Mereka tiba di rumah sakit, Bik Siah langsung mendapat penanganan intensif. Arya yang membantu mengurus segala sesuatunya. Aisah sadar sepenuhnya, andai tidak ada Arya, entah apa yang bisa dilakukannya sendirian. Karena ayahnya tidak mungkin bisa membantunya.
"Aku pergi dulu, kalian tunggu saja di sini" ucap Arya pada Aisah dan Pak Ipin. Aisah ingin mencegah kepergian Arya, ia merasa sangat bingung saat ini. Tapi ia tak mampu berkata-kata, hanya tatapannya yang mengikuti langkah Arya yang meninggalkan mereka. Apalagi Aisah baru menyadari, di dalam tasnya hanya ada uang sedikit saja. Meski pengobatan ibunya gratis, tapi mereka perlu uang untuk mengisi perut mereka. Aisah berusaha tetap tenang, ia tidak ingin ayahnya tahu kegelisahan yang tengah dirasakannya. Kepalanya menunduk dalam, ia berdoa semoga ibunya bisa disembuhkan, dan semua cobaan ini bisa segera berlalu dari hidupnya.
Aisah menatap wajah ayahnya, mata ayahnya terpejam, punggungnya bersandar di sandaran kursi. Tampak raut penuh kecemasan membayang di wajah ayahnya. Aisah meraih jemari Pak Ipin, digenggamnya dengan lembut, Pak Ipin membuka matanya, ditatap wajah putrinya yang menjadi tulang punggung keluarga mereka.
"Mama' pasti sembuh, Abah jangan khawatir" ucap Aisah memberikan semangat pada ayahnya. Pak Ipin berusaha untuk tersenyum, dianggukan kepalanya.
"Maafkan Abah, karena tidak bisa memenuhi tanggung jawab Abah sebagai kepala keluarga" ucap Pak Ipin lirih. Mata Pak Ipin berkaca-kaca, rasa pilu tengah menyergap perasaannya, karena tidak mampu lagi berperan untuk mencari napkah bagi keluarganya. Rasa bersalah membelit perasaannya, karena Aisah tidak lagi bisa meneruskan pendidikannya.
"Abah jangan bicara begitu, apa yang sudah Abah lakukan untuk kami sudah cukup. Sekarang biarkan Aisah yang menunjukan bakti Aisah pada abah dan mama" sahut Aisah.
"Bagaimana dengan biaya hidup kita selama di sini Ais? Kita tidak mungkin minta bantuan pada keluarga kita, hidup mereka juga sudah sulit. Abah berpikir untuk menggadaikan saja rumah kita pada paman Hambali" ucap Pak Ipin.
"Jangan Abah, paman Hambali itu lintah darat, jangan sampai kita menikmati uang hasil riba. Ulun rasa menjual sepeda motor kita adalah jalan yang terbaik"
"Kalau sepeda motor dijual, bagaimana nanti kamu bisa ke pasar untuk berjualan?"
"Ulun bisa naik sepeda nanti, Abah"
Kepala Pak Ipin tertunduk dalam, dadanya terasa sesak, karena merasa tak mampu melakukan apa-apa untuk keluarganya.
"Abah tidak usah terlalu memikirkan, biar Ulun yang mengurus semuanya. Jangan sampai Abah sakit juga, Abah harus terus sehat untuk menjaga mama, untuk jadi imam bagi kami semua" ujar Aisah dengan suara tercekat di tenggorokan karena menahan tangisnya. Pak Ipin tidak lagi mampu untuk berkata-kata.
Mereka berdua terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Assalamuallaikum" salam yang diucapkan Arya membuat wajah ayah dan putrinya yang tengah dirundung kesedihan terangkat. Wajah Arya yang teduh dengan senyum mengulas di bibirnya menyambut tatapan mereka.
"Aa" gumam Aisah yang merasa tidak percaya kalau Arya kembali lagi menemui mereka.
"Sebaiknya kalian makan dulu" Arya menunjukan tas plastik ditangannya. Lalu ia duduk di sebelah Pak Ipin. Dikeluarkan isi tas plastik yang dibawanya. Diserahkannya satu kotak ke tangan Pak Ipin, satu kotak kepada Aisah, ia juga mengeluarkan dua botol air mineral, yang kemudian diletakannya di atas kursi di sebelah Aisah.
"Kalian makanlah, aku pergi dulu" ucap Arya sebelum ia melangkah pergi meninggalkan Aisah dan Pak Ipin yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Dia baik sekali, tidak seperti orang tuanya" gumam Pak Ipin.
"Iya, Abah harus makan" Aisah membuka tutup kotak nasi yang ada di atas pangkuan Pak Ipin. Lalu dibukanya tutup salah satu botol air mineral.
"Minum dulu, Bah" ucapnya sembari menyodorkan bibir botol ke bibir ayahnya. Rasa syukur terucap di dalam hati Aisah, karena ternyata Arya tidak meninggalkan mereka seperti pikirannya.
****
Arya kembali saat Aisah dan Pak Ipin sudah selesai makan.
"Kondisi Acil Siah mulai stabil, operasi akan dilakukan kalau keadaan Acil Siah sudah benar-benar siap untuk menjalani operasi. Sebaiknya Paman istirahat dulu, aku sudah menyewa kamar di hotel yang ada di sebelah rumah sakit ini, biar aku yang menunggu di sini" ujar Arya.
Aisah dan Pak Ipin saling pandang, mereka tidak menyangka kalau Arya sangat memikirkan keadaan mereka.
"Tapi Abah tidak mungkin sendirian di sana" gumam Aisah.
"Ada Paman Muin yang akan menemani, itu Paman Muin" Arya menunjuk seorang pria yang berjalan ke arah mereka. Muin adalah salah satu supir di rumahnya, dan cukup dekat dengan Pak Ipin sekeluarga.
Pak Muin memeluk Pak Ipin begitu mereka berdiri berhadapan.
Terdengar mereka berdua mengobrol sejenak.
"Aisah, sebaiknya kamu ikut juga ke hotel, kamu bisa mandi dan beristirahat sejenak. Aku sudah membelikan pakaian ganti untukmu dan ayahmu. Biar aku yang menunggu di sini" ucap Arya. Aisah menatap Arya dengan sorot mata tidak percaya. Ia sendiri bahkan tidak terpikir sama sekali hal seperti itu, tapi Arya justru memikirkannya sampai hal sekecil itu.
"Aku tidak tahu harus dengan cara apa berterimakasih pada Aa" ucap Aisah lirih dengan mata berkaca-kaca.
"Ikutlah dengan ayahmu dan Pak Muin ke hotel, setelah mandi dan beristirahat minta Pak Muin mengantarmu kembali ke sini. Biar ayahmu tetap beristirahat di hotel" ucap Arya.
"Terimakasih banyak Nak Arya, entah bagaimana cara kami harus berterimakasih pada Nak Arya"
"Tidak usah dipikirkan Paman, sekarang kalian pergilah"
Aisah, Pak Ipin, dan Pak Muin pergi meninggalkan Arya sendirian. Arya menatap punggung mereka, ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia melakukan semua ini. Ia hanya mengikuti kata hatinya, tanpa tahu alasan ataupun tujuannya.
Suara ponselnya membuat lamunan Arya buyar, diambil ponsel dari tas kecil yang diambil dari dalam mobilnya saat ia pergi tadi. Ia memerlukan tas itu, untuk menyimpan uang yang baru diambilnya dari atm.
"Bunda" gumamnya, saat membaca nama yang terpampang di layar ponselnya. Arya menarik napas dalam, menyiapkan hati dan jawaban yang pasti akan ia terima dari Bu Radea, bundanya.
BERSAMBUNG