Bab 8. Meredam Amarah

1005 Kata
“Aku sudah dewasa untuk terus mendengarkan apa yang kalian katakan,” kata Tristan melawan perkataan kedua orangtuanya yang memarahinya karena Tristan tak pernah pulang. “Kenapa harus terus mengikuti apa yang kalian inginkan?” “TRISTAN!” bentak sang Ayah—Muller Addeson—namanya. “Apa selama ini yang kami minta kepadamu salah? Kami hanya memberikanmu kehidupan yang baru bersama Tamara.” “Kehidupan baru? Apa kehidupan baru itu pernah aku minta? Daddy sudah menyuruhku menikahi Tamara, menjodohkanku walau aku enggan dan tak mau, tapi aku tetap menikahinya, bukan? Karena aku menghargai keinginan Daddy. Tapi kalau Daddy meminta aku terus pulang ke Tamara, aku minta maaf, aku punya kehidupan sendiri.” Baru kali ini Tristan melawan perkataan ayahnya. Dan, tentu saja hal itu membuat Muller kaget karena baru kali ini ia mendengar hal yang tidak pernah dikatakan Tristan sebelumnya. “Kamu memang menikahi Tamara, tapi kamu tidak pernah memberikannya cinta.” Muller sudah mulai goyah hatinya. “Cinta? Sejak awal aku dan Tamara tak memiliki cinta, kenapa harus ku berikan? Aku hanya di perintahkan untuk menikahi Tamara, bukan mencintainya." Tristan menoleh sesaat melihat Tamara yang merasa bersalah karena mengadukan semua ini kepada Muller dan Sandrina. “Setidaknya kamu bisa menemaninya.” “Daddy, ini kehidupanku dan kehidupan Tamara, jadi Daddy dan istri Daddy ini tidak usah ikut campur, apalagi mendengarkan apa yang Tamara keluhkan dan kalian langsung menyuruhku datang. Aku juga punya kehidupan sendiri dan kesibukan sendiri.” "Dan, kamu mengira kami tidak punya pekerjaan? Jangan selalu sok sibuk. Bukan hanya kamu yang bekerja di sini," sambung Muller. "Ya karena kita sama-sama sibuk, mari kita bekerja dan jangan membuang waktu membahas ini." Tristan melanjutkan. Tamara memandang Tristan yang tidak menoleh melihatnya sama sekali, Tamara hanya ingin Tristan terus ada di rumah seperti suami pada umumnya yang pulang ke istrinya. Tapi, kemana Tristan sebenarnya? Kenapa Tristan enggan pulang? Apa yang Tristan lakukan diluar sana? Tristan menunduk sesaat dan berkata, “Aku pergi dulu. Aku punya banyak sekali pekerjaan.” “Mommy ingin menimang cucu.” Kali ini suara Sandrina Jhonson—sang Ibu sambung. “Kalau kamu punya anak otomatis anakmu akan menjadi ahli warismu.” “Permintaan konyol,” gumam Tristan. “Apa?” “Apa kamu tak mendengarkan perkataan ibumu?” Muller melanjutkan. “Apa? Ibu? Sudahlah. Aku lagi malas berdebat,” kata Tristan memilih melangkah pergi meninggalkan keluarganya. Ibu? Sejak dulu, Tristan tidak punya Ibu, baginya. Tristan berusaha hidup sendiri, tanpa ditemani sang Ayah, atau sang Ibu. Tristan sudah besar sekarang dan dia berhak atas hidupnya sendiri. Ia merasa tidak perlu bersikap semanis mungkin dan sebaik mungkin, dia sudah sangat dewasa untuk selalu melakukan permintaan sang ayah. Sandrina bukan Ibu kandungnya, Sandrina adalah seorang wanita yang datang menhancurkan kehidupan bahagia Ayah dan ibunya. Elleana Addeson, itu lah nama ibunya. Nama Ibu yang kini memilih hidup sendiri diluar sana. Memilih pergi daripada dimadu oleh Muller, ia meninggalkan kehidupan mewah dan kehidupan yang berkecupan dibandingkan harus bertahan karena cinta yang terbagi. Saat itu, usia Tristan masih 10 tahun, ia melihat ibunya pergi dan diseret keluar dari rumah oleh sang Ayah, dan melihat ayahnya b******u dengan Sandrina setelah ibunya pergi. Kehidupannya hancur, dan dia memaksa dirinya untuk bertahan sendirian tanpa siapa pun. Ia hanya bisa mengandalkan kekayaan sang Ayah, namun tidak bisa mengandalkan kehadiran ayahnya. Ia dipaksa dewasa oleh keadaan. Tristan memilih pergi dan meninggalkan mansion ayahnya, sebelum Sandrina hadir rumah ini sangat berwarna, namun setelah Sandrina hadir, rumah ini menjadi suram dan seperti tak berpenghuni, sepi dan senyap. “Apakah Tristan punya simpanan?” tanya Tamara pada Ayah dan ibu mertuanya. "Aku curiga pada hal itu." “Tidak mungkin. Tristan memang sering bermain dengan wanita malam, tapi tidak pernah menjalin kasih dengan siapapun, Aunty yakin sekali,” kata Sandrina bersikap seolah mengenal Tristan dengan baik. “Benar. Jadi, kamu tak perlu memikirkan apa pun, yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana caranya mengambil hati Tristan tanpa harus mengadu kepada kami.” Muller melanjutkan. "Karena jika kamu mengadu kepada kami, lihat saja apa yang terjadi. Tristan tidak akan pernah mendengarkan kami." “Sayang, memangnya kenapa kalau Tamara mengadu pada kita?” tanya Sandrina. “Sayang, tadi dengar sendiri kan apa yang Tristan katakan? Kita tidak bisa lagi mengaturnya,” jawab Muller. "Aku menghargai keinginan putraku. Jika itu yang dia inginkan, aku akan membebaskannya." Sandrina akhirnya paham dengan apa yang di inginkan Tristan. *** Tristan tiba di hotel tempat dimana ia dan Zea tinggal, Tristan membuang jasnya dengan nafas yang memburu, berusaha menahan amarah didalam dadanya, setiap kali mengingat ibunya pergi dan mengingat ayahnya bercinta dengan Sandrina, Tristan merasakan sesak didalam dadanya. Tristan berusaha mengimbangi napasnya, tak lama kemudian Zea keluar dari kamar mandi, ia hanya mengenakan jubah mandi dan handuk kecil yang menggulung rambut basahnya. Zea menghampiri Tristan dan memeluk Tristan dari belakang. “Ada apa, Tuan?” tanya Zea yang tidak lagi malu-malu. Tristan mengimbangi amarahnya dan menyentuh tangan Zea yang ada diperutnya. Pelukan Zea saat ini berhasil membuat hati Tristan membaik dan amarahnya redam. Tristan kehilangan kendali setiap kali berkaitan dengan masa lalunya. Tristan membalikkan badan dan menggetok lembut kepala Zea membuat Zea tertawa kecil. “Aku melihat jelas ada kesedihan di wajah Tuan,” kata Zea. “Kamu baru selesai mandi?” tanya Tristan. “Heem. Kan Tuan lihat sendiri,” kata Zea. Tinggi badan Tristan melampaui kepalanya. Sementara tinggi badan Zea hanya sampai di bahu Tristan. Jadi mereka cukup ideal. “Aku akan membuatmu mandi kembali,” kata Tristan menggendong Zea ala bridal style dan membaringkan Zea ke atas ranjang. Tristan menindih Zea dan memainkan dua gundukan Zea dengan kedua tangannya. Zea tertawa kecil dan memekik ketika Tristan memilin lingkaran coklat didua gundukan Zea. Zea bergerak gelisah, keinginannya sangat kuat, ia ingin cepat dimasuki Tristan, namun Tristan malah mencumbunya, membuatnya terus bergerak gelisah. Zea mendesah nafas halus dan menggelengkan kepala, ketika Tristan memainkan lembah miliknya dengan cukup intens. Gerakan jari Tristan membuat Zea seolah-olah melayang. Zea terus merasakan kasih sayang Tristan, kasih sayang yang menggelitik hingga bagian terdalam. Zea terus merasakan kenikmatan itu. Kenikmatan yang tiada duanya karena dicumbu dengan belaian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN