PARTE 7 - Teka-teki

1861 Kata
"Pasien terakhir?" tanya Evelyn pada Sina, perawat yang berdiri di belakangnya. "Benar, Dok. Ini pasien transfer dari Dokter Sunny karena beliau sedang cuti bulan madu ke Paris. Tidak ada masalah kehamilan, hanya cek rutin saja setiap minggu." Sina mendekatkan wajahnya dan berbisik ke Evelyn. "Aku dengar suaminya sangat mencintai pasien ini hingga tak pernah absen menemani istrinya cek kandungan," kata Sina dengan senyum lebar. Evelyn mengangguk dan membuka berkas pasien transfer itu. Dari catatan Dokter Sunny memang tak ada masalah yang serius. Hanya pasien itu pernah keguguran dan memiliki rahim yang sedikit lemah hingga pasien cenderung cepat kelelahan. Pasien itu sudah pernah melahirkan sebelumnya, hingga potensi keguguran lebih kecil. Pintu terbuka dan Evelyn mengalihkan matanya dari komputer di depannya. Melihat seorang wanita hamil yang masih muda dan cantik. Di sampingnya berdiri pria yang memegang tangannya dengan erat. Evelyn tersenyum kecil, seketika menyetujui perkataan Sina bahwa suaminya itu sangat mencintai istrinya. "Ibu Elena?" tanya Evelyn sambil menaikkan kacamatanya. "Benar." Wanita itu tersenyum pada Evelyn dan pria di sampingnya menarikkan kursi untuk Elena. Dengan hati-hati pria itu membantu Elena duduk. Padahal perut Elena belum terlalu besar. Kehamilannya baru empat bulan. "Selamat sore, Dokter Evelyn. Istri saya sebelumnya selalu berkunjung ke Dokter Sunny, tapi beliau sedang cuti. Dokter Sunny merekomendasikan Dokter Evelyn dan bilang bahwa Anda adalah dokter kandungan terbaik di rumah sakit ini," kata pria di samping Elena. Evelyn tersenyum malu, "Saya tidak sehebat itu, Pak -" "Regan," cetus pria itu. "Pak Regan," lanjut Evelyn. Elena melepaskan tangan Regan yang menggenggam tangannya dan tersenyum tidak enak pada Evelyn, "Sebenarnya saya baik-baik saja. Saya bisa menunggu sampai Dokter Sunny kembali. Beliau bilang hanya cuti satu bulan. Tapi pria ini selalu memaksa saya untuk datang ke sini. Bukankah dia sangat berlebihan, Dok?" tanya Elena sambil melirik suaminya. Evelyn tertawa, "Sepertinya suami Anda sangat mencintai Anda, Ibu Elena." "Lihatlah, Dokter Evelyn saja mengerti perasaanku," kata Regan. Evelyn berdiri dan mengambil baju rumah sakit untuk Elena, "Silahkan ganti pakaian terlebih dahulu sebelum kita USG, Ibu," kata Evelyn. Regan membantu Elena berdiri dan mereka berjalan ke dalam ruangan USG. Evelyn di bantu perawatnya mengoleskan gel ke perut Elena. Di layar USG, Evelyn mulai menjelaskan keadaan kandungan Elena pada pasangan suami istri itu. "Bisa Anda lihat, pada awal bulan ke empat ini kelopak mata, alis, kuku dan rambut calon bayi mulai terlihat." Evelyn menggeser ujung USG-nya. "Lihatlah, calon bayi Anda sedang menguap sekarang. Anda juga sudah bisa melihat wajahnya dengan jelas. Nanti saya akan mencetak gambar USG di bagian ini," kata Evelyn ketika sadar Elena sangat senang melihat wajah bayinya. "Apa bayi saya baik-baik saja, Dok? Tidak ada masalah, bukan?" "Dari pemeriksaan ini saya tidak menemukan masalah apapun. Perkembangan bayi Anda pun lebih cepat daripada umumnya. Karena Anda sudah melewati trimester pertama, jadi kemungkinan Anda mengalami keguguran akan sangat kecil. Bayi Anda sangat sehat, jadi Anda tidak perlu khawatir dan fokus membuat suasana menyenangkan untuk kandungan Anda saja, Ibu." "Lihatlah, sekarang bayi kita sudah memiliki mata," kata Regan yang tak melepaskan tangannya dari Elena. Evelyn ikut tersenyum, "Apa Anda ingin tahu jenis kelamin bayi Anda?" tanya Evelyn. Mereka saling bertatapan cukup lama sebelum Regan menjawab, "Kami sudah sepakat untuk menunggu makhluk kecil itu lahir saja, Dok. Apapun jenis kelaminnya - kami tidak peduli asalkan dia sehat," kata pria itu dengan yakin. Evelyn mengangguk dan mulai mematikan mesin USG-nya. "Baik jika itu yang Anda inginkan. Ibu Elena mungkin akan mulai merasakan tendangan bayi di bulan ke-empat ini. Anda juga akan lebih cepat lelah dan mungkin mengalami nyeri ulu hati. Itu kondisi yang wajar, tapi jika sudah berlebihan, Anda bisa memeriksanya ke dokter." "Terima kasih, Dokter Evelyn," ucap Elena sambil turun dari ranjang rumah sakit. Evelyn kembali ke mejanya dan menunggu Elena berganti pakaian. Perempuan itu menyiapkan foto USG dan mencetaknya. Sepuluh menit kemudian, Elena dan Regan sudah duduk kembali di depannya. Evelyn memberikan foto USG pada Elena. "Terima kasih, Dok," kata Elena. Mereka melihat foto-foto itu dengan bahagia. Evelyn pun ikut tersenyum melihat pasangan di depannya. Merasa konyol karena tiba-tiba merasa cemburu pada pasangan itu. Bagaimana dua orang bisa saling bertemu dan berbagi rasa yang sama seperti dua orang di depannya ini? Apa Evelyn bisa merasakan apa yang dirasakan Elena suatu hari nanti? Evelyn tak pernah menginginkan perasaan itu sebelumnya, tapi melihat betapa bahagianya wanita di depannya itu membuat Evelyn ingin tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang - dan dicintai orang yang ia cintai. Evelyn menggelengkan kepalanya - membuang pemikirannya yang mulai melantur. Tentu saja ia tidak akan mengerti apa yang dirasakan Elena. Karena Evelyn tidak akan mencintai siapapun dan dia tidak ingin dicintai siapapun. Siapapun - termasuk suaminya nanti - yang Evelyn tahu tidak akan tertarik padanya. "Sebelumnya saya tidak mengira Dokter masih semuda ini. Biasanya dokter baru mendapatkan gelar spesialis pada usia di atas 30 tahun. Tapi saya rasa Dokter Evelyn masih sangat muda," kata Elena tiba-tiba. Evelyn tertawa kecil, "Saya tidak semuda itu. Bulan depan saya akan 30 tahun, Bu," kata Evelyn. "Benarkah? Berarti Anda seumuran dengan saya. Apa Anda sudah menikah?" Evelyn hanya tersenyum kecil dan kembali melihat layar komputernya. "Kau membuat Dokter Evelyn tidak nyaman, Sayang." Regan melihat foto Evelyn dan Elizabeth di meja kerjanya. "Aku dengar Anda cucu pemilik rumah sakit ini. Kebetulan kakek saya berhubungan baik dengan Nyonya Elizabeth, saya pernah melihat Nyonya Elizabeth datang ke pesta ulang tahun kakek saya, " kata Regan. Evelyn melihat nama belakang suami Elena dan tak asing dengan nama itu. Neneknya pernah menceritakan keluarga Basupati. Neneknya bilang bahwa keluarga itu mengusai bisnis elektronik di Indonesia. Dan tiga tahun belakangan ini, Basupati ikut membeli saham di rumah sakit Medistra. Evelyn tak mengerti, tapi sepertinya para konglomerat itu saling terhubung. Semua teman neneknya tidak ada yang berasal dari keluarga biasa. "Basupati? Benar, nenek saya pernah bercerita tentang keluarga Anda. Saya ingat keluarga saya juga datang ke pesta pernikahan Anda, tapi saat itu saya tidak datang karena masih studi di luar negeri," jelas Evelyn. "Lain kali mungkin keluarga kita bisa makan malam bersama. Kebetulan kakek saya sedang di Jakarta. Nyonya Elizabeth dan kakek saya beberapa tahun ini berteman baik," kata Regan lagi. "Tentu saja. Terima kasih atas tawarannya, Pak Regan." Elena menyimpan foto USG-nya di tas dan berdiri, "Sepertinya kami sudah banyak menyita waktu Anda, Dokter Evelyn. Kalau begitu kami pergi dulu. Selamat siang, Dokter," pamit Elena. Evelyn ikut berdiri dan tersenyum pada pasangan itu, "Selamat siang juga," balas Evelyn. Mereka berdua tersenyum pada Evelyn dan berjalan ke arah pintu. Sebelum pintu terbuka, Evelyn tiba-tiba memanggil mereka dan sebuah kalimat begitu saja terucap dari bibirnya. Evelyn tak tahu kenapa dirinya mengatakan hal itu pada dua orang yang baru ditemuinya itu. Mungkin karena mereka terlihat sangat baik. Mungkin karena keluarga mereka saling mengenal. Atau mungkin juga karena Evelyn ingin melihat pasangan yang saling mencintai itu di hari pernikahannya, agar hari itu tak terlalu kosong - karena pernikahannya yang tanpa cinta itu. "Sabtu minggu depan saya akan menikah. Sebagai ucapan maaf karena saya tak bisa datang ke pernikahan kalian dulu, saya akan mengirim undangan ke rumah Basupati. Kalau berkenan, Anda berdua bisa datang ke pesta pernikahan saya," kata Evelyn. Kedua orang itu tersenyum lebar, "Tentu saja kami akan datang, Dokter," kata Elena. **** "Evelyn!" Evelyn berbalik dan melihat Leo berlari mendekatinya. Laki-laki itu menenteng tas besar di tangan kirinya dan segelas kopi di tangannya yang lain. Evelyn tersenyum melihat tingkah Leo yang berteriak memanggilnya di tengah lobi rumah sakit. Leo adalah satu-satunya teman laki-laki Evelyn. Bahkan Evelyn sudah mengenalnya sejak kuliah. "Aku memanggilmu berulang kali, Eve," kata Leo ketika sampai di depan Evelyn dengan terengah-engah. Evelyn melanjutkan langkahnya keluar dari rumah sakit, "Aku kira kau ada jaga malam hari ini," kata Evelyn yang sudah menghafal jadwal jaga temannya itu. "Kau tahu Renata?" Leo mendesah pelan ketika Evelyn menggelengkan kepalanya. "Dia temanku Evelyn. Aku sudah bercerita banyak tentang Renata padamu. Apa kau benar-benar mendengarkan ceritaku selama ini?" kata Leo sedikit kesal. "Memangnya kenapa Renata?" "Kami bertukar jaga malam karena besok dia ada makan malam dengan keluarga tunangannya." Leo menyesap kopinya ketika berada di parkiran. "Itu tidak penting. Ada yang lebih penting sekarang. Eve! Wah -" Leo berhenti dan memutar matanya dengan senyum tak percaya. "Kau akan menikah? Yang benar saja, Eve! Kenapa aku baru tahu? Aku hampir mati karena serangan jantung saat ada undangan pernikahanmu di mejaku tadi pagi! Bukankah kau harus memberi penjelasan padaku soal ini?" Evelyn mendesah pelan, menutup kembali pintu mobilnya dan menghadap Leo. "Nenekku sakit kanker - stadium empat -" "Apa?" teriak Leo dengan terkejut. "Umurnya tak lama lagi dan Nenek tak mau menerima perawatan di rumah sakit. Nenek