"Kenapa Evelyn begitu lama?"
Elizabeth menatap Kane dengan penuh arti. "Bisakah Nak Kane melihat Evelyn di kamarnya dan memintanya cepat datang ke sini?" pinta Elizabeth pada Kane.
Eilish, ibu Kane tersenyum cerah, "Ide bagus. Kau sebaiknya menjemput Evelyn, Kane. Lihat apakah calon istrimu baik-baik saja," kata Eilish.
Kane tersenyum kecil, menarik kursinya dan bersiap pergi. Besok adalah hari pernikahannya dan malam ini kedua keluarga itu mengadakan pertemuan. Kedua orang tua Kane sudah datang ke Indonesia tiga hari yang lalu untuk persiapan pernikahan Kane. Bahkan nenek Kane menyempatkan ikut makan malam hari ini. Pernikahan mereka besok akan diadakan di sebuah hotel mewah. Kane tak tahu kenapa keluarga William tidak menggelar pernikahan di rumah William saja. Halaman rumah William lebih dari cukup untuk tamu mereka yang terbatas hanya beberapa orang.
Kane mengikuti pelayan wanita di depannya dan berhenti di sebuah kamar di lantai dua rumah utama William. Kamar berpintu putih itu tertutup rapat. Pelayan mengetuknya beberapa kali.
"Nona Evelyn, Tuan Kane datang untuk menjemput Anda," kata pelayan itu.
"Pergilah, aku akan menemui Evelyn sendiri," kata Kane pada pelayan.
Pelayan itu pergi setelah memberi hormat padanya. Laki-laki itu membuka pintu kamar Evelyn yang tak terkunci. Melihat kamar besar bernuansa abu-abu itu dan menemukan pemiliknya berada di meja rias. Kamar itu terlihat rapi dan sederhana - tidak ada banyak barang - Kane hanya melihat sebuah sofa kecil di ujung kamar, sebuah pot bunga besar di sampingnya, dan karpet hitam mewah di tengah kamar.
Kane berjalan mendekati Evelyn dan menyadari perempuan itu sedang kesusahan memasang kalungnya. Kane berdiri di belakang Evelyn dan menyentuh tangan perempuan itu.
"Biar aku bantu," kata laki-laki itu dengan nada lembut.
Evelyn melihat Kane dari cermin di depannya. Dengan ragu melepaskan tangannya dari kalung itu dan membiarkan Kane memasangkannya. Tak butuh waktu lama, kalung itu sudah terpasang sempurna di leher Evelyn. Evelyn lalu mengambil anting-anting di meja rias dan memakainya. Terkejut saat tangan Kane tiba-tiba menyentuhnya lagi.
"Biar aku bantu lagi," kata Kane.
Evelyn menepis tangan Kane, "Tidak perlu. Aku bisa memasangnya sendiri."
Kane mengangguk santai dan memutuskan duduk di ranjang Evelyn. "Aku membantumu karena ingin makan malam ini cepat selesai. Keluarga kita sudah menunggu di luar," kata Kane lagi.
Setelah memasang anting-antingnya, Evelyn berdiri dan Kane terperangah melihat penampilan perempuan itu yang begitu Elegan. Dengan gaun berwarna daffodil yang cenderung gelap. Membuat warna kulit perempuan itu lebih menyala di tengah malam. Gaun itu lebih tertutup daripada gaun yang dipakai Evelyn saat makan malam dulu. Dengan lengan sabrina panjang yang memperlihatkan tulang selangkanya yang terukir indah.
Evelyn kali ini menggerai rambut coklat panjangnya. Rambutnya yang ikal dan menggantung indah menambah kecantikan wanita itu. Kane tersenyum kecil - hanya satu celah dalam penampilan Evelyn malam ini - yaitu senyum perempuan itu. Kalau Evelyn sedikit saja tersenyum, bukannya menunjukkan wajah datar seperti sekarang - perempuan itu akan terlihat sempurna.
"Aku tidak pernah bilang kau boleh masuk ke kamarku sembarangan," kata Evelyn dengan wajah serius.
Kane mengedikkan bahunya, "Memangnya kenapa? Apa yang kau sembunyikan di kamar ini?"
"Aku tak menyembunyikan apapun, aku hanya tak suka orang asing masuk ke kamarku." Evelyn mengambil sepatunya di atas ranjang. "Dan meskipun aku menyembunyikan sesuatu, itu sepertinya bukan urusanmu, Tuan Kane."
Kane berdiri dan mendekati Evelyn. "Satu, aku bukan orang asing - meskipun sepakat membuat batasan dalam pernikahan kita, tapi aku tetap suami sahmu. Dua, kau benar, apapun yang kau sembunyikan bukanlah urusanku. Dan tiga -" Kane mengambil sepatu hak tinggi berwarna hitam itu dari tangan Evelyn. "Aku merasa sikapmu lebih santai padaku, Evelyn. Kau tak lagi menggunakan panggilan 'saya'."
Mata Evelyn terbuka lebar ketika Kane berlutut di depannya. "Aku bisa memakai sepatuku sendiri, Kane."
Kane mendongak, "Kau tidak bisa menunduk dengan gaun seketat itu dan bukankah aku sudah bilang tadi? Aku membantumu karena ingin makan malam ini segera berakhir."
Evelyn terdiam. Melihat Kane dengan hati-hati memasangkan sepatu ke kakinya. Laki-laki itu menarik tangan Evelyn agar berpegangan pada bahunya, lalu menarik kaki Evelyn untuk masuk ke sepatunya. Mereka saling diam sampai kedua sepatu Evelyn terpasang. Kane berdiri dan memberikan lengannya pada Evelyn.
"Apa ini?" tanya Evelyn.
"Bukankah kau ingin keluargamu melihat bahwa kita baik-baik saja? Makan malam yang dulu membuatku sadar apa yang harus aku lakukan sebagai suamimu di rumah ini, Evelyn. Rupanya kau punya banyak masalah di rumah ini," kata Kane sambil membawa tangan Evelyn melingkar di lengannya.
"Aku tidak punya masalah dengan keluargaku sendiri," kata Evelyn tajam.
"Sepertinya hanya kau yang menganggap mereka keluargamu. Semua orang di rumah ini memusuhimu kecuali Elizabeth. Aku langsung menyadarinya saat masuk ke rumah ini. Apa aku salah?"
Mereka keluar dari kamar, berjalan berdampingan dan membuat para pelayan menatap mereka dengan senang.
"Apa kau menyesal menerima pernikahan ini? Mengetahui calon istrimu seperti ini? Kalaupun kau menyesalinya, aku tak bisa membantu apapun, Kane. Aku sudah memperingatimu di awal kalau aku bukan cucu kandung Elizabeth. Karena itulah semua orang di rumah ini membenciku. Dan mereka juga tidak akan menyambutmu dengan tangan terbuka, Kane."
"Aku tak peduli dengan semua itu," kata Kane pelan.
Evelyn melirik laki-laki di sampingnya itu, "Mungkin saat nenekku meninggal nanti, mereka akan mengusirku dan mengeluarkanku dari kartu keluarga. Apa itu juga tak apa? Bukankah kau menikahiku karena aku dari keluarga William?"
Evelyn mengeratkan genggamannya di tangan Kane saat melewati halaman rumput yang basah karena habis hujan. "Saat aku tak lagi menjadi William, saat itu kau bisa menceraikanku, Kane. Itu waktu yang tepat untuk mengakhiri pernikahan konyol ini."
Kane tersenyum kecil, "Apa kau yakin mereka bisa mengusirmu dari rumah ini?"
"Kenapa tak bisa? Dorah akan melakukan apapun agar aku pergi dari rumah ini. Selama ini dia menahannya karena ada Nenek yang melindungiku. Saat nenek tak ada, Dorah tidak akan menahan diri. Aku juga tidak mengharapkan apa-apa dari keluarga ini."
"Apa kau tahu kenapa nenekmu ingin kau menikah denganku, Evelyn?"
Evelyn mengangguk yakin, "Tentu saja. Nenek hanya ingin melihat aku menikah. Bukankah hal wajar ketika nenek ingin melihat cucunya menikah sebelum meninggal?"
"Kau sungguh bodoh, Evelyn. Nenekmu memintamu menikah sebelum ia meninggal agar ada yang menggantikannya untuk melindungimu. Karena nenekmu tidak bisa melindungimu lagi, makanya dia mencari orang lain. Dan nenekmu melihat aku sebagai orang yang tepat, karena aku dari keluarga yang berkuasa dan tidak akan dipandang remeh oleh keluarga William lainnya. Karena aku adalah anak tunggal keluarga Lazuardhi."
Mereka sudah mendekati meja makan yang ada di tengah taman rumah keluarga William itu. Meja yang disiapkan khusus untuk menyambut keluarga Lazuardhi. Menggelar makan malam terbuka di bawah sinar bulan yang membulat penuh. Dengan lemari kayu berisi banyak wine mahal yang di berdiri tak jauh dari meja makan. Puluhan pelayan berbaris di belakang Elizabeth, tuan rumah makan malam itu.
"Kenapa kalian lama sekali? Aku tak sabar bertemu calon istri cucuku ini."
Teresia, nenek Kane berdiri dan memeluk Evelyn ringan. Wanita yang sudah berumur itu memegang tangan tangan Evelyn erat. Matanya menyipit dengan hangat. Evelyn sedikit senang karena keluarga Kane menerimanya dengan baik. Evelyn sempat mengira mereka akan memandangnya rendah karena bukan cucu kandung Elizabeth.
"Kau tumbuh sangat baik, Evelyn - dan sangat cantik. Nenek pertama melihatmu saat kau umur tujuh tahun dan sekarang kau sudah menjadi perempuan dewasa yang besok akan menikah." Teresia melepaskan pegangannya dari tangan Evelyn dan kembali duduk. "Itu membuat Nenek sedikit sedih ketika menyadari betapa Nenek sudah tua."
Evelyn membalas senyum Teresia dan melihat orang tua Kane yang duduk di samping Teresia. Evelyn sedikit terkejut melihat ibu Kane yang sangat cantik. Dari yang Evelyn dengar, ibu Kane orang Indonesia asli, sedangkan ayahnya merupakan pengusaha besar asli Inggris.
Evelyn juga menyapa ayah Kane yang wajahnya terlihat tegas, tapi tetap hangat. Hati Evelyn menghangat karena pria itu mengingatkan Evelyn pada ayahnya yang sudah meninggal. Mereka sama-sama asli orang Inggris dan memiliki bola mata biru yang jernih. Yang baru Evelyn sadari, Kane juga memiliki bola mata biru itu, meskipun tidak terlalu menyala.
Eilish, wanita paruh baya itu berdiri dan memeluk Evelyn, "Aku sudah mendengar banyak hal tentangmu. Terima kasih karena sudah menerima Kane, Evelyn."
Evelyn mengangguk sopan dan Eilish melepas pelukannya. Mereka semua sudah duduk dan pelayan berbondong-bondong menyiapkan makanan.
"Terima kasih sudah mengundang kami, Elizabeth," kata Teresia.
"Tentu saja. Besok adalah pernikahan cucu kita. Setidaknya kedua keluarga harus bertemu seperti ini," balas Elizabeth.
Elizabeth menatap Elena, "Apa kau sudah mengajak Kane melihat rumah samping tempat kalian tinggal nanti?"
Evelyn menggeleng lalu melirik Kane, "Kau ingin melihatnya?" tanyanya pada Kane.
"Ajaklah Nak Kane ke rumah itu sebentar. Kalian besok akan tinggal di sana. Kalau Nak Kane butuh sesuatu, bilang saja Nenek pasti akan mendapatkannya untuk Nak Kane."
"Terima kasih, Nek."
Elizabeth tersenyum dengan wajahnya yang tirus, "Nenek ingin kamu nyaman di rumah ini, Nak Kane. Meskipun terlambat Nenek ingin bilang, selamat datang ke keluarga besar William. Nenek berharap kau dan Evelyn bisa menjadi keluarga yang bahagia. Kau mengerti kalau Nenek sangat menyayangi Evelyn, kan?" tanya Elizabeth pada Kane.
"Tentu saja. Saya akan menjaga Evelyn dengan baik."
Elizabeth tersenyum dan mengambil sendok makan. "Baik. Nenek percaya pada keluarga Lazuardhi. Besok adalah hari yang membahagiakan, juga melelahkan. Mari malam ini kita nikmati makan malam ini lebih dulu."
Semua orang mulai makan. Meskipun tidak semua terlihat bahagia, termasuk Dorah, Grace, dan Noran - mereka tetap makan dengan tenang, karena mereka semua menghargai Elizabeth dan tahu apa yang mereka lakukan hanyalah untuk membahagiakan Elizabeth di hari-hari terakhirnya.
Meskipun seseorang harus rela melepaskan kebebasannya. Meskipun seseorang harus menahan rasa tidak sukanya. Dan orang lain harus melawan perasaannya pada seseorang yang tidak tepat. Mereka menahannya, karena saat ini, kebahagiaan Elizabeth-lah yang paling utama.
Sekali lagi - untuk saat ini.