9. Berbagi Kehangatan

1027 Kata
"Pakai jaket." Lios memberikan jaketnya untuk Bulan. "Nggak usah deh, kamu yang di depan langsung terkena angin dingin, kamu lebih butuh," tolak Bulan dengan halus. Lios tertegun dengan perhatian Bulan. Dia pun merasa tidak ada gunanya memaksa wanita itu memakai jaket. "Oke. Ada cara lain, kalau kamu nggak keberatan," kata Lios. "Cara apa?" Bulan mengernyit. Lios memakai jaketnya dibalik depan ke belakang, membuat punggungnya terbuka. Bulan mengejapkan mata. Lelaki ini benaran polos atau pura-pura polos? "Ayo naik," kata Lios. Bulan pun memanjat naik ke boncengan. Dia ragu sesaat dengan situasi yang sedikit aneh ini. Kedua tangannya berpegangan pada sisi jaket Lios. Merasakan keraguan Bulan, Lios tidak berpikir lebih banyak. Rasanya wajar-wajar saja kalau Bulan menjaga jarak. Mereka kan bukan pasangan. Motor melaju. Pertengahan jalan Bulan memberanikan diri memindahkan tangannya ke pinggang Lios di dalam jaket. Perubahan ini walaupun hanya sedikit tapi sudah membuat Lios senang. "Kita makan dulu? Aku belum makan malam." tanya Lios. "Boleh. Aku juga lapar." Lios membelokkan motor ke sebuah jalan yang dipenuhi warung tenda. Meskipun malam sudah larut tapi masih banyak orang di tempat ini. Mereka berdua menentukan pilihan pada warung tenda penjual ayam bakar. "Sering ke sini?" Bulan memperhatikan seorang lelaki muda yang sedang membolak-balik potongan-potongan ayam di atas arang. "Lumayan. Ada beberapa tempat makan yang kusukai juga. Kapan-kapan kuajak ke sana ya." "Oke!" Bulan berseru senang. Itu berarti Lios mau menghabiskan waktu bersamanya. "Gimana rasanya nyanyi di atas panggung?" tanya Lios. "Mendebarkan. Takut salah. Seru!" "Kamu bisa mengatasi demam panggung. Harus lebih sering nyanyi supaya makin terbiasa." Lios tersenyum lebar. Bulan terpesona melihat wajah tampan disertai senyum menawan ini. Ada lesung pipi yang muncul saat Lios tersenyum lebar. "Paha ayam dua!" Pelayan meletakkan piring makanan di hadapan mereka. "Mmm... Wangi banget. Bikin tambah lapar." Bulan menghirup aroma ayam bakar di hadapannya. "Ayo makan." Gigitan pertama membuat Bulan mendesah. Daging ayam ini begitu empuk dan bumbunya meresap. Tandanya diungkep dengan benar sebelum dibakar. "Aku bisa makan di sini setiap hari nih. Enak banget," ucap Bulan yang makan tanpa malu-malu. Lios mencatat dalam hati kalau Bulan menyukai tempat ini. Pertemuan berikutnya dia pasti akan mengajak Bulan makan di sini lagi. "Kamu pernah pacaran?" tanya Bulan. Lios nyaris tersedak, "Belum." "Oh ya? Sama dong? Aku juga belum pernah...." Bulan tersipu. Jari-jarinya sibuk menyuwir daging ayam. "Sepertinya kita cocok," ujar Lios. Kali ini Bulan yang nyaris tersedak. Dia tidak menanggapi, hanya menunduk menekuni makanannya. Lios tersenyum geli melihat Bulan yang salah tingkah. Menurutnya wanita ini terlihat sangat manis saat sedang malu-malu. Menggemaskan. Ingin rasanya merangkul dan menghibur. "Emm... Kamu dan Ferdi ada hubungan keluarga?" tanya Bulan. "Nggak. Kami kenal di Jakarta." "Oh, kirain. Soalnya wajah kalian kok sedikit mirip." "Mungkin wajah kebanyakan orang Timur memang sedikit banyak ada kemiripan satu sama lain, tanpa peduli ada hubungan saudara atau nggak." Lios tertawa. "Iya yah? Aku belum punya teman dari sana sih, jadi nggak tahu." "Setelah ini kamu akan banyak punya teman orang Timur." Lios terkekeh. "Udah dua. Kamu dan Ferdi." Lios sedikit terdiam mendengar Bulan menyebutnya teman. Bulan menyadari, namun bagaimana harus mengoreksi kata-kata yang telah dikeluarkan barusan? Mereka kan memang baru jadi teman? "Besok mau nyanyi lagu apa?" Lios mengalihkan pembicaraan. "Aku? Wah, jangan sering-sering deh. Nanti gajimu dipotong loh." Bulan tertawa. "Mana mungkin. Kurasa malah dapat bonus karena membawa penyanyi baru yang cantik," ujar Lios. Bulan sontak merona. Lios menyebutnya cantik? Lios berdeham. "Kamu tambah cantik kalau malu...," imbuhnya. Walhasil wajah Bulan semakin memerah. Dia harus menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan wajah yang berkhianat ini. "Aku nggak hafal banyak lagu," lirih Bulan. "Nggak apa-apa. Kamu kasih tahu aja lagu apa aja yang kamu hafal, kita latih dulu besok sore." "Lihat nanti deh. Pikir-pikir dulu." Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat. Masing-masing berusaha meredakan debaran jantung yang menggila. Lios melihat jam di handphone. Sudah jam sebelas malam. Sebaiknya mengantar Bulan pulang sekarang. "Sudah malam. Pulang ya? Kalau mau besok sore kujemput." Lios tersenyum. "Iya, boleh." Bulan merasa jiwanya sangat lemah sekarang. Setelah membayar makanan mereka berjalan ke motor. Lios memberikan helm merah, Bulan naik ke boncengan. Dilihatnya Lios memakai jaket terbalik seperti tadi. Sangat hati-hati Bulan meletakkan kedua tangannya di pinggang Lios. Ragu sejenak, Bulan condong ke depan dan melingkarkan lengannya di tubuh Lios. Kehangatan lelaki itu segera menyelimuti Bulan. Tubuh yang mendadak melekat tanpa jarak membuat Lios terkejut. Dia tidak menyangka Bulan akan memeluknya. Bibirnya menyunggingkan senyum. Dia tidak dapat mengharapkan situasi yang lebih baik dari ini. "Santai aja ya," kata Lios. "Iya, aku santai kok," lirih Bulan. Dia dapat merasakan getaran halus yang timbul saat Lios berbicara. Jantungnya berdebar kencang. Kehangatan yang terasa membuat Lios tidak ingin segera berpisah dengan Bulan. Dia melajukan motor dengan santai. Tanpa diketahui, Bulan pun memiliki pikiran yang sama, berharap seandainya jalan ini tidak akan berakhir terlalu cepat. Bersandar sepenuhnya pada Lios, Bulan memejamkan mata. Nyaman sekali. Terlalu nyaman malah, sampai-sampai Bulan merasa sedikit mengantuk. Motor oleng saat Bulan tertidur. Refleks Lios menahan tubuh Bulan agar tidak jatuh ke samping. Dia menepikan motor. Bulan pun terkejut. "Sorry, aku ketiduran...." "Hati-hati. Tahan, sedikit lagi sampai," kata Lios. "Iya, sorry...." Bulan kembali melingkarkan lengannya di tubuh Lios. "Aku pegangin kamu ya?" Lios menggenggam tangan Bulan dengan tangan kirinya. "Oke." Lios melajukan motornya lebih perlahan, tidak ingin Bulan terjatuh karena tertidur. Saat pelukan Bulan mengendur, Lios menariknya lebih erat, begitu seterusnya sepanjang perjalanan hingga mereka tiba di depan rumah Bulan. "Bulan? Kita udah sampai." Lios menghentikan motornya. "Hmm... Oh, udah sampai?" Bulan menyahut seperti orang bingung. "Iya. Bisa turun?" Lios menoleh dengan cemas. "Bisa." Bulan hendak bergerak turun, tapi tangan Lios tidak melepas genggamannya. Bulan berusaha menarik sedikit lebih kuat. Lios seperti baru tersadar kalau tangannya menggenggam tangan Bulan dengan erat. Dia segera melepas tangan yang lembut itu. Berpegangan pada bahu Lios yang kokoh, Bulan merosot turun dengan aman. "Akhirnya sampai juga. Thanks ya." Bulan mengembalikan helm. "Sama-sama. Thanks juga udah mau temani aku malam ini." Lios tersenyum menawan. "Aku masuk dulu ya?" "Oke." Bulan pun berbalik. Dia membuka pintu pagar yang tinggi dan melangkah masuk. Saat berbalik lagi dia melihat Lios masih menunggu, seperti pangeran berkuda putih yang mengantar Cinderella pulang. Melihat Bulan sudah aman berada di dalam pagar Lios melambai. Dia melaju pergi, meninggalkan sebagian hatinya di rumah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN