PARTE 6 - Makan Malam

2282 Kata
"Bawakan aku segelas wine lagi." Pelayan di depannya mengangguk. Setelah meletakkan makanan yang di pesan Kane, pelayan itu pergi. Kane dengan tak tertarik melihat makanan di depannya. Merasa asing karena sudah lama tidak memakan masakan negara itu. Kane mengambil sendok di depannya dan - tiba-tiba benda itu luruh dari tangannya. Jatuh di meja dengan bunyi yang cukup keras. Tapi tak bisa Kane dengar - karena dirinya hanya terpaku pada sosok yang jauh di depannya. Perempuan itu berjalan masuk ke restoran itu. Senyum lebarnya membuat napas Kane terenggut. Sudah lama Kane tidak melihat perempuan itu tersenyum. Lama sekali - hingga ia lupa betapa cantiknya senyum itu dan betapa inginnya Kane menyimpan senyum itu untuk dirinya sendiri. Hingga Kane tak sadar perempuan itu semakin mendekat dan Kane lupa bahwa harusnya ia pergi - bersembunyi - karena Kane belum siap bertemu perempuan itu - Elena-nya. Apalagi dengan pria yang berjalan di sampingnya, anak perempuan yang ada di gendongan pria itu, dan perut besar Elena yang menandakan perempuan itu sedang hamil. Seketika, diri Kane hancur berantakan. Kane membayangkan ribuan kali ketika ia melihat Elena lagi, tapi ini ribuan kali lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan. Kane tak menyangka mereka terlihat begitu bahagia. Kane tak menyangka Elena benar-benar mencintai pria itu. Dan kini sedang tersenyum pada pria itu, menertawakan sesuatu, seperti hanya mereka yang berada di restoran itu. Tangan Kane mengepal hingga kukunya memutih. Tubuhnya bergetar dan rasanya ia ingin mendekati mereka dan mendorong Regan sampai jatuh dari lantai 20 itu - tempat mereka berada sekarang. Pelayan membawakan sebotol wine dan segera pergi ketika melihat wajah Kane yang menakutkan. Laki-laki itu tak bisa mengalihkan pandangannya pada Elena dan Regan. Melihat bagaimana Elena menatap pria itu dan anak perempuan di sampingnya. Kane pernah melihat tatapan itu - sangat mengenalnya karena ia selalu menyimpannya selama dua belas tahun ini. Elena dulu menatapnya persis seperti itu. Dengan mata sedikit menyipit dan senyum kecil yang cukup membuat Kane tahu betapa perempuan itu mencintainya. Tapi kini tatapan itu bukan lagi untuknya. Ada pria lain yang menggantikannya. Dan Kane tak berani melangkah untuk mengambil kembali apa yang menjadi miliknya dulu. Karena Kane lebih takut kehilangan senyum Elena itu. Kane ingin terus melihat senyum itu, meskipun dari kejauhan dan tak terlihat seperti sekarang. Itu sudah cukup untuk Kane - untuk saat ini. Sudah cukup. Kane memandang kosong makanannya dan berdiri. Meninggalkan uang di meja dan segera keluar dari restoran itu. Laki-laki itu masuk ke lift dan menekan tombol lantai 31. Lift berhenti dan Kane keluar, berjalan menuju apartemennya barunya. Tempat yang ia inginkan sebagai tempat tinggalnya sebelum menikah. Sebelum masuk ke apartemennya, Kane melirik pintu di samping kamarnya. Tersenyum dengan sedih, melihat pintu itu tertutup dan seperti pemiliknya yang tak akan membukakan pintu untuk Kane.Pintu apartemen dimana Elena tinggal bersama keluarga barunya. Tidak ada tujuan lain Kane membeli apartemen di samping apartemen milik Regan. Kane hanya ingin berada di dekat perempuan yang ia cintai dan seperti biasa- Kane hanya ingin menyakiti dirinya sendiri. **** Kane turun dari mobilnya. Menatap rumah besar di depannya yang berdiri megah. Rumah keluarga William - keluarga pemilik puluhan rumah sakit yang tersebar di Indonesia. Kane masih tak terbiasa, memikirkan dirinya akan menjadi bagian dari keluarga itu. Kane berjalan ke pintu utama rumah itu. Di sana sudah berdiri perempuan dengan gaun emerald yang berkilauan di bawah sinar malam. Perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. "Selamat datang," ucap perempuan itu sambil tersenyum kecil pada Kane. Mata Kane terpaku sebentar, melihat perempuan di depannya dengan seksama. Penampilannya saat ini sangat berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu. Saat itu Evelyn menggunakan jas dokter dengan celana bahan panjang yang menutupi tubuhnya. Tapi malam ini, perempuan itu menggunakan gaun pendek dengan lengan terbukanya yang memperlihatkan kulit mulus perempuan itu. Rambutnya di sanggul dengan rapi ke belakang. Sedikit berwarna keemasan dan menyatu dengan kulit putihnya yang sedikit pucat. Kane tersenyum kecil dan mendekat satu langkah pada perempuan itu. "Terima kasih sudah mengundang saya," kata Kane. Evelyn tersenyum canggung, "Keluargaku sudah menunggumu," kata perempuan itu. Kane mengikuti Evelyn masuk ke rumah itu. Melihat sekeliling rumah besar itu yang sebagian besar terbuat dari kayu. Rumah itu sedikit bernuansa kuno, dengan lampu keemasan dan beberapa lukisan yang semuanya berwarna coklat. Setelah melewati ruang tamu utama, mereka masuk ke ruang terbuka yang dipenuhi kolam renang yang sangat luas. Cukup rindang karena ada banyak pepohonan di sekitarnya. Di sampingnya terdapat taman bunga kecil dan sebuah kandang mewah yang berisi seekor merak yang sangat cantik. Butuh beberapa menit untuk melewati tempat itu sebelum mereka masuk ke ruang utama rumah keluarga William. Tempat mereka mengadakan makan malam untuk menyambut Kane. "Selamat datang, Nak Kane." Seorang wanita tua dengan rambut yang sudah memutih mendekati Kane dan memeluknya dengan erat. Kane tahu wanita itu pasti Elizabeth, teman sekolah neneknya dulu yang merencanakan perjodohan ini. Kane membalas pelukan wanita tua itu. "Terima kasih sudah mengundang saya, Nyonya Elizabeth," ucap Kane dengan sopan. Elizabeth melepaskan pelukan Kane, "Jangan memanggilku seperti itu. Panggil saja aku Nenek. Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga," kata Elizabeth. Kane tersenyum dan Elizabeth menuntun Kane duduk di kursi makan. Kane melihat sekilas orang yang sudah duduk di kursi itu. Ian sudah menceritakan seluk beluk keluarga William, jadi Kane kurang lebih bisa mengenali mereka. Wanita paruh baya yang menatapnya sedikit tajam, yang memakai gaun merah menyala di tengah-tengah orang yang memakai warna gelap itu pasti Dorah William - anak pertama Elizabeth. Dari tatapannya pada Kane, wanita itu sepertinya tidak begitu menyambut kedatangannya. Sedangkan perempuan muda dengan rambut keriting di sebelahnya pastilah Grace Elizabeth - anak Dorah Elizabeth yang kabarnya tidak begitu akrab dengan Evelyn. Berbeda dengan ibunya, perempuan itu menatap Kane dengan senyum lebar. Kane bisa melihat sinar matanya yang tertarik dengan Kane. Membuat Kane tidak ingin menatap perempuan itu terlalu lama. Dua orang yang duduk di sebelah kiri Elizabeth adalah Robert William, anak laki-laki Elizabeth dan Illana, istrinya. Mereka tersenyum singkat pada Kane. Tampaknya tak begitu memedulikan kedatangan Kane di rumah itu. Lalu yang terakhir, laki-laki yang duduk di depan Grace, laki-laki yang sejak Kane memasuki ruangan itu terus memperhatikannya dengan tatapan tajam itu - pastilah Noran William, anak tunggal Robert dan Illana. Dari semua orang yang ada di ruangan itu, Kane paling tidak mengerti dengan tatapan Noran padanya. Seperti ada sinar kebencian yang kuat dan berapa lama pun Kane berpikir, tidak ada alasan kenapa saudara sepupu Evelyn itu membencinya. "Kau terlihat lebih tampan daripada di foto yang diperlihatkan Nenek," cetus Grace yang sejak tadi tak mengalihkan pandangannya dari Kane. "Terima kasih," balas Kane singkat. Setelah membantu neneknya duduk di kursi tengah, Evelyn duduk di depan Kane. Perempuan itu menatapnya sekilas dengan mata coklatnya. Kane hanya memasang wajah datar, memutus tatapannya pada Evelyn dan memilih membalas tatapan Noran yang sejak tadi mengganggunya. Mereka saling bertatapan dalam diam hingga pintu terbuka dan puluhan pelayan masuk membawa makanan ke meja mereka. "Aku mendengar dari Theresia kalau kau sangat menyukai makanan tradisional Indonesia. Ini masakan buatan koki terbaik keluarga kami, semoga cocok dengan seleramu, Nak Kane," kata Elizabeth. "Terima kasih," balas Kane. Kane melihat berbagai makanan di depannya. Mengambil rendang yang merupakan makanan kesukaannya. Melirik Evelyn yang menatapnya diam-diam. "Sekarang kau tinggal dimana, Nak Kane?" tanya Elizabeth lagi. "Saya membeli apartemen di dekat kantor, Nek." "Kenapa kau tidak tinggal di sini saja? Rumah ini tidak terlalu jauh dari kantormu." Elizabeth melirik Evelyn. "Memangnya Evelyn belum memberitahumu kalau kalian akan tinggal di sini setelah menikah? Nenek sudah merenovasi rumah samping untuk tempat tinggal kalian," kata Elizabeth. Kane melirik Evelyn, "Evelyn sudah memberitahuku dan aku tidak keberatan, Nek." "Syukurlah. Nenek kira kau akan memaksa tinggal di luar karena tidak nyaman dengan keluarga ini. Nenek ingin melihat kalian - setidaknya tinggallah beberapa bulan di sini lalu kalian bisa membeli rumah atau tinggal dimanapun yang kalian inginkan nanti." Dorah meletakkan sendoknya cukup keras, "Kenapa Mami tak membiarkan mereka membeli rumah sendiri saja? Kenapa Mami suka sekali menampung orang asing di rumah ini?" katanya wanita dengan sinis. "Dorah! Apa yang kau bicarakan? Kane bukanlah orang asing. Kane akan menjadi suami Evelyn nanti!" ujar Elizabeth. "Itulah yang membuatnya menjadi orang asing di sini, karena dia suami Evelyn. Karena Evelyn orang asing di rumah ini. Sudah saatnya Nenek membiarkan Evelyn pergi. Apa Nenek tak tahu kalau selama ini Evelyn tidak nyaman tinggal bersama kita?" Elizabeth melihat Evelyn yang hanya diam melihat makanannya, "Benarkah itu, Eve? Kau tidak nyaman tinggal di rumah ini?" Evelyn menggeleng pelan, "Tentu saja tidak. Aku senang tinggal di rumah ini. Bagaimana bisa aku meninggalkan Nenek yang sedang sakit?" Dorah menatap Evelyn dengan tajam, "Nenek akan baik-baik saja tanpamu! Jangan bersikap seolah kau sangat penting di rumah ini!" Kane melihat wajah Evelyn yang tidak berekspresi ketika Dorah membentaknya. Rupanya suasana di rumah itu tidak seperti yang Kane bayangkan. Kane tahu Evelyn bukan cucu kandung Elizabeth. Evelyn adalah anak suami Dorah yang sudah meninggal dengan perempuan lain. Tidak ada hubungan darah antara Evelyn dan semua orang di meja makan itu. Tapi Kane tak menyangka Dorah begitu membenci Evelyn. "Dorah! Jaga ucapanmu di depan Nak Kane! Ini makan malam untuk menyambut Nak Kane sebagai keluarga kita. Kenapa kau membuat malu Evelyn?" sergah Elizabeth. "Apa yang membuat malu, Mi? Aku mengatakan ini juga untuk kebaikan Kane. Dia harus tahu juga siapa Evelyn sebenarnya." Dorah mengalihkan pandangannya ke Kane. "Kau tahu bukan kalau Evelyn bukan anakku - atau cucu kandung ibuku? Aku tak tahu kenapa anak tunggal Lazuardhi menerima perjodohan ini, tapi kau harus tahu kalau Evelyn tidak diterima di keluarga ini. Jadi jangan berharap aku akan memperlakukanmu dengan baik, Kane Lazuardhi." Kane melihat Evelyn yang masih berwajah datar. Seperti apa yang dikatakan Dorah tidak berarti apa-apa untuknya. Apa perempuan itu mendapat perlakuan seperti ini setiap hari? Lalu kenapa Kane diam saja melihat calon istrinya diperlakukan seperti itu? Kenapa Kane merasa tidak ingin mencampuri masalah perempuan itu? "Itulah, kenapa kau menyetujui pernikahan ini? Kalau kau menolak, mungkin aku bisa membujuk Nenek untuk menjodohkanmu denganku, Kane. Aku seribu kali lebih baik daripada Evelyn," ucap Grace. Kane membuka mulutnya, "Aku -" "Aku izin ke belakang sebentar," potong Evelyn lalu meninggalkan meja makan itu. Kane melihat perempuan itu berjalan membelakanginya. Meninggalkan Kane dalam kecanggungan di meja makan itu. Punggung perempuan itu semakin mengecil dan hilang di balik pintu. Kane melihat makanan di piring Evelyn yang belum tersentuh sama sekali. Elizabeth berdiri dan menatap Dorah dengan kecewa, "Aku sudah bilang untuk menjaga omonganmu di depan Nak Kane. Tapi kau tak pernah mendengarkanku, Dorah. Lebih dari dua puluh tahun kau bersikap seperti ini, apa kau tak lelah? Apa kau tak memikirkan perasaan Evelyn sama sekali? Mami sedih melihat Evelyn hanya diam ketika kau bersikap seperti ini. Mungkin Evelyn tak membalasmu karena sudah terbiasa dengan kata-katamu, tapi Mami tak terbiasa. Inilah kenapa Mami harus tetap di rumah ini meskipun harus mati, karena Mami takut kau melukai Evelyn semakin dalam. Sampai kapan kau akan membenci Evelyn, Dorah?" Dorah menggebrak meja dan berdiri tepat di depan ibunya, "Sampai perempuan itu keluar dari rumah ini dan tak lagi memakai William sebagai nama belakangnya. Kenapa Mami menanyakan hal yang sudah jelas?" balas Dorah lalu pergi meninggalkan meja makan itu. Elizabeth menarik napasnya panjang dan menatap Kane, "Maafkan Nenek karena kau harus melihat suasana rumah kami yang seperti ini." Kane hanya diam dan Elizabeth kembali duduk tanpa melepaskan tatapannya pada Kane. "Bisakah kau menyusul Evelyn dan membawanya kembali ke sini. Tolong hibur dia, Nak Kane. Itulah alasan kenapa Nenek ingin Evelyn segera menikah. Agar ada yang menemaninya di saat seperti ini." Kane mengangguk dan pergi dari ruangan itu untuk mencari Evelyn. Kane bertanya keberadaan Evelyn pada salah satu pelayan yang lewat dan pelayan itu mengantar Kane sampai depan toilet di dekat kolam renang. Kane menunggu Evelyn di depan toilet. Ragu apakah ia harus masuk atau tidak. Tapi akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk menunggu sampai Evelyn keluar. Kane bersandar di dinding toilet dan menegakkan tubuhnya ketika melihat Noran berjalan mendekatinya. Laki-laki itu masih dengan wajah tajamnya menatap Kane seperti seorang musuh. Laki-laki itu berhenti tepat di depan Kane. Tingginya hampir setara dengan Kane. "Kenapa kau diam saja?" tanya laki-laki itu. Kane mengerutkan keningnya tak mengerti, "Apa maksudmu?" "Bukankah sebagai calon suami, kau harus membela istrimu dalam situasi seperti tadi?" Kane tidak ingin membuat masalah dengan keluarga William, tapi tatapan laki-laki di depannya ini sungguh mengusiknya. "Memangnya apa pedulimu? Kau juga sama saja. Kenapa kau diam dan tak membela sepupumu?" Wajah Noran semakin keras, "Evelyn bukan sepupuku." "Benar. Sekarang Evelyn juga bukan istriku. Lalu kenapa aku harus ikut campur urusannya di rumah ini?" Tatapan Noran semakin tajam, "Apa kau menganggap pernikahan ini hanya main-main?" "Tentu saja tidak. Kalau ingin bermain, aku tidak akan memilih bermain di rumah keluarga William. Tidak ada hal menarik di sini hingga aku ingin memainkannya," kata Kane. "Kau! Kau mungkin menganggap remeh pernikahan ini. Entah apa tujuanmu menerima pernikahan ini, tapi Evelyn tak pernah main-main dalam hidupnya. Evelyn selalu menganggap serius setiap hal. Jadi, jika kau -" Kane menepuk pundak Noran ringan, "Aku tahu kau mengenal Evelyn sangat baik. Tapi aku tak ingin mengetahuinya. Terus terang saja - apa yang ingin kau katakan hingga terus menatapku tajam seperti ini?" Noran menepis tangan Kane di bahunya. "Aku hanya ingin bilang - kalau kau menyakiti perempuan itu - apalagi hingga air matanya keluar meskipun hanya satu tetes - aku akan membunuhmu, Kane Lazuardhi." Kane tertawa kecil mendengar ucapan Noran, "Apa ini? Kau menyukai Evelyn? Kau menyukai sepupumu?" Noran memelototi Kane tanpa menjawab. Kane berhenti tertawa dan membalas tatapan Noran dengan serius. "Mencintai perempuan yang sudah menikah itu - sangatlah menyakitkan, Noran. Tapi tetap saja, mencintai seseorang bukanlah sebuah dosa." Kane meletakkan tangannya ke bahu Noran kembali dan mencekeramnya kuat. "Hanya saja, kau harus tahu tempatmu dan jika kau tak bisa menahannya, tak apa untuk merebutnya, karena sekali lagi - mencintai seseorang bukanlah sebuah dosa," kata laki-laki itu lalu meninggalkan Noran yang mengepalkan tangannya kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN