Tukang Fitnah

1203 Kata
Bagian 10 "Kirana, ayo dong bangun! Jangan buat sahabatmu ini khawatir, Na." Hamidah menggenggam tangan Kirana begitu Wahyu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Bu Hamidah, coba cari balsam atau kayu putih di lemari," titah Wahyu. Hamidah pun mengangguk, lalu segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Wahyu. Guru-guru sudah pulang. Tinggal mereka saja yang belum pulang. Jadi, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan. Setelah menemukan apa yang dia cari, Hamidah kembali menghampiri Wahyu. "Ketemu, Pak." Wahyu meminta kayu putih tersebut dari Hamidah, tetapi Hamidah menolak. "Biar saya saja, Pak." Hamidah pun mengoles sedikit kayu putih ke hidung Kirana, lalu menunggu reaksinya. "Kok' Bu Kirana belum bangun juga ya?" Wahyu semakin mengkhawatirkan Kirana. "Enggak tahu ni, Pak. Tadi Kirana baik-baik aja, kok." "Kirana belum siuman juga?" tanya Raka yang datang menyusul. "Seperti yang anda lihat," sahut Wahyu judes. Raka hendak mendekat, tetapi dilarang oleh Wahyu. "Di situ saja. Harap jaga jarak dengan Bu Kirana!" "Pak Wahyu kenapa melarang saya?" protes Raka tidak terima. "Kalau Bapak boleh kenapa saya enggak?" "Karena anda adalah penyebab Bu Kirana menjadi seperti ini," tegas Wahyu. "Saya? Apa hubungannya dengan saya, coba?" "Karena wanita yang datang bersama anda itu sudah memecahkan kotak makannya Bu Kirana sehingga dia tidak bisa lagi membawa bekal. Karena tidak membawa bekal, Bu Kirana terpaksa memakan mie instan sebagai pengganjal perut. Akibatnya, sakit maag-nya kambuh dan jadilah dia drop seperti ini. Masih berani mengatakan bahwa ini semua tidak ada hubungannya dengan anda, hah?" Raka terdiam. Tidak bisa membantah karena apa yang dikatakan Wahyu itu memang benar adanya. Hanya saja dia tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Sedangkan Hamidah, dia sedikit terkejut karena Wahyu mengetahui semuanya. Bahkan Kirana memiliki riwayat sakit maag pun, Wahyu mengetahuinya. "Sepertinya Pak Wahyu memang benar-benar mencintai Kirana. Kasihan dia. Pak Wahyu pasti akan patah hati jika dia tahu kalau Kirana sudah memiliki calon suami," batin Hamidah. "Satu lagi. Karena Anda juga, baju Kirana menjadi basah sehingga membuatnya menjadi masuk angin. Anda punya masalah apa sih, sama Bu Kirana?" "Apa hubungannya baju Kirana yang basah dengan saya?" Raka sama sekali tidak mengerti apa maksud ucapan Raka. "Sudah! Jangan ribut di sini," sela Hamidah yang berhasil membuat Raka dan Wahyu diam. Setelah beberapa saat menunggu, Kirana belum siuman juga. Akhirnya Hamidah mengirimkan pesan kepada Ahmad dan mengabarkan tentang kondisi Kirana tanpa sepengetahuan Raka dan Wahyu. Hamidah meminta Ahmad datang dengan mengendarai mobil agar bisa membawa Kirana ke puskesmas atau klinik terdekat. Sementara itu, Widya yang dari tadi sudah menunggu Raka di dekat pos satpam mulai kesal karena Raka belum kelihatan juga. Murid-murid dan guru-guru sudah pulang. Seharusnya Raka keluar bersama mereka. Karena kesal, Widya pun menyusul ke dalam. Gadis itu berjalan menuju ruangan guru untuk mencari keberadaan Raka. Nihil! "Bang Raka ke mana, sih?" Widya semakin kesal saja. Akhirnya, Widya terpaksa mengitari sekolah untuk mencari keberadaan calon suaminya itu. "Pantas saja, ditungguin dari tadi enggak nongol-nongol. Rupanya Abang di sini," ucap Widya yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Raka, Wahyu dan Hamidah serentak menoleh ke sumber suara itu dan langsung membuang muka setelah melihat sosok yang berdiri di sana. "Bang, pulang!" ajak Widya sambil memasang wajah cemberut. Namun, tak ada jawaban dari Raka. Raka masih fokus menatap gadis yang tengah berbaring di atas kasur itu. "Eh, kalian ngapain, sih? Itu Kirana, kan? Ada apa dengan Kirana?" "Dia pingsan," jawab Raka sekenanya. "Pingsan? Jangan-jangan hamidun tuh! Secara gitu, dia itu 'kan wanita yang enggak benar. Ops!" Widya langsung menutup mulutnya setelah mengucapkan kalimat itu. Pura-pura keceplosan padahal sebenarnya dia sengaja. "Tutup mulutmu! Berhenti memfitnah sahabatku," sahut Hamidah. Dia tidak terima saat Kirana kembali difitnah. "Kemarin nuduh Kirana wanita yang enggak benar. Sekarang nuduh hamil. Dasar tukang fitnah," bentak Hamidah. "Pak Raka, tolong bawa wanita itu meninggalkan tempat ini. Jangan sampai kesabaran saya habis," pinta Hamidah. Raka mengangguk, lalu meminta Widya untuk menunggu di mobil. "Bukan hanya wanita itu yang harus meninggalkan tempat ini. Anda juga," ucap Wahyu sambil menatap Raka dengan tatapan tajam. "Kenapa Pak Wahyu mengusir saya? Saya juga mengkhawatirkan Bu Kirana." "Apa? Abang mengkhawatirkan Kirana? Enggak salah, Bang?" tanya Widya tidak percaya. Hatinya terasa sakit saat melihat calon suaminya mengkhawatirkan wanita lain. "Bukan begitu, Widya." Raka berusaha mencari alasan, tapi dia tidak juga menemukan alasan yang tepat untuk meyakinkan Widya. "Abang tega sama aku." Widya menitikkan air mata, membuat Raka semakin pusing. "Kalian berdua sama saja. Kehadiran kalian di sini malah membuat suasana menjadi semakin kacau. Sebaiknya kalian tinggalkan saja tempat ini. Ayo, tunggu apalagi!" titah Wahyu. Namun, Raka dan Widya tak mau pergi. Ponsel Hamidah berdering. Ahmad menghubunginya untuk menanyakan di mana keberadaan mereka karena Ahmad sudah tiba dan sudah memarkirkannya mobilnya di halaman sekolah. "Assalamualaikum, Bang. Abang datang saja ke ruang UKS di samping ruangan kepala sekolah. Kirana di sini." Sambungan telepon pun terputus setelah Hamidah menjelaskan. "Assalamualaikum." Ahmad mengetuk pintu, membuat orang-orang yang berada di ruangan UKS serentak menoleh ke sumber suara itu. "Bang Ahmad, di sini." Hamidah melambaikan tangannya, lalu Ahmad pun mendekat. "Kirana belum sadar juga, Midah?" "Belum, Bang." "Yasudah, bantu Abang yuk. Kita bawa Dek Kirana ke klinik." "Baik, Bang." "Eh, tunggu! Anda siapa? Datang-datang malah mau membawa Bu Kirana," cegah Wahyu. "Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Kenalin, saya Ahmad, calon suaminya Kirana," ucap lelaki berparas tampan itu sambil mengulurkan tangannya. Wahyu terkejut bukan main. Dia bahkan tidak mau menyambut tangan Ahmad. Dia membiarkan tangan itu mengambang di udara. Kecewa, sudah pasti. Wahyu bahkan tidak mengira kalau Kirana telah memiliki calon suami. Harapannya untuk mempersunting Kirana menjadi istrinya seketika kandas. "Yasudah, silakan!" Wahyu mundur beberapa langkah. Mempersilakan Ahmad untuk mengangkat tubuh Kirana. "Jadi, Kirana sudah memiliki calon suami?" tanya Raka di dalam hatinya. Sama seperti Wahyu, dia juga kecewa setelah mengetahui bahwa Kirana telah memiliki calon suami. Namun, Raka berusaha menyembunyikan perasaannya. Dia berusaha bersikap biasa saja di hadapan semuanya. "Idih! Mau-maunya menjadikan wanita p*****r sebagai calon istri," ucap Widya. Jelas Widya tidak suka jika Kirana bahagia. Wanita itu selalu menginginkan Kirana menderita. Menurutnya, hanya dia yang berhak bahagia. "Tutup saja mulutmu. Jangan sampai aku merobek mulut sampahmu itu," tegas Hamidah. Meskipun sudah berada di luar, tapi Hamidah masih bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Widya. Hamidah membukakan pintu mobil. Kemudian Ahmad membaringkan tubuh Kirana di jok belakang. "Midah, kamu ikut ya. Nanti biar Abang suruh orang buat ambil motormu." "Baik, Bang." Hamidah menurut dan duduk di jok belakang. Ia memangku kepala Kirana dan sesekali menepuk-nepuk pipi sahabatnya itu. Setelah semua orang keluar dari ruangan UKS, Wahyu menutup pintunya kembali, lalu berjalan dengan gontai menuju motornya. Wahyu telah patah hati dan sekarang dia sudah tidak bersemangat lagi. Sedangkan Raka, mengikuti mobil Ahmad dari belakang. Bagaimanapun juga, dia tidak akan tenang sebelum memastikan bahwa Kirana baik-baik saja. "Kita mau ke mana sih, Bang?" Widya bertanya karena dia tahu bahwa jalan yang mereka lalui bukanlah jalan menuju pulang. "Jangan bilang kalau Abang mau mengikuti mobil itu karena Abang ingin mengetahui keadaan Kirana?" Raka tak menjawab. Ia fokus berkendara. Tidak dia pedulikan mulut Widya yang terus saja mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Raka memang mengatakan kalau dia sudah tidak peduli kepada Kirana. Namun, ucapannya sungguh berbeda dengan isi hatinya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Raka masih sangat peduli terhadap Kirana. Raka juga tidak mengerti perasaan apa yang sedang dia rasakan. Mulutnya memang mengatakan benci, tapi tidak dengan hatinya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN