PART. 8 PILIHAN ARYA

1250 Kata
"Hallo" "Arya, kamu di mana, kenapa Pak Muin kamu minta untuk menyusulmu, apa yang terjadi?" "Aku baik-baik saja, Bunda. Tapi aku tidak bisa pulang untuk beberapa hari, ada hal yang harus aku kerjakan, dan aku perlu Pak Muin untuk menemaniku" "Ada apa sebenarnya, Arya? Jangan membuat malu Bunda ya? Apa temanmu dari luar negeri datang? Apa kamu ingin menghabiskan waktu dan menghamburkan uangmu dengan dia? Hari ini kamu melakukan penarikan uang cukup banyak Arya, apa untuk hal itu?" Cecar Bu Radea pada putranya. Arya menghela napas dalam, dipejamkan matanya sesaat. Ia tidak bisa menyalahkan Bundanya, kalau menyangka ia melakukan apa yang sudah bundanya tuduhkan. "Ini tidak ada hubungannya dengan teman-temanku itu Bunda, aku tidak bisa menjelaskannya sekarang pada Bunda. Aku akan segera pulang setelah urusanku selesai, Bunda tidak perlu khawatir." Arya langsung memutuskan sambungan telpon mereka. Ia yakin Bundanya pasti akan mencari tahu lewat Pak Muin, tapi Arya sudah memberitahu Pak Muin sebelumnya, jawaban apa yang harus diberikan pada bundanya. Baru saja Arya ingin memasukan ponselnya ke dalam tas, ketika ponselnya kembali bersuara. Ditatap nama yang tertera di layar ponselnya, ada getaran di dalam hatinya saat membaca nama yang ada di sana. Arya menggenggam erat ponselnya, hatinya berkecamuk antara ingin menerima panggilan atau mengabaikannya saja. Tak bisa ia pungkiri ada rasa rindu di dalam hatinya pada orang yang tengah menunggu ia menerima panggilan di telponnya. Tapi ada janji yang coba ia ingin tepati, untuk bisa memulai kembali semuanya dari awal. Agar ia bisa kembali kepada kodratnya sebagai pria yang hanya boleh jatuh cinta pada lawan jenisnya. Janji yang pernah ia ucapkan pada Adrian, abangnya. Panggilan di ponselnya berhenti, berganti dengan notifikasi pesan masuk. Arya mematikan suara notifokasi di ponselnya. Tanpa membaca pesan yang masuk, ia masukan ponsel itu ke dalam tasnya. Terasa sangat berat baginya untuk melakukan semua itu, karena rasa cinta dan rindu yang masih bersemayam di dalam hatinya. Namun Arya sangat menyadari, kalau yang ia rasakan pada teman prianya, atau lebih tepatnya teman gaynya adalah sebuah kesalahan, perbuatan dosa di dalam agamanya, perbuatan hina bagi masyarakat di sekitarnya. Arya sadar, jika ia tidak bisa berubah makan hukuman di dunia dari masyarakat dan di akhirat dari Allah, pasti akan merajamnya. Kepala Arya menunduk dalam, matanya ia pejamkan, berusaha meyakini kalau ia mampu kembali kepada kodratnya sebagai pria sejati. "Assalamuallaikum" salam yang diucapkan dengan suara lembut menggugah lamunan Arya. "Walaikum salam" Arya mengangkat kepalanya, matanya mengerjap, saat melihat sosok Aisah yang berdiri di hadapannya. Celana kulot hitam, kaos lengan panjang berwarna biru muda, dipadu dengan hijab warna hitam membungkus tubuh Aisah dari kaki sampai puncak kepala. Arya menatap wajah polos Aisah yang tanpa polesan apapun. Wajah itu terlihat merah merona, Aisah tersenyum lalu menundukan kepalanya. Ia merasa malu karena menyadari apa yang melekat di tubuhnya, semua adalah pemberian Arya. Bahkan sampai ke celana dalam dan branya. Aisah tidak tahu, bagaimana bisa Arya membelikan ukuran yang begitu pas untuk tubuhnya. "Duduklah" Arya meminta Aisah untuk duduk di dekatnya. "Aku ingin melihat keadaan mama" ucap Aisah. "Aku temani" Arya bangkit dari duduknya, lalu melangkah di depan Aisah. Aisah mengikuti langkah Arya, mereka tiba di depan ruang ICU. Aisah diijinkan untuk masuk, sementara Arya hanya boleh menunggu di luar saja. Aisah duduk di sisi pembaringan ibunya, tanpa bisa ditahan, air mata jatuh membasahi pipinya. "Ulun yakin Mama pasti kuat, Mama pasti bisa kembali sehat." Bisik Aisah dengan suara lirih. Sesungguhnya begitu banyak yang ingin ia ungkapkan, tapi Aisah memilih untuk memanjatkan doa dan membaca surat yasin yang sudah ia hapal sejak lama. Suara bacaannya terdengar samar dan berbaur dengan isakan yang sulit untuk ia tahan. Meski ia memiliki keyakinan kalau ibunya bisa disembuhkan, namun tak urung ada rasa cemas yang tidak bisa ia tepis begitu saja. Waktu Aisah berada di sana sudah habis, juru rawat memintanya untuk ke luar. Aisah menatap lekat wajah ibunya, dan membisikan keyakinan hatinya kalau ibunya pasti bisa sembuh seperti sedia kala. Arya menantinya di depan ruangan ICU, tatapan mata mereka bertemu. Aisah menghapus air matanya, Arya mendekatinya, namun Arya cukup tahu diri, untuk tidak menarik Aisah ke dalam dekapannya, meski dorongan untuk melakukan hal itu sangat kuat dari dalam hatinya. 'Mendekap Aisah? Setelah sekian lama, baru kali ini aku kembali merasakan keinginan untuk mendekap seorang wanita. Apakah ini hanya karena aku merasa kasihan kepadanya? Ataukah memang jiwaku sudah mulai kembali ke arah yang sebenarnya? Apapun alasannya, yang pasti aku tidak merasa jijik berada di dekat Aisah. Tapi entahlah dengan wanita yang lainnya. Semoga saja apa yang aku rasakan ini adalah pertanda baik, sebagai awal bagiku untuk kembali ke jalanMu, aamiin' Arya dan Aisah duduk kembali di kursi yang ada di koridor rumah sakit. "Aa tidak ingin pulang? Aku rasa Aa perlu istirahat juga. Aku sangat berterimakasih atas semua bantuan Aa, kalau tidak ada Aa, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berhutang banyak pada Aa, hutang materi, juga hutang budi yang sampai mati pasti tidak akan mampu aku untuk membayarnya" ucap Aisah sambil menatap wajah Arya dari samping. Arya menolehkan kepalanya, tatapan mereka bertemu. "Aku bukan tukang beri hutang, Aisah. Apa yang aku lakukan hanya mengikuti kata hatiku. Jangan dihitung dan diperhitungkan, biar Allah saja yang menghitungnya" jawab Arya. Aisah menundukan kepala, dijalin jemari di kedua tangan di atas pangkuannya. "Aku sudah berpikir" ucapnya lirih tanpa mengangkat kepalanya. "Berpikir apa?" Tanya Arya. "Soal tawaran Aa" "Tawaranku?" Arya menatap Aisah dengan tanda tanya besar dalam sorot matanya. Aisah mengangkat wajahnya, ditatapnya juga Arya. "Lamaran Aa" jawab Aisah, mulut Arya terbuka mendengar jawaban Aisah. "Aku tahu, Aa melamarku bukan karena Aa jatuh cinta padaku, tapi karena Aa butuh bantuanku. Meski aku tidak tahu apa tujuan dan alasan dibalik itu." Aisah menarik napas dalam. Lalu melanjutkan ucapannya. "Aa sudah begitu banyak membantu kami, jadi aku pikir apa salahnya kalau aku juga membantu Aa. Aku bersedia menikah dengan Aa, jika Aa masih menginginkannya" ucap Aisah nyaris tidak terdengar. Kepalanya kembali menunduk dalam, untuk menyembunyikan wajahnya yang merah merona. Sesungguhnya ia malu mengatakannya, tapi tekadnya sudah bulat untuk membalas semua kebaikan Arya pada keluarganya. Aisah tahu, resiko apa yang nanti harus ditetimanya, ia sangat yakin orang tua Arya pasti tidak akan setuju, mereka pasti akan menentang pernikahan ini. Dan, Aisah berpikir, kalau alasan Arya ingin menikahinya, memanglah dengan tujuan untuk menentang kehendak orang tuanya. Karena Aisah sendiri sudah mendengar kabar yang beredar, kalau Arya dijodohkan orang tuanya dengan Devira, saudara kembar dari Devita. Mendengar ucapan Aisah, mata Arya lekat menatap Aisah. Ia bahkan lupa dengan lamarannya, karena terlalu fokus pada kondisi Bik Siah dan keadaan Pak Ipin serta Aisah. "Terimakasih Aisah, aku ingin kita menikah secepatnya, kamu tidak keberatan kalau untuk sementara kita menikah siri dulukan, setelah ibumu sembuh, baru kita urus surat resminya. Aku tidak ingin keberadaanku di sini, menemanimu, jadi fitnah nantinya. Setidaknya, semua keluargamu sudah tahu, kalau keberadaanku di sini adalah sebagai suamimu" ucap Arya dengan sangat lancar. "Bagaimana dengan orang tua Aa?" "Untuk sementara mereka tidak perlu tahu. Tapi nanti aku pasti akan membawamu ke hadapan mereka sebagai istriku