Mencurigakan

1317 Kata
Bagian 11 Kabut tebal yang diiringi dengan petir membelah bentangan langit pulau Rupat. Rintik hujan mulai turun. Membuat udara di sekitar terasa lebih dingin dari sebelumnya. "Bang, ayolah kita pulang! Putar balik saja. Udah mau hujan juga," ajak Widya. Dia menjadikan hujan sebagai alasan agar Raka tidak lagi mengikuti mobil yang dikemudikan oleh Ahmad itu. Raka tak menjawab. Dia tetap fokus. "Kalau Abang terus seperti ini, nanti aku aduin loh, sama Tante," ancam Widya. Namun, sedikitpun Raka tidak takut. Widya memang sangat dekat dengan Rukaya, ibunya Raka. Bisa dikatakan hubungan mereka berdua sudah seperti anak dan ibu. Biasanya, Raka akan langsung menurut kalau Widya sudah mengaitkan nama ibunya, tetapi kali ini berbeda. Raka sepertinya sudah tidak takut. "Bang, Abang dengerin aku enggak sih?" Raka memang mendengar, tetapi dia tidak peduli. Dia terus saja mengemudikan mobilnya tanpa peduli pada ocehan Widya. Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai oleh Ahmad berhenti di depan sebuah klinik. Melihat mobil tersebut berhenti, Raka juga menepikan mobilnya tepat di belakang mobil Ahmad. Setelah mobil terparkir sempurna, Ahmad segera membuka pintu dan mengangkat tubuh Kirana ke dalam klinik. Diikuti oleh Hamidah di belakangnya. Sesampainya di dalam, tubuh Kirana langsung dibaringkan di atas brankar dan selanjutnya ditangani oleh dokter. "Ya Allah, semoga Kirana enggak kenapa-kenapa," ucap Ahmad sambil menjatuhkan bobotnya di atas kursi tunggu. "Insyaallah, Kirana akan baik-baik saja, Bang." Hamidah mencoba menenangkan saudara sepupunya itu. Sementara itu di luar, Widya mati-matian mencegah Raka agar tidak masuk ke dalam. Dia tidak ingin jika lelaki yang dicintainya itu menemui mantan kekasihnya. Widya takut jika Raka akan berpaling kepada Kirana jika mereka sering bertemu. "Kamu kenapa sih, Widya? Aku cuma ingin mengetahui bagaimana keadaan Kirana. Itu saja," ucap Raka kesal karena sedari tadi Widya menahan tangannya agar tidak keluar dari mobil. "Ngapain sih Abang peduliin wanita itu? Apa jangan-jangan Abang masih sayang saya dia?" "Ini bukan soal sayang atau tidak, Widya. Ini menyangkut kemanusiaan. Aku adalah rekan kerjanya, jadi wajar kalau aku mengkhawatirkannya." "Tapi aku melihatnya tidak seperti itu, Bang." "Terserah kamu mau berpendapat seperti apa. Yang jelas, aku harus ke dalam untuk mengetahui bagaimana kondisi Kirana. Lepasin tanganku." Raka melepaskan tangan Widya, lalu keluar dari mobil. Dia berlari kecil ke dalam klinik agar tubuhnya tidak basah oleh hujan. Widya kecewa terhadap Raka. Pasalnya, selama empat tahun menjalani hubungan dengan Raka, baru kali ini lelaki itu tak mau menurut. Biasanya, Raka selalu menuruti apapun perintah atau keinginan dari tunangannya itu. Sekarang bahkan Raka terang-terangan menunjukkan bahwa ia tak mau lagi diatur-atur oleh Widya. "Semua ini gara-gara Kirana. Bang Raka berubah setelah bertemu Kirana. Awas saja. Aku akan membuat perhitungan dengannya." Widya mengepalkan tangannya, lalu membuka pintu mobil dengan kasar. Dia akhirnya menyusul Raka. Widya akan mengawasi Raka, jangan sampai ada celah bagi Raka untuk berduaan dengan Kirana. "Bu Hamidah, gimana keadaan Bu Kirana?" Raka bertanya setelah melihat Hamidah yang sedang duduk di atas kursi tunggu. Hamidah dan Ahmad pun serentak menoleh ke sumber suara itu. "Loh, Bapak nyusulin kita ke sini?" tanya Hamidah yang terkejut melihat kehadiran Raka. "Iya, saya ingin tahu bagaimana kondisi Bu Kirana," jawab Raka. "Kirana sedang ditangani sama dokter di dalam sana, Pak," jawab Kirana. "Abang, ayo pulang!" Widya yang baru saja tiba langsung menarik tangan Raka. "Kamu pulang duluan saja. Kuncinya 'kan ada di dalam mobil," ucap Raka kesal. Setelah mendengar ucapan Raka, Widya terdiam. Mana mungkin dia meninggalkan Raka di sini. Tujuannya adalah untuk menjauhkan Raka dari Kirana. Jika dia meninggalkannya, sama saja memberi kesempatan untuk Raka bisa dekat kembali dengan Kirana. Widya kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi yang ditempati Ahmad dan juga Hamidah. Hening. Tak ada lagi yang bicara di antara mereka. Ahmad tak sengaja menoleh ke arah Widya dan tiba-tiba lelaki itu teringat sesuatu. Tadi saat di ruang UKS sekolah, Ahmad hanya melihat wajah itu karena perhatiannya fokus kepada Kirana. Sekarang barulah dia melihat dengan jelas siapa sebenarnya sosok yang sedang berdiri di hadapannya itu. "Abang kenapa?" Hamidah bertanya saat melihat cara Ahmad menatap Widya. Ahmad tak menjawab. Dia fokus menatap Widya. Ahmad masih mengingat dengan jelas siapa wanita itu dan apa yang telah dilakukannya. Widya yang menyadari bahwa Ahmad dari tadi menatapnya bersikap bodo amat. Bahkan dia mengira bahwa Ahmad sedang mengagumi kecantikannya. Ya, Widya memang cantik. Sayangnya, dia bersembunyi di balik wajah cantiknya itu sehingga tak ada satu orangpun yang mengetahui kebusukannya. Sadar bahwa sedari tadi Ahmad terus-menerus menatapnya, Widya kemudian berpindah tempat dan duduk tepat di antara Ahmad dan Hamidah. Dia begitu penasaran dan ingin bertanya kenapa Ahmad menatapnya terus sedari tadi. Sekalian Widya ingin mengajak Ahmad mengobrol agar Raka cemburu. "Hai Bang, kok' Abang liatin aku terus dari tadi? Mau ngajak kenalan ya?" tanya Widya dengan pedenya. Raka yang menyaksikan hal itu merasa kesal akan kelakuan calon istrinya tersebut. Sedangkan Widya merasa senang karena sudah berhasil memancing Raka. "Tuh kan, Bang Raka cemburu. Yes, berhasil!" "Eh, ngapain kamu duduk di sini? Aku enggak sudi ya dekat-dekat sama kamu," ucap Hamidah sambil berdiri dari tempat duduknya. Hamidah tidak suka melihat sikap Widya yang terkesan kecentilan. "Loh, kenapa? Ada masalah?" tanya Widya dengan santai. "Pake nanya lagi! Asal kamu tahu ya, kamu itu sumber masalah." "Eh, itu mulut dijaga yah. Mau aku sumpel?" bentak Widya sambil berdiri dari tempat duduknya. "Coba aja kalau berani!" Hamidah menantang. "Kamu pikir aku takut, hah?" balas Widya. "Sudah-sudah! Kalian ini kenapa, sih?" Raka langsung melerai keduanya. "Dia yang mulai, Bang. Abang dengar sendiri, kan? Dia ngata-ngatain aku." Widya membela diri. "Memang kenyataannya seperti itu, kok. Bisanya cuma ngelak. Lagian, ngapain kamu pake acara datang ke sini segala, hah? Mau cari ribut lagi dengan Kirana?" "Hey perempuan cupu, dengerin nih ya, kalau bukan karena calon suamiku, aku juga enggak sudi menginjakkan kaki di sini." Widya berucap sambil mengibaskan tangannya. "Kalau tidak sudi kenapa enggak pulang saja? Bilang aja kalau kamu juga mau menggoda calon suaminya Kirana. Dasar wanita centil! Udah punya calon suami masih aja genit sama lelaki lain." Hamidah tak mau kalah karena memang itulah yang dilihatnya. "Wah, ini orang sepertinya harus dikasih pelajaran dulu baru bisa diem kali ya." Widya menyingsingkan lengan bajunya dan maju beberapa langkah. "Widya, sudah! Jangan buat keributan di sini." Raka kembali menahannya. "Bang Ahmad, Abang tahu? Wanita inilah yang udah memfitnah Kirana. Dia juga yang udah mecahin tempat makannya Kirana dan gara-gara dia Kirana jadi sakit." "Loh, kok' aku, sih? Apa hubungannya denganku?" Emosi Widya kembali tersulut setelah mendengar tuduhan Hamidah. Ahmad berdiri dari tempat duduknya, lalu melipat kedua tangannya. "Kukira kamu sudah bertaubat. Ternyata belum. Dan sekarang, kamu kembali lagi dan ingin membuat Kirana menderita, hah? Tidak akan kubiarkan kamu melakukan itu." Ahmad berucap sambil menahan gejolak amarah di dalam dadanya. Raka begitu terkejut mendengar ucapan Ahmad. Dia sungguh penasaran kenapa lelaki yang baru bertemu dengannya itu begitu berani mengatakan hal seperti itu kepada Widya. "Apa lelaki itu kenal dengan Widya? Ada apa sebenarnya? Mungkinkah ada sesuatu yang tidak diketahui?" Batin Raka bertanya-tanya. Raka hendak bertanya, tetapi kehadiran dokter yang baru selesai menangani Kirana membuatnya mengurungkan niatnya tersebut. "Alhamdulillah pasien sudah siuman dan sudah bisa dijenguk," ucap dokter saat menghampiri mereka. "Kirana baik-baik saja kan, Dok?" tanya Ahmad. Lelaki berparas tampan itu memang begitu mengkhawatirkan Kirana. "Alhamdulillah, pasien baik-baik saja. Dia hanya masuk angin, selain itu maag-nya juga kambuh, makanya pasien pingsan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya akan meresepkan obat dan sebentar lagi pasien sudah boleh pulang." Setelah memberi penjelasan, dokter pun pamit ke ruangannya. Ahmad dan Hamidah segera menemui Kirana yang masih berbaring lemah di atas brankar. Raka hendak ikutan, tetapi ditahan oleh Widya. "Dia udah sadar. Kita pulang saja, Bang!" "Tunggu, apa kamu kenal dengan lelaki tadi?" tanya Raka penuh selidik. "Kenal gimana? Orang aku juga baru ketemu dia hari ini!" Meskipun Widya sudah menjelaskan, tetapi Raka masih belum puas dengan jawabannya. Raka merasa kalau Widya tidak jujur padanya. "Lebih baik kamu jujur, Widya. Tidak baik jika nanti aku mengetahui kebenarannya dari orang lain," tegas Raka. Widya terdiam. Raut wajahnya langsung berubah setelah mendengar kata-kata terakhir Raka. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN