Bagian 13
Suasana sekitar terasa sangat dingin karena hujan masih turun. Kirana menggosok-gosok tangannya, lalu menempelkannya ke wajah untuk memberikan rasa hangat. Melihat hal itu, Ahmad segera menepikan mobil, membuka sabuk pengaman, lalu membuka jaketnya dan memberikannya kepada Kirana.
"Ini, Dek, pakailah."
"Makasih, Bang." Kirana segera meraih jaket Ahmad tersebut dan langsung memakainya.
"Duh, so sweet banget, sih! Bikin ngiri," ujar Hamidah dari belakang.
Kirana maupun Ahmad hanya tersenyum mendengar ucapan Hamidah. Ahmad kembali melajukan mobilnya agar secepatnya tiba di rumah.
"Oh ya Dek Kirana, tadi kata dokter di klinik sakit maag kamu kambuh, masuk angin juga iya. Kalau Abang boleh tau, kenapa Adek sampai masuk angin? Apa terjadi sesuatu?"
"Enggak ada apa-apa kok' Bang. Aku sudah biasa masuk angin dan maag-ku juga biasa kambuh."
"Beneran? Kayaknya Adek masih menganggap Abang ini orang lain. Makanya tidak mau cerita."
"Bang, kalau orang enggak mau ya jangan dipaksa. Itu namanya pemaksaan!" sahut Hamidah sambil tertawa dari belakang. Wanita itu memang sengaja mencampuri obrolan Ahmad dan Kirana.
Kirana berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Ahmad itu benar adanya. Lagian Ahmad bukan orang lain lagi. Lelaki itu adalah calon suaminya sendiri.
"Iya, Bang, aku akan cerita. Awalnya seorang wanita datang ke kantin sekolah dan memfitnahku, dia juga mecahin tempat makan aku. Mungkin Abang udah dengar ceritanya dari Midah."
"Terus?" Ahmad begitu penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya.
"Besoknya saat aku sedang jalan kaki dan udah hampir tiba di sekolah, sebuah mobil tiba-tiba melindas genangan air dan aku terkena cipratannya. Makanya aku masuk angin jadinya," lanjut Kirana.
"Eh, tunggu. Apa kamu tahu siapa pemilik itu?" tanya Hamidah.
Kirana mengangguk.
"Jangan-jangan ….? Wah, parah! Sepertinya Bang Ahmad harus turun tangan deh! Itu orang udah kelewat batas." Hamidah memberi saran.
"Siapa yang kalian maksud?" tanya Ahmad.
"Itu, dua orang yang nyusulin kita ke klinik tadi," jawab Hamidah.
"Apa? Mereka berdua nyusulin aku ke klinik? Kamu enggak salah liat kan, Midah?"
"Ya enggaklah Kirana! Malah tadi kita sempat ribut. Si wanita itu emang nyebelin. Kalau Pak Raka nya sih, enggak!"
"Dua orang itu memang benar-benar keterlaluan. Bahkan dengan sengaja melindas air yang mengakibatkan Kirana menjadi masuk angin dan akhirnya drop. Aku harus bertindak. Jika dibiarkan, Aku takut mereka akan melakukan hal yang lebih kejam lagi terhadap Kirana," batin Ahmad.
Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di halaman rumah Kirana. Ahmad segera turun dari bangku kemudi, mengambil payung, lalu membukakan pintu untuk Kirana. Ahmad memayungi Kirana hingga tiba di teras rumah dan langsung mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.
Mereka langsung disambut oleh Syafitri yang memang sudah menunggu kepulangan putrinya dari tadi.
"Alhamdulillah, Nak, akhirnya kamu pulang juga. Kamu enggak kenapa-kenapa, kan? Ibu khawatir sekali, Nak." Syafitri langsung memeluk Kirana saking senengnya melihat anak gadisnya pulang dengan selamat.
Sementara itu, Ahmad kembali ke mobil dan membukakan pintu untuk Hamidah. Sama seperti Kirana, Ahmad memayungi saudara sepupunya itu lalu membawanyke rumah Kirana.
"Assalamualaikum," ucap Hamidah begitu dia menginjakkan kakinya di rumah Kirana.
"Waalaikumsalam, mari masuk," sambut Syafitri.
Hamidah dan Ahmad langsung menyalami tangan Syafitri sebagai bentuk rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Setelah itu, Syafitri mempersilakan tamunya duduk di atas tikar ruang tamu.
"Om mana, Tan?" tanya Ahmad yang dari tadi tidak melihat keberadaan Ilham.
"Masih di masjid, Nak. Sebentar lagi juga pulang. Tadi sebenarnya sudah mau pergi nyusulin Kirana, tapi karena waktu ashar sudah dekat, jadinya enggak jadi."
"Kalau gitu Ahmad ke masjid aja ya, Tan. Mau sholat ashar sekalian jemput Om. Kasihan nanti kehujanan. Dek Kirana, Midah, Abang mau ke mesjid dulu ya."
Setelah Ahmad pergi, Kirana pun menceritakan kenapa dia terlambat pulang. Kirana menceritakan semuanya, kecuali tentang Raka dan Widya Karena dia tidak mau ibunya kepikiran.
***
"Pokoknya kamu harus pulang," tegas Raka kepada Widya saat mereka tiba di pelabuhan Tanjung Medang. Raka segera turun dari mobilnya, lalu membukakan pintu untuk Widya.
"Ayo, Widya."
"Enggak mau. Aku masih mau di sini, Bang," tolak Widya yang tak mau juga keluar dari mobil.
"Widya, tolong mengertilah. Kamu harus pulang sekarang juga. Jika kamu rindu, kita masuh bisa teleponan arau video call," bujuk Raka.
"Enggak mau. Aku enggak mau jauh-jauh dari Abang."
"Widya, kenapa kamu keras kepala sekali, sih? Apa yang akan kamu lakukan di sini? Lagian, kamu akan tinggal di mana? Tidak mungkin kan, kita tinggal satu atap! Yang ada kita akan digrebek warga nantinya." Raka mulai kesal.
"Bagus dong! Biar kita dinikahkan!" sahut Widya.
"Astaghfirullah, Widya! Jalan pikiran kamu itu gimana, sih?"
"Otakku sekarang sudah eror setelah melihat bahwa tunanganku sendiri mengkhawatirkan gadis lain."
Raka hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Widya.
"Kamu hanya salah faham, Widya."
"Salah paham? Kenyatannya memang begitu, kan? Jika aku pulang, pasti nanti Abang akan dekat lagi sama dia. apalagi sekarang kalian punya banyak kesempatan untuk bertemu.Aku hanya ingin menjaga Abang. Ingin menjaga hubungan kita yang tinggal selangkah lagi menuju pelaminan. Aku tidak mau pertunangan kita putus gara-gara anak si dukun santet itu, Bang."
"Kamu terlalu berlebihan, Widya."
"Terserah Abang mau ngomong apa. Gini aja. Aku akan pulang, tapi Abang harus ikut pulang denganku. Gimana?"
"Baik. Kita pulang sekarang. Ayo kita beli tiket."
"Hah? Abang serius? Enggak lagi bercanda, kan? Terus nanti Abang masih bisa mengajar di sekolah yang lama, kan?"
"Keputusan dinas pendidikan tidak bisa diganggu gugat, Widya. Dapat dipastikan bahwa aku akan menjadi pengangguran setelah ini. Aku tidak akan bisa lagi mengejar karier dan menggapai cita-citaku jika aku pulang sekarang."
"Terus nantinya Abang mau kerja apa?" Widya mulai khawatir. Mana mungkin dia mau menikah dengan lelaki pengangguran. Widya mau bertunangan dengan Raka karena menurutnya Raka memiliki masa depan yang cerah.
"Kerja apa aja," jawab Raka. Sebenarnya dia sudah kesal dengan Widya, namun dia tidak menunjukkan rasa kesalnya itu di hadapan Widya.
"Kamu kenapa?" tanya Raka saat melihat ekspresi wajah Widya yang mulai berubah.
"Itu 'kan yang kamu inginkan? Jadi, ayo kita pulang sekarang. Jika seandainya nanti aku tidak bisa memeni kebutuhan rumah tangga kita setelah menikah, kamu harus bantu aku kerja. Ingat, jangan pernah menuntut yang macam-macamlah karena kamu sendiri yang menyuruhku melepaskan karierku."
Raka sengaja berucap seperti itu untuk menakut-nakuti Widya. Mana mungkin dia mau menuruti permintaan konyolnya Widya. Bahkan jika disuruh memilih antara karier dengan Widya, sudah pasti dia memilih kariernya.
"Yaudah deh. Aku mau pulang. Aku enggak mau Abang kehilangan pekerjaan karena aku mikirin masa depan kita." Akhirnya Widya menurut juga.
"Coba dari tadi," batin Raka.
"Tapi janji ya, Abang enggak boleh dekat-dekat dengan Kirana. Ingat, Abang udah punya tunangan," pesan Widya saat mereka mengantri untuk membeli tiket.
Widya sedih karena harus berpisah sementara waktu dengan lelaki yang dicintainya itu. Dia juga takut kalau nantinya Raka mengingkari janjinya.
Setelah Raka membeli tiket, mereka pun duduk di kursi tunggu untuk menunggu jadwal keberangkatan.
Widya mencoba meraih tangan Raka. Dia ingin sekali menggenggam tangan lelaki berwajah tampan dan bertubuh atletis itu. Sayangnya Raka langsung memberikan isyarat bahwa mereka belum boleh bersentuhan.
"Masa pegang tangan aja enggak boleh? Sok suci banget sih! Padahal aku tahu kalau sebenarnya dia juga ingin. Kita lihat saja nanti. Apa dia masih sanggup mengendalikan dirinya saat aku membuka auratku dan menunjukkan bagian sensitifku? Aku yakin pasti dia tidak akan tahan," batin Widya.
Tiga puluh menit menunggu, akhirnya jadwal keberangkatan tiba juga. Raka berpesan agar Widya hati-hati dan jangan lupa memberi kabar. Raka melambaikan tangan saat Widya sudah naik ke atas Speedboat. Setelahnya, Raka langsung kembali ke parkiran dan tancap gas menuju masjid terdekat karena dirinya belum menunaikan ibadah sholat ashar.
Sementara itu Widya masih kesal kepada Raka. Dia bahkan memukul dinding speedboat untuk melampiaskan kekesalannya.
"Lihat saja. Aku akan melaporkan hal ini kepada mamanya Bang Raka. Dan kau Kirana, aku akan kembali lagi dan akan membuat hidupmu lebih menderita dari sebelumnya. Tunggu saja."
Bersambung