ingin aku menikah. Aku menerima perjodohan dengan salah satu cucu sahabat nenekku. Itulah cerita lengkapnya. Maaf aku tak sempat memberitahumu." "Lalu siapa laki-laki yang kau nikahi itu? Apa kau mengenalnya? Aku tak tahu kau mengenal laki-laki bernama Kane. Aku mengenal semua orang kau kenal, Eve. Siapa laki-laki asing yang akan kau nikahi itu?" "Aku juga baru bertemu dengannya tiga hari yang lalu." "Kau bercanda? Kenapa kau mau menikah dengan laki-laki yang tak kau kenal?" "Aku tak punya pilihan lain, Leo. Aku tak memiliki pacar dan semua laki-laki yang aku kenal bekerja di rumah sakit ini. Aku tak mungkin mau menikah dengan rekan kerjaku sendiri." "Kau bisa menikah denganku. Aku pasti akan membantumu, Eve. Kau meragukan kesetianku pada persahabatan kita?" kata Leo dengan serius. Evelyn tersenyum kecil, "Grace pasti akan membunuhku jika aku menikah denganmu." Evelyn membuka pintu mobilnya lagi. "Sudahlah. Ini adalah keputusanku. Setidaknya aku ingin mengabulkan keinginan Nenek sebelum ia meninggal. Aku akan melakukan apapun untuk Nenek. Menikah bukanlah hal yang sulit, Leo." Leo masih menatap Evelyn tak percaya, "Aku masih tak percaya kau akan menikah lebih dulu daripada aku," kata laki-laki itu lebih kepada dirinya sendiri. "Jangan lupa datang. Kau adalah sahabatku satu-satunya," kata Evelyn lagi. Leo mengangguk dan tersenyum lebar pada Evelyn, seperti memberikan dukungan pada perempuan itu. Bahwa Leo akan selalu ada di pihak Evelyn. Senyum Leo memudar ketika melihat seseorang berjalan ke arah mereka. Evelyn mengikuti arah pandangan Leo dan melihat Noran berjalan ke mobilnya yang terparkir di samping mobil Evelyn. Evelyn menatap Noran cukup lama, selalu ingin tahu apa yang ada di pikiran Noran saat menatapnya dengan wajah datar seperti sekarang. Evelyn tersenyum kecil pada saudara sepupunya itu, tapi Noran tak membalas senyumannya. Laki-laki itu melirik Leo dengan tajam sebelum membuka pintu dan masuk ke mobilnya. Evelyn menghembuskan napasnya panjang. Ingin menangis ketika membayangkan Noran yang masih membencinya setelah sepuluh tahun berlalu. Apa kesalahan Evelyn sangat besar hingga laki-laki itu tak bisa memaafkannya? Apa karena Evelyn bukan sepupu kandungnya, laki-laki itu melupakan kedekatan mereka waktu kecil begitu saja? Bahkan itu bukanlah kesalahannya, Evelyn tak bisa memilih dilahirkan dari keluarga siapa, kenapa Noran membencinya karena hal itu? "Kupikir aku akan mati karena tatapan saudara sepupumu itu," kata Leo sambil memegang da-danya. Mobil Noran berjalan menjauh meninggalkan mereka berdua. Evelyn kembali menatap Leo dan tesenyum kecil. "Noran bukan saudaraku lagi. Dia membenciku." "Aku tahu. Aku merasakannya." Leo menepuk bahu Evelyn dengan ringan. "Tapi itu bukanlah kebencian, Eve. Seseorang tidak akan menatap seperti itu orang yang dibencinya. Seperti orang yang ingin kau pergi dari hadapannya, tapi akan menangis saat kau benar-benar membelakanginya." Evelyn menatap Leo bingung, "Apa yang kau maksud?" Leo menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tidak. Sepertinya aku terlalu banyak menonton melodrama," kata laki-laki itu lalu pergi meninggalkan Evelyn.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN