata Ahmad sambil menangkupkan kedua tangannya. "Midah, ini jam berapa? Oh ya, tasku mana ya?" "Jam tiga. Tas kamu ada di mobilnya Bang Ahmad." Kirana tidak menduga jika dirinya ternyata pingsan selama itu. Kirana memejamkan matanya, lalu tiba-tiba teringat kepada ayah dan ibunya. Dia membayangkan wajah kedua orangtuanya yang pastinya sudah menunggunya sedari tadi. "Ayah dan Ibu pasti mengkhawatirkanku. Aku harus pulang sekarang." Kirana kemudian beranjak dari atas brankar, tetapi dicegah oleh Ahmad. "Jangan turun dulu. Biar Abang temui dokter dulu. Kata dokter, beliau akan meresepkan obat buatmu." Kirana menurut. Setelah itu, Ahmad pun keluar dari ruangan dan langsung menemui dokter untuk meminta resep obat. Selama menunggu Ahmad kembali, Hamidah ingin mengatakan bahwa Raka dan Widya juga ikut menunggunya. Tetapi Hamidah berpikir ulang. Gadis berkacamata itu tidak akan menceritakannya sekarang. Dia memilih untuk menceritakannya nanti setelah kondisi kesehatan Kirana kembali membaik. *** Sementara itu di sebuah kontrakan, Ilham dan Syafitri harap-harap cemas menunggu kedatangan anak gadis mereka satu-satunya. Sudah mendekati waktu ashar, tetapi yang ditunggu-tunggu belum juga tiba. Seharusnya Kirana sudah tiba sejak dua jam yang lalu. Lantas, kenapa sampai sekarang belum pulang juga? Ilham mondar-mandir sambil sesekali melihat ember yang sengaja ditaruh di lantai untuk menampung air hujan. Setelah ember itu punuh, Ilham akan langsung menggantinya dengan ember lain. Begitulah seterusnya sampai hujan reda. Atap rumah yang mereka tempati memang sudah bocor dari dulu. Mereka tidak berniat pindah karena tidak ada lagi kontrakan yang uang sewanya sesuai dengan kantong mereka. Lain halnya dengan Syafitri, wanita yang sudah melahirkan Kirana itu sedari tadi hanya duduk di atas tikar sambil mendoakan kebaikan untuk putrinya. Dia berharap agar putrinya senantiasa dilindungi oleh Allah dan nantinya pulang ke rumah dalam keadaan sehat wal afiat. Waktu turun hujan adalah waktu yang mustajab untuk berdoa seperti yang ada di dalam hadist. Maka Syafitri tidak akan menyia-nyiakan kesempatan karena hujan tidak turun setiap saat. Dia terus berdoa untuk putrinya, untuk suaminya, juga untuk dirinya sendiri. "Bu, Bapak susul saja ya," ucap Ilham yang semakin khawatir. "Tapi hujannya deras sekali, Yah. Waktu ashar juga tinggal beberapa menit lagi. Ayah 'kan masih harus menjalankan tugas mulia di masjid." "Iya juga sih, Bu. Tapi bagi Ayah Kirana juga penting. Ayah tidak akan bisa menjalankan tugas jika putri kita belum sampai rumah." Sebenarnya Syafitri setuju jika suaminya menyusul Kirana. Namun, dia khawatir jika nantinya suaminya jatuh sakit jika terkena hujan. Ilham kemudian duduk di samping istrinya, lalu mendekap wanita yang sudah setia mendampinginya itu. "Kita berdoa saja ya, Bu, semoga putri kita baik-baik saja. Ayah yakin, sebentar lagi putri kita pasti akan tiba." Ilham berusaha menguatkan istrinya. Dia juga berusaha berpikiran positif dan berharap yang baik-baik tentang putrinya. Ilham menatap jarum jam dinding. Lima menit lagi waktunya sholat ashar tiba. Sudah saatnya Ilham menjalankan tugas mulia sebagai marbot masjid. Ilham pun pamitan kepada istrinya. Kemudian mengambil payung dan segera membuka pintu dan menutupnya kembali. Di bawah derasnya hujan, Ilham kembali berdoa agar Allah selalu melindungi putrinya. Bahkan Ayah Kirana itu berdoa sambil menangis. Ilham sangat menyayangi Kirana dan dia tak bisa membayangkan jika sesuatu hal buruk menimpa putrinya. *** Di sisi lain, Widya sedang marah kepada Raka karena sedari tadi Raka hanya membawanya mutar-mutar. Seharusnya mereka sudah tiba di rumah kontrakan sejak tadi. Namun, karena Raka mengemudi tanpa tujuan yang jelas, membuat mereka sampai sekarang masih berada di dalam mobil. "Sebenarnya kita ini mau ke mana sih, Bang? Kok' dari tadi muter-muter enggak jelas gitu, sih?" Widya kembali bertanya untuk yang kesekian kalinya. "Bang, bisa berhenti sebentar enggak? Kita makan dulu lah. Aku ini lapar loh, Bang!" Raka langsung menginjak rem setelah mendengar ucapan Widya. "Ih, malah ngerem mendadak lagi!" protes Widya. "Yaudah, kamu beliin makan dulu. Daripada nanti sakit, aku juga yang repot," ucap Raka. Widya merasa tersinggung mendengar ucapan Raka. Tetapi diabaikannya karena saat ini urusan perutnya lebih penting. Widya kemudian menurunkan kaca jendela mobil dan langsung protes saat melihat di sekeliling tidak ada restoran. Widya maunya Raka membawanya ke restoran atau paling tidak sekelas rumah makan karena Widya merasa tidak level makan di warung tenda pinggir jalan. "Enggak salah, Bang? Di sini mana ada restoran, Bang!" "Itu warung bakso ada. Warung pecel, siomay, batagor dan sebagainya." "Abang! Nyebelin deh!" "Lah, katanya lapar!" Widya hanya bisa ngedumel di dalam hati. Dia menyayangkan sikap Raka yang terkesan judes padahal mereka sudah lama bertunangan. Dengan terpaksa akhirnya Widya turun juga dari mobil. Berlari menuju warung bakso dan langsung memesan dua mangkuk bakso. "Bodo amat kalau Bang Raka enggak mau makan. Yang penting perutku kenyang," batin Widya. "Mbak pesan bakso buat dimakan sendiri?" tanya penjualan bakso berbasa-basi. "Memangnya kenapa? Ada masalah?" "Idih, cantik-cantik kok' galak gitu! Lagi berantem sama pacarnya ya?" "Mau tau aja urusan orang, buatan aja pesanan saya!" Setelah pesanannya diantar, Widya segera menyantap bakso yang masih mengepulkan asap itu tanpa memedulikan si pemilik warung. Setelah selesai menyantap bakso di mangkuk pertama, kini Widya beralih ke mangkuk yang kedua. Widya memang sudah benar-benar lapar dan satu mangkuk saja tidak cukup baginya. "Cantik-cantik ternyata makannya banyak. Rakus lagi," sindir wanita yang duduk di meja lain. Wanita yang sedang bersama dengan suaminya itu memang sudah memperhatikan Widya sedari tadi. "Apa liat-liat, hah? Mau aku siram pake sambel?" sahut Widya. Dia tak peduli dikatai rakus. Yang terpenting perutnya bisa kenyang. Raka yang sedari tadi menunggu di mobil akhirnya bosan juga. Ia pun melihat-lihat sekitar dan tiba-tiba matanya tertuju pada toko pecah belah yang berada di seberang jalan. Seketika terbesit ide untuk membeli sesuatu. Raka turun dari mobilnya dan mulai memilih-milih tempat makan dengan berbagai model. Pilihan Raka jatuh kepada kotak makan berwarna ungu yang dilengkapi dengan sendok di dalamnya. "Semoga Kirana suka." Raka akan memberikan kotak makan itu untuk Kirana sebagai pengganti kotak makannya yang telah dipecahkan oleh Widya. Raka tidak mau Kirana sakit lagi. Maka dari itu dia membeli tempat makan untuk Kirana agar Kirana bisa membawa bekal lagi setiap hari. Setelah selesai membeli apa yang dia cari, Raka pun kembali ke mobilnya dan tak lama kemudian Widya juga Kembali. "Udah kenyang?" tanya Raka begitu Widya kembali ke dalam mobil. "Udah dong! Dingin-dingin begini enak makan bakso. Abang sih, enggak mau." "Enggak lapar. Yaudah kita pulang sekarang. Habis ashar aku akan mengantarmu ke pelabuhan. Kamu harus pulang. Takutnya Om dan Tante marah. Ntar mereka mengira kalau anaknya diapa-apain." "Diapa-apain juga enggak apa-apa. Aku enggak keberatan. Apalagi kita itu sudah bertunangan. Seandainya Abang ingin melakukan sesuatu, aku bersedia kok." Widya meraih tangan Raka, tetapi Raka langsung menarik tangannya. Jelas saja Widya kecewa. Dia ingin Raka memperlakukannya dengan romantis. Apalagi di tengah cuacanya dingin seperti ini, tidak munafik kalau Widya ingin dipeluk oleh Raka. Tapi sayang, harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. "Maksud kamu apa, Widya?" Raka menatapnya tajam. "Abang, jujur aja ya, aku itu pengen dipeluk dan disayang, Bang. Abang sadar enggak, sih? Selama kita bertunangan, apa pernah Abang peluk aku? Apa pernah Abang cium aku? Aku iri liat pasangan lain yang terlihat romantis. Aku ingin seperti mereka, Bang." Raka mengusap wajah kasar saat mendengar penjelasan Widya. "Widya, asal kamu tahu, aku menghormatimu dan aku selalu menjagamu. Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kamu halal bagiku. Kamu harus ingat itu." Widya tak terima. Menurutnya itu hanya alasan Raka saja. "Lagian, bukankah kamu membenci perbuatan seperti itu? Kamu mati-matian membenci Kirana karena pernah tertangkap basah melakukan perbuatan hina. Terus jika kamu melakukan itu, apa bedanya kamu dengan Kirana?" Widya langsung terdiam dan mengalihkan pandangan ke kaca jendela. Dia tidak menyangka jika Raka akan berkata seperti itu. Raka sengaja membuat Kirana sebagai perbandingan agar Widya tidak lagi meminta hal yang macam-macam. Jauh di lubuk hatinya, Raka sudah tidak mempercayai fitnah keji itu setelah melihat kenyataan yang ada. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN