Pengalaman bertahun-tahun sebagai pemusik tidak membuat Lios abai berlatih. Lagu-lagu yang telah sering dibawakan pun tetap dilatih secara rutin. Terutama sekarang ketika harus mengiringi Bulan dengan sebuah lagu yang belum pernah dibawakan Lios.
Untunglah feel musik Bulan tergolong cukup bagus. Dia dapat menangkap intro dan masuk dengan tepat. Lios pun peka mendengar jangkauan vokal Bulan, sehingga dia memainkan musik pada kunci yang tepat, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Usai berlatih Lios tampak puas. Sekarang tinggal mengatasi kegelisahan Bulan. Demam panggung. Tidak terlalu parah sih, cuma dapat mengganggu pernafasan.
"Ingat, seperti kemarin aja. Fokus padaku." Lios tersenyum.
Bulan mengangguk, "Tanganku sampai dingin...."
Spontan Lios meraih tangan Bulan. Benar, tangan mungil itu sedingin es.
"Tenang aja. Anggap di sini cuma ada kita berdua," ucap Lios menenangkan.
"Iya. Seperti kemarin."
"Suaramu makin jernih. Kamu juga bisa langsung menangkap intro yang kumainkan. Kamu pernah belajar musik?"
"Dulu waktu kecil...."
"Oh, apa? Piano?" tebak Lios.
"Iya. Tapi cuma sampai SD, habis itu nggak lanjut. Aku bosan." Bulan tertawa.
"Aku mau lihat kamu main piano."
"Ah, nggak bisa, udah lupa."
"Besok mau berlatih di tempatku?" tanya Lios.
Bulan tertegun, "Di mana?"
"Apartemenku."
Bulan terbengong. Lios mengajaknya ke mana? Tempat tinggalnya? Tapi...
"Kalau merasa nggak nyaman—"
"Aku mau," cetus Bulan tanpa banyak berpikir lagi. Toh dia juga ingin lebih mengenal lelaki ini.
"Oke. Besok siang kujemput." Lios tersenyum lebar. Kebahagiaan terpancar dari wajah tampannya.
Usai berlatih dengan Bulan, Lios memesankan minuman ringan dari bar. Bulan langsung meminumnya habis. Haus.
Karena hari ini Jumat, pengunjung cafe lebih ramai dari biasanya. Lios tampil dengan mempesona seolah dirinya memiliki tenaga cadangan. Bulan juga mendapat apresiasi baik dari pengunjung untuk beberapa lagu yang dia nyanyikan. Ferdi memperhatikan dengan puas. Sebuah gagasan terbentuk dalam kepalanya.
Seorang pengunjung memanggil waiter. Entah apa yang dibisikkan, waiter langsung menghampiri Lios. Mendengar apa yang dikatakan waiter itu Lios mengangguk.
"Ada yang request lagu," jelas Lios pada Bulan.
"Oh, lagu apa?"
"Close to You." Lios menyebutkan judul sebuah lagu lawas yang dipopulerkan oleh The Carpenter.
"Aku suka lagu itu." Bulan tersenyum.
"Kamu yang nyanyi? Atau duet?"
"Duet aja deh... Belum pede kalau sendiri."
Lios tersenyum. Dia memainkan intro lagu, di luar kepala Lios sudah menghitung kunci nada Bulan. Sepanjang lagu mereka berdua bertatapan sebagai komunikasi tanpa suara. Lios kagum, ternyata Bulan pandai membaca ekspresi, dia bisa melihat kode halus yang diberikan Lios sebagai tanda masuk. Duet pun berjalan dengan lancar.
Beberapa pengunjung masih memasukkan request lagu. Lios membawakan semua dengan baik. Bulan tidak menguasai semuanya jadi dia lebih banyak duduk menikmati.
"Kalian perform dengan sempurna!" puji Ferdi saat cafe sudah mendekati jam penutupan.
"Thanks," ucap Bulan dengan senyum lebar di wajah. Pipinya merona karena pujian yang murah hati tersebut.
"Betul, nggak disangka kamu bisa nyanyi dadakan juga," imbuh Lios.
"Kebetulan pernah tahu lagunya aja." Bulan merendah.
"Habis ini kalian ke mana? Langsung pulang atau kencan dulu?" goda Ferdi.
"Aku harus pulang...," lirih Bulan.
"Oh, oke, kalau gitu aku nggak akan lama. Bro, kita ngobrol sebentar di kantor ya," ajak Ferdi.
"Oke." Lios menoleh ke arah Bulan, "Tunggu sebentar ya."
"Iya."
Kedua lelaki itu pun berjalan ke lantai dua, masuk ke ruangan kantor. Entah apa yang hendak dibicarakan.
"Ada apa?" tanya Lios.
"Bro, bujuklah pacarmu untuk perform bersama."
"Lo berani bayar berapa?" Lios tersenyum. Rupanya yang kagum dengan suara Bulan bukan hanya dirinya seorang.
"Fee standar. Masih oke kan?"
"Tanya orangnya langsung, kenapa harus melalui gue?"
"Nanti gue dibilang melangkahi?" ledek Ferdi.
Lios tertawa, "Kalau gitu naikkin gaji gue."
"Apa?" Ferdi melongo.
"Serius."
Sementara itu di lantai bawah, Bulan mencari kesibukan. Dia memainkan piano elektrik. Siapa sangka jari-jarinya masih cukup luwes. Bulan mencoba memainkan instrumen Ave Maria. Irama yang indah dan ringan memenuhi cafe. Segelintir pengunjung yang masih tinggal mengarahkan perhatian pada Bulan.
Sosok Bulan yang ramping dan masih berpakaian ala karyawan kantoran terlihat manis di bawah sorotan lampu panggung yang hangat. Rambut panjangnya jatuh ke depan menutupi sebagian wajah. Mata yang setengah terpejam membuatnya terlihat cantik.
"Hai, Cantik? Kok sendirian?" Seorang lelaki melangkah mendekati panggung.
Bulan melirik sekilas. Dilihatnya langkah kaki lelaki itu sedikit goyah, tampaknya mabuk. Bulan mengabaikan.
"Huh, cantik-cantik bisu ya? Siapa namamu?" Si lelaki semakin mendekat.
Bulan tidak ingin menjadi mangsa mudah. Dia berhenti bermain dan mengambil tas.
"Eh, mau ke mana? Belum juga ngobrol?" Lelaki itu menghadang Bulan.
"Sorry, udah malam," ketus Bulan. Dia berjalan menghindari si lelaki mabuk.
"Aahh sombong, jual mahal. Gue bayar lo untuk satu malam." Lelaki itu menjangkau Bulan.
"Hei, pulang sana. Cafe udah tutup." Lios mencengkeram pergelangan tangan si lelaki mabuk.
Bulan terlihat lega.
"Siapa lo? Pacarnya? Gue yang pertama lihat dia!" Lelaki itu berusaha menepis tangan Lios, tapi cengkeramannya sangat kuat.
"Selesaikan di luar, Kawan," ucap Lios dingin.
"Ayo! Siapa takut? Berani-beraninya lo berebut wanita sama gue! Lo nggak tahu siapa gue?" gertak si lelaki mabuk.
"Siapa peduli?" ejek Lios.
Melihat perkembangan yang tidak baik, teman-teman si lelaki mabuk bergegas maju menahan kawan mereka. Dia ditarik keluar dengan paksa sembari seseorang dari mereka meminta maaf pada Ferdi.
Lios menghela nafas. Hampir saja terjadi masalah. Untung dirinya tidak perlu berkelahi.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Lios pada Bulan.
"Nggak apa-apa... Cuma kaget aja." Bulan menggigit bibir.
Mata Lios jatuh pada gerakan kecil yang dilakukan Bulan, berangan seandainya dia yang menggigit bibir mungil itu. Dia segera mengusir pikiran nakal tersebut.
"Mau cari tempat nongkrong?" tanya Lios.
Sebelum menjawab perut Bulan sudah berbunyi. Wajahnya sontak merah padam. Wahai perut, lapar juga harus lihat situasi! Bulan ingin kabur saja rasanya.
"Aku juga lapar kok," kata Lios dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.
"Iya... Lapar...," lirih Bulan yang sudah menunduk malu.
Lios menggandeng tangan Bulan, menariknya berjalan ke luar. Gestur ini mengejutkan Bulan. Mereka sudah seakrab ini kah? Tapi rasanya menyenangkan kok. Bulan semakin menunduk untuk menyembunyikan rona di wajah. Tanpa dia ketahui Lios juga sedikit memerah.
Angin malam berhembus menyejukkan wajah Bulan yang terasa panas. Kedekatan di antara mereka semakin nyata, meskipun belum ada kata kepastian yang terucap. Dalam kedua hati bertumbuh harapan, keinginan, hasrat memiliki. Namun, yang pasti Bulan sebagai seorang wanita tidak akan berbicara lebih dulu. Dia akan menunggu Lios.
Motor menuju ke tempat kemarin, jalan yang dipadati warung tenda. Malam ini selera mereka berbeda. Bulan memesan ketoprak, sementara Lios memilih tenda pecel lele.
"Kamu mau nggak perform reguler di RM Cafe?" tanya Lios.
Bulan nyaris tersedak kerupuk, "Apa? Reguler? Maksudnya rutin? Tetap?"
"Iya, betul. Tadi Ferdi minta aku untuk membujukmu."
"Ohh..."
"Kalau nggak berminat nggak apa-apa, tapi karena kamu mulai banyak bernyanyi memang sebaiknya mendapatkan apresiasi lebih, bukan sekedar pujian atau terima kasih," tutur Lios
"Gitu ya? Dipikirkan dulu boleh nggak?"
"Boleh. Kenapa nggak?"
"Apa ada batas waktu?"
Lios tertawa, "Nggak lah."
Bulan mengangguk perlahan. Dia paham, yang dimaksud dengan apresiasi oleh Lios adalah honor sebagai penyanyi. Masalahnya dia bukan penyanyi.
Ah, nanti saja lah baru dipikirkan. Sekarang pikirkan saja yang ada di depan mata. Tidak bosan-bosannya Bulan mencuri pandang ke arah Lios. Lelaki ini makin dilihat makin mulus, maksudnya, makin manis.
"Ada sesuatu di wajahku?" tanya Lios. Hatinya geli melihat tingkah Bulan.
"Nggak." Bulan menunduk malu. Ketahuan!
"Kalau mau lihat, lihat aja," goda Lios.
"Benar ya?" Bulan langsung bertopang dagu dengan sepasang mata yang cemerlang menatap wajah Lios.
"Silakan." Lios tidak mengalah.
Mereka bertatapan selama beberapa menit. Bulan sudah menggigit bibirnya untuk menahan tawa. Sebaliknya, Lios tampak santai. Dia menggunakan kesempatan ini untuk mengamati Bulan.
Sepasang mata Bulan berbentuk almond khas wanita Tionghoa, hidung mancung, bibir tipis yang tampak selalu tersenyum, kulit seputih s**u. Kontras sekali dengan dirinya yang berkulit gelap.
"Kalau dipikir-pikir kita seperti kopi s**u," celetuk Lios masih dengan wajah santai.
"Apa? Ohhh ya ampun, bisa aja kamu kepikiran itu." Bulan tertawa.