Sepanjang hari Bulan bernyanyi-nyanyi kecil. Tidak disangka bekerja sambil bernyanyi membuat waktu berlalu lebih cepat. Sebentar saja sudah siang. Kali ini Yunita yang menyeret Bulan untuk turun makan siang di kantin, padahal yang biasa terjadi adalah sebaliknya.
"Dari pagi gue lihat lo asyik banget? Lagi bahagia nih ye?" ledek Yunita saat mereka antre di kios nasi rames.
"Iya dong. Semalam gue nyanyi bareng Lios."
"Oh ya? Lo bisa nyanyi? Kok gue nggak pernah dengar lo nyanyi? Pas gathering juga nggak pernah ikutan karaoke?" Yunita terbelalak.
"Suara gue mahal tahu." Bulan tertawa.
"Gaya lo! Cieee udah duet sama cowok ganteng. Udah jadi penyanyi cafe dong?"
"Nggak lah. Cuma hobi aja. Lagian yang kerja di sana kan Lios, masa gue nyerobot kerjaan dia?" Bulan tersipu.
"Dia pasti rela! Terus siapa tahu lo dapat honor juga. Kan lumayan, sambil menyelam minum air."
"Minum air dari Hong Kong. Yang ada gue tenggelam." Bulan tertawa.
"Hahaha kalau udah terkenal jangan lupain gue ya!" Yunita menepuk-nepuk punggung Bulan.
Bulan terbatuk-batuk.
"Hey, girls," sapa Johan.
Bulan langsung pasang wajah serius. Sejak obrolan tadi pagi dia makin sebal terhadap Johan.
"Hai. Tumben cepat turun?" sapa Yunita.
"Lagi nggak banyak kerjaan," kata Johan sambil menatap Bulan yang memunggunginya. Wanita ini, semakin menolak semakin membuat dirinya tertantang.
"Antrenya lama. Gue cari yang lain deh," ketus Bulan beralasan.
"Yah... Ya udah, cariin meja ya?" pinta Yunita.
"Nggak ah, gue bungkus aja. Dah." Bulan pun berjalan pergi tanpa menunggu reaksi Yunita.
Johan menyeringai, "Dasar. Dipikir dia siapa?"
"Kalian bertengkar?" tanya Yunita.
"Mana mungkin? Kenal pribadi aja nggak. Bulan nggak ada apa-apanya," cetus Johan sambil merangkul pinggang Yunita.
"Eh, apaan sih?" Wajah Yunita merah padam.
"Hah, baru begini aja muka lo udah merah, Yun? Gimana kalau gue berbuat lebih jauh?" goda Johan. Dia melampiaskan agresinya pada wanita mungil yang kebetulan ada di dekatnya.
"Nggak mau ah...," lirih Yunita sambil melepaskan tangan Johan dari tubuhnya.
"Kalau ngomong begitu tandanya suka." Johan mendekatkan wajahnya, "Benar ya? Lo suka sama gue?"
"Johan, jangan sembarangan. Gue bukan cewek lain yang bisa lo mainin." Yunita mundur selangkah. Jantungnya berdegup sangat kencang. Meskipun mulutnya menolak tapi dalam hati mendamba.
"Ya udahlah. Gue juga jadi malas makan. Bye." Johan memutuskan untuk mencari makan di luar.
Sepeninggal Johan, Yunita merasa sepi. Tidak ada pilihan lain, Yunita makan sendiri di kantin. Apakah tadi seharusnya dia mengiyakan pertanyaan Johan? Apakah dirinya baru saja melewatkan kesempatan baik?
Yunita berkali-kali menghela nafas. Kadang dia ingin memiliki sedikit sifat Bulan yang blak-blakan. Terbukti sahabatnya itu sekarang semakin dekat dengan lelaki pujaan. Sementara dia? Tiga tahun tanpa perubahan!
Sementara itu Bulan baru saja selesai makan di mejanya. Dia memutuskan untuk berkirim pesan singkat dengan Lios.
'Hai, udah makan siang?' tanya Bulan.
Lios segera membalas, 'Belum. Kamu?'
'Baru selesai. Lagi nunggu jam istirahat habis.'
'Baguslah. Hari ini sibuk?'
'Nggak terlalu. Cuma ada meeting, habis itu santai.'
'Oke. Sore tunggu aku ya.'
'Oke. See you.'
Bulan bertopang dagu sambil senyum-senyum sendiri. Baru empat kali bertemu saja sudah bikin berbunga-bunga seperti ini. Bagaimana kalau mereka benaran jadi pacar? Bukannya jadi terbang ke langit?
Helaan nafas Bulan membuat kertas-kertas di mejanya bergetar hendak terbang. Matanya menatap foto Lios yang terpampang di layar handphone.
"Lios...." Nama itu keluar dari bibir bersama helaan nafas Bulan.
Ketika jam istirahat berakhir satu persatu karyawan kembali ke meja masing-masing. Bulan berhati-hati menjaga ekspresi. Jangan sampai orang lain melihatnya seperti orang kurang waras.
"Woi, lain kali gue nggak mau makan siang bareng lo lagi ah. Gue ditinggal melulu," rajuk Yunita.
"Sorry, Yun. Mending besok makan siangnya di sini aja yah?" Bulan merasa tidak enak hati.
"Besok hari Sabtu, Sayang. Lo ke sini sendiri aja," ledek Yunita.
"Sabtu ya? Astaga, kok gue bisa lupa hari?" Bulan menepuk dahi.
"Lo mikirin Lios melulu sih. Besok malam Minggu loh. Udah siap belum?" goda Yunita.
"Hahaha ampun, gue ngaku salah." Bulan tertegun lalu melotot, "Besok siap apaan?"
"Siap pacaran lah! Masa siap kerja bakti sekelurahan?" Yunita tertawa geli.
"Ih, belum juga jadi pacar," protes Bulan.
"Belum, artinya akan jadi. Gue tunggu traktirannya kalau jadian ya, Lan." Yunita kembali ke mejanya dengan cengiran kemenangan.
Bulan tertawa. Teman yang satu ini benar-benar. Dia geleng-geleng kepala. Susah payah Bulan mengembalikan konsentrasi pada pekerjaan. Hari ini memang tidak banyak pekerjaan, tapi meeting tadi pagi tidak bisa dianggap remeh.
Seperti pada event-event sebelumnya, semua karyawan mendapat bagian bekerja, baik semasa persiapan maupun saat hari-H. Pak Edward telah menegaskan pentingnya untuk mencari wajah-wajah segar vendor baru, karena kecenderungan klien adalah mencari yang bagus dengan harga miring. Vendor baru dapat dibujuk untuk menurunkan harga. Mereka pun tidak keberatan, karena bisa bergabung sebagai vendor You&Me adalah pintu yang terbuka untuk kesuksesan masa depan.
Sebenarnya jobdesc Bulan tidak terlalu banyak dalam event, hanya saja pada hari-H dia pasti ikut sibuk membantu sana-sini. Lumayan bisa kebagian bonus kerajinan.
Sore hari pun tiba. Bulan segera membereskan meja dan berderap turun. Dia melihat lelaki hitam manisnya sudah menunggu di depan kantor. Bulan berlari kecil menghampiri Lios. Tanpa mereka ketahui, Johan memperhatikan dengan tatapan dengki.
"Hei, semangat sekali." Lios melempar senyum.
"Kalau udah jam pulang kerja semua orang pasti semangat." Bulan mengelak. Pipinya merona.
"Ayo, langsung jalan." Lios memberikan helm merah pada Bulan.
Bulan memanjat naik ke boncengan. Kali ini tanpa sungkan dia melingkarkan lengannya di pinggang Lios.
Motor pun melaju pergi, diikuti oleh tatapan Johan yang penuh amarah. Dia tidak menyangka Bulan dan Lios sudah bersikap semesra itu. Padahal Bulan selalu menolak jika Johan memberi perhatian lebih.
"Hai, Enu Molas, senang lihat kamu datang. Suasana bertambah ceria kalau ada kamu. Aku lihat muka dia sudah sampai bosan," gurau Ferdi.
"Bisa aja," ujar Bulan.
"Bosan lihat muka gue? Ya udah, Bulan, ayo kita pergi," ancam Lios.
"Eh eh, bukan begitu maksud gue, Bro! Hahaha bercanda, jangan dimasukin hati." Ferdi memeluk Lios.
"Hei, apaan? Nggak perlu berpelukan!" Lios mendorong Ferdi.
"Nggak terima pelukan saudara lagi? Sekarang ada Bulan sih ya?" goda Ferdi.
Lios melirik Bulan dengan gelisah, tidak tahu bagaimana wanita itu bereaksi terhadap candaan Ferdi.
Bulan tertawa geli melihat tingkah dua lelaki ini.
"Lo banyak kerjaan kan? Sana. Gue mau latihan dulu," cetus Lios.
"Oh, Bulan mau nyanyi lagi? Bagus, bagus! Hahaha ada variasi, bagus! Oke lah, selamat berlatih." Ferdi pun meninggalkan mereka berdua.
"Kalian... Lucu banget." Bulan tertawa.