Julukan Lios semalam berbekas di hati Bulan. Mereka berdua seperti kopi s**u. Benar juga sih, karena Lios berkulit gelap sedangkan dirinya berkulit terang. Jika disejajarkan memang terlihat kontras. Mengingat itu Bulan tertawa geli. Meskipun wajahnya lebih banyak serius tapi lelaki itu bisa bercanda juga.
"Pagi, Pa, Ma," sapa Bulan riang di meja makan.
"Pagi-pagi cerah banget, Anak Mama? Lagi bahagia ya?" tanya Vero, ibunda Bulan.
Bulan hanya meringis. Dia tidak mau memberi tahu orangtuanya tentang Lios.
"Kamu hampir setiap hari lembur. Sebenarnya kantormu mengerjakan apa sih?" Bram, ayah Bulan, menatap curiga.
"Event enam bulanan, Pa. Biasa lah. Karena kekurangan sumber daya manusia jadi semua orang multitasking." Bulan mengoleskan selai srikaya ke atas roti panggang.
"Event? Apakah ada pengaruh terhadap perusahaan?" tanya Bram lagi.
"Ada dong. Vendor bertambah, iklan bertambah, uang mengalir masuk," jawab Bulan.
"Hari ini lembur juga?" Kali ini Vero yang bertanya.
"Nggak, Ma. Hari bebas! Aku mau main sampai puas." Bulan tersenyum lebar.
"Sama siapa? Teman sekantor?" tanya Vero.
Bulan mengangguk. Dia tidak sampai hati mengucapkan nama orang.
"Jangan terlalu malam. Kamu kayak anak kost aja, pergi pagi pulang malam cuma numpang tidur," omel Vero.
"Ih, Mama. Mumpung masih muda kan? Kalau aku udah berkeluarga mana bisa main sama teman lagi?" celetuk Bulan.
Bram geleng-geleng kepala. Dia membentangkan surat kabar di depan wajah tanda percakapan tidak lagi melibatkan dirinya.
Selesai makan Bulan kembali ke kamar. Dia mandi dan berpakaian rapi, tidak lupa membawa sepotong baju ganti. Hari masih terlampau pagi. Bulan rebah di tempat tidur sambil mengirim pesan singkat untuk Lios.
'Pagi. Udah bangun?' isi pesan singkat Bulan.
Tidak ada balasan. Bulan berpikir mungkin Lios belum bangun. Dia sendiri sebenarnya masih mengantuk, tapi karena hari ini mau bertemu Lios jadinya bersemangat dan bangun pagi. Apakah tidur sebentar lagi ya?
Bulan memeluk bantal. Hati dan kepalanya dipenuhi bayangan Lios. Bulan kini sudah yakin dengan perasaannya. Dia jatuh hati pada Lios. Seandainya lelaki itu mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, Bulan pasti akan menerima dengan tangan terbuka.
Menit demi menit berlalu, Bulan pun kembali terlelap. Beberapa hari terakhir jam tidurnya lumayan berantakan. Terlalu sering bergadang demi menghabiskan waktu bersama Lios.
Dering handphone membangunkan Bulan. Dia mengucek mata. Langit sudah sangat terang, matahari sudah tinggi. Bulan mengambil handphone dan menjawab panggilan dari Lios.
"Hai, pagi," sapa Lios.
"Pagi menjelang siang." Bulan tertawa.
"Aku udah di depan rumahmu."
Bulan terkejut. Spontan dia melihat ke luar jendela. Benar saja, di depan gerbang ada sesosok lelaki yang duduk di atas motor. Bulan menyambar tas dan berlari ke luar. Nafasnya terengah di samping Lios.
"Kirain... Belum datang...." Bulan meringis. Dia menoleh ke arah rumah. Tidak ada orang yang memperhatikan.
"Langsung jalan?" Lios memberikan helm merah.
"Iya!" Bulan memakai helm dan melompat ke boncengan dengan lincah. Dia memeluk Lios tanpa ragu lagi.
Jantung Lios berdebar kencang dengan kedekatan mereka. Tubuh wanita lembut dan memberi kehangatan yang berbeda. Lios melajukan motor menuju apartemen tanpa terburu-buru.
Sepanjang perjalanan Bulan gelisah. Ini pertama kalinya dia berkunjung ke tempat tinggal seorang lelaki. Apa yang harus dilakukan? Apakah nanti bisa mengobrol dengan normal? Apa yang dipikirkan Lios?
Motor melaju masuk ke parkiran di belakang gedung apartemen. Bulan mendongak. Tinggi juga gedung ini.
"Ayo," ajak Lios.
Mereka berjalan berdampingan menuju unit Lios di lantai dua puluh. Dua hati sama-sama berdebar, sama-sama tidak tahu apa yang harus dilakukan berduaan. Lios membuka kunci dan mempersilakan Bulan masuk terlebih dahulu.
Di luar dugaan tempat tinggal Lios cukup rapi untuk seorang lelaki lajang. Bulan menatap sekeliling dengan pandangan menilai.
"Anggap rumah sendiri. Aku mandi dulu." Lios masuk ke kamar.
"Oke...," lirih Bulan.
Bulan berdiri dengan canggung. Apanya anggap rumah sendiri? Meskipun demikian dia menghampiri sebuah benda yang terlihat akrab: keyboard. Setelah celingak-celinguk Bulan menemukan cara untuk menyalakan keyboard.
Dari dalam kamar mandi Lios mendengar alunan musik. Seulas senyum terkembang di bibirnya. Bulan berhasil menyalakan keyboard. Lios memejamkan mata berkonsentrasi pada nada-nada di luar. Enu molas sedang memainkan Canon in D.
"Lumayan lancar," puji Lios yang sudah selesai mandi.
"Haha nggak ah, jari-jariku udah kaku." Bulan meringis.
"Kamu nggak pernah berlatih lagi ya?" Lios mengambil kursi duduk di sebelah Bulan.
"Nggak pernah." Bulan berhenti bermain dan bergeser sedikit memberi tempat bagi Lios. Aroma sabun mandi yang menyegarkan memenuhi indera penciuman Bulan.
"Oke. Jadi kamu mau coba nyanyi apa hari ini?" tanya Lios.
"Nggak tahu," sahut Bulan polos.
Lios tertegun.
"Kita main tebak lagu deh. Aku mainkan instrumen, kamu tebak. Kalau bisa dengan bernyanyi," usul Lios.
"Coba aja."
Sebentar saja mereka sudah asyik bermain. Sebagian lagu yang dimainkan Lios dapat ditebak dengan baik oleh Bulan. Tinggal bagaimana membuat list lagu untuk Bulan dan berlatih lebih baik.
"Wow, ternyata udah banyak lagu-lagunya." Bulan menatap daftar yang dibuat Lios.
"Betul. Semuanya sesuai dengan warna suaramu. Kamu udah memikirkan tentang penawaran Ferdi?" Jari-jari Lios memainkan nada asal-asalan tapi tetap terdengar indah.
"Tapi aku nggak bisa setiap hari... Orangtuaku udah mulai curiga kenapa aku sering pulang malam. Sepertinya lebih baik aku mengurangi waktu ke cafe." Bulan menunduk sedih. Mengurangi waktu ke RM Cafe, berarti mengurangi waktu bersama Lios.
"Oke. Kamu lakukan bagaimana baiknya aja." Lios tersenyum. Ingin rasanya memeluk wanita yang bersedih ini.
Bulan mengangguk perlahan.
"Gimana kalau kita isi perut dulu?" usul Lios.
"Ih, benar juga. Aku belum makan siang. Ayo. Udah ditanya baru terasa laparnya." Bulan meringis.
"Di bawah ada kantin yang enak dan murah."
"Oke."
Mereka berdua turun ke kantin apartemen. Karena lapar Bulan mampu menghabiskan sepiring besar nasi rames. Lios senang melihatnya makan tanpa malu-malu.
"Tiap hari makan di sini? Enak loh," celetuk Bulan.
Lios berkata dalam hati, 'Kalau mau kamu juga bisa setiap hari ke sini...'
Pada kenyataannya dia hanya menjawab, "Iya. Aku kan tinggal di sini."
"Tinggal di apartemen sepertinya nyaman. Nggak perlu banyak sosialisasi dengan tetangga, nggak ada yang ikut campur kehidupan," renung Bulan.
"Hmm? Kamu berminat pindah tempat tinggal?"
"Nggak mungkin lah. Orangtuaku di sini...."
"Pernah tinggal terpisah?"
"Belum pernah."
"Menginap di rumah teman?"
"Belum pernah." Bulan mulai merasa malu.
"Saudara-saudaramu juga begitu?"
"Aku anak tunggal."
"Oh. Pantas kamu sangat dijaga orangtua. Pacarmu nanti harus berjuang keras ya." Lios tersenyum mengetahui kondisi keluarga Bulan.
"Yah, kayaknya begitu." Bulan meringis. "Kalau kamu berapa bersaudara?"
"Aku sulung dari tujuh bersaudara," jawab Lios.
"Tujuh? Lelaki? Perempuan?"
"Semua lelaki."
Bulan tercengang, "Ramai dong...."
Lios tertawa, "Ramai dalam arti sering berkelahi."
"Semuanya merantau juga?"
"Emm... Merantau ke kota yang berbeda-beda."
"Ooo...."
"Sepertinya kita cocok kalau jadi pacar. Kamu langsung punya banyak saudara." Lios pura-pura bercanda. Dia memperhatikan ekspresi Bulan.
Bulan tersentak kaget terhadap perkataan Lios. Wajahnya merona.
"Wajahmu merah sekali," goda Lios.
"Habisnya kamu... Bercanda apa serius?" gerutu Bulan.
Lios hanya tertawa dan tidak membahas lebih lanjut, "Kita siap-siap ke cafe, ya?"
"Iya deh...."
"Tadi itu, nggak usah dipikirin. Malam ini enjoy nyanyi aja, oke? Yang lain biar aku yang pikirkan." Ada sebuah rencana dalam benak Lios.