Zea duduk di kursi kerjanya, ia tersenyum bahagia karena pada akhirnya ia resmi menjadi seorang istri, ia tidak ingin memberitahu siapa pun tentang hubungannya dengan Tristan, karena itu hanya akan membuat semua orang penasaran dan anggap dia hanya berhalusinasi.
Zea bekerja seperti biasanya, lalu tak lama kemudian Elen datang dan melempar dokumen ke atas mejanya, Zea kesal dan hendak marah, namun ia berusaha tenang dan tidak membuat masalah.
“Ada apa?” tanya Zea.
“Antarkan dokumen itu ke kantor CEO,” titah Elen bersedekap didepan Zea, tatapan Elen benar-benar tatapan intimidasi, semua orang ia perlakukan seperti itu, jadi tidak ada yang heran, mereka terbiasa dengan sendirinya.
“Saya kasih saja ke sekretarisnya?”
“Tidak boleh titip ke sekretarisnya, karena ada yang harus kamu jelaskan, pelajari saja dulu, deadline nya jam 10 pagi!"
“Ha? Jam 10 pagi? Tapi ini sudah hampir jam 10.”
“Ya itu tugas kamu, terserah kamu mau mempelajarinya dengan cara apa, baca saja dulu, saya sudah tinggalkan catatan di setiap lembarnya.” Elen menjelaskan.
Zea kesal sekali, namun ia tidak bisa marah, seorang Elen yang selalu melakukan sesuai keinginannya, semena-mena terhadap bawahan dan tak perduli keluhan. Bahkan sering melakukan pemotongan gaji jika terlambat.
Semua itu membuat Zea muak, namun tidak ada yang bisa ia lakukan.
Zea lalu mempelajari semuanya, hanya butuh beberapa menit untuk menguasai semuanya. Zea pun segera pergi meninggalkan meja kerjanya dan menuju kantor CEO, yang tak lain tak bukan pemiliknya adalah Tristan, pria yang kemarin menikahinya.
Zea berdiri di depan sekretaris Tristan yang duduk didepan ruangannya, Zea menjelaskan apa tujuannya kemari dan ia dipersilahkan masuk.
Zea menautkan alisnya ketika melihat seorang wanita duduk di sofa, gadis itu seksi dan menawan, Zea lalu menghampiri Tristan yang saat ini kebingungan, karena kedua istrinya ada di sini.
Zea menoleh melihat gadis itu, seperti tak asing mukanya. Zea pernah melihatnya di suatu tempat.
“Tamara, lanjutkan pekerjaanmu!" titah Tristan.
“Aku tidak mau, kan kita sudah sepakat mau makan siang," rengek Tamara.
“Nanti saja, aku akan ke ruangan kamu,” lanjut Tristan. "Pergilah."
“Serius? Kamu akan ke ruanganku? Ya sudah. Aku tunggu kamu,” kata Tamara lalu melangkahkan kaki keluar dari kantor Tristan.
Sepeninggalan Tamara, Tristan menarik Zea dan mendudukkan Zea ke pangkuannya, Zea memekik ketika Tristan melakukan itu secara tiba-tiba.
Zea masih penasaran siapa wanita yang tadinya ada di sini dan mau makan siang dengan suaminya, dilihat dari penampilannya, gadis itu bukan orang sembarangan.
Bahkan Zea sedang berusaha mengingat siapa gadis itu
“Aku merindukanmu,” lirih Tristan menyandarkan kepalanya dipunggung Zea.
“Jangan melakukan ini, Tuan memang m***m, ya,” kata Zea.
“Why? Di sini hanya kita berdua,” tutur Tristan mendongak menatap gadis yang kini disampingnya.
“Tuan kan mau makan siang dengan gadis itu.”
“Kamu tidak pernah melihatnya? Dia adalah Tamara, salah satu direktur eksekutif di perusahaan ini,” kata Tristan.
“Benarkah? Kayak tidak asing. Aku seperti sudah lama mengenalnya."
“Iya. Dan, kami akan makan siang karena ada yang mau dibahas.” Tristan menjawab dan tidak ingin jika Zea tahu siapa Tamara.
“Dia sangat manja pada Tuan.” Zea melanjutkan.
“No. Cara bicaranya memang seperti itu.” Tristan memilih berbohong, karena tak mau membuat Zea curiga. “Atau, kamu mau makan siang denganku?”
“Tidak. Jangan sampai itu terjadi,” kata Zea.
“Why?”
“Aku tidak mau semua orang bergosip tentang kita.” Zea melanjutkan.
Tristan juga mengharapkan hal yang sama, karena Tamara juga istrinya, akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, jika Zea dan Tamara tahu bahwa mereka adalah istri sang bos.
Walaupun ia menikahi Zea secara rahasia, tapi pernikahan mereka tetap sah.
Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar, Zea langsung bangkit dari duduknya dan memperbaiki penampilannya. Sesaat kemudian, Roland muncul dari luar sana.
“Roland? Apa yang kamu lakukan?” tanya Tristan.
“Ada apa, Tuan? Apakah Anda sedang bermesraan dengan Zea?” Pertanyaan Roland sangat singkat.
“Sudahlah. Apa yang membuatmu kemari?” tanya Tristan dengan pertanyaan itu ia bisa menghindari pertanyaan Roland.
“Saya mau ambil dokumen yang sudah Tuan tanda tangani. Saya akan serahkan ke finance."
“Silahkan ambil saja, lalu keluar dari sini,” usir Tristan.
Roland mengangguk lalu meraih dokumen yang ada diatas meja kerja bosnya.
“Sekalian katakan ke semuanya kalau jangan ada yang menggangguku, dan jangan ada yang masuk kemari,” titah Tristan. "Beritahu Elis sekalian."
“Baiklah.” Roland mengangguk dan melangkah keluar dari kantor Tristan. Sebelum itu, ia melirik sinis pada Zea.
Tristan lalu menarik Zea lagi dan mendudukkan Zea diatas pahanya, Tristan mengalungkan kedua tangannya ke perut Zea dan tangan nakalnya malah naik ke dua gundukan yang memiliki bentuk yang indah itu.
Zea melenguh ketika Tristan terus memainkan dua gundukannya, lalu tak lama kemudian Tristan bangkit dari duduknya dan mendudukkan Zea diatas meja kerjanya, ia pun segera memagut bibir Zea dan membuat Zea membalas ciuman itu.
Tangan nakal Tristan terus meremas dua gundukan Zea bergantian, tak kenal tempat Tristan akan melakukan hal ini jika tertarik, dan satu-satunya yang membuatnya tertarik adalah Zea.
“Tuan,” lirih Zea.
“Heem?” Tristan menghentikan aktifitasnya dan menautkan alis menatap istrinya. “Ada apa?”
Zea menggeleng. “Jangan melakukan ini di sini. Aku mohon," lirih Zea.
“Kenapa? Kamu takut ada yang lihat?”
Zea mengangguk pelan.
“Ya sudah.” Tristan menurunkan Zea dari meja kerjanya dan menarik Zea lembut didekat rak buku, lalu membalikkan satu buku yang tersembunyi, dan tak lama, lemari buku itu bergeser, memperlihatkan ada ruangan tersembunyi di kantor Tristan.
Zea membulatkan mata ketika melihat ruangan tersebut, terlihat seperti kamar, ada ranjang king size dan dua lampu nakas, ada juga lampu utama, ada televisi layar lebar dan brangkas. Ada meja kerja juga dimana diatasnya banyak tumpukan dokumen, dan ada dapur mini. Terlihat bersih dan estetik. Zea menoleh dan melihat Tristan.
"Selamat datang di ruang tersembunyi ku." Tristan tersenyum dan merangkul pinggang istrinya. "Di sini lah aku biasanya. Aku akan di sini jika aku sedang banyak pekerjaan atau lembur. Yang tahu ruangan ini hanya kamu dan Roland."
Zea takjub melihatnya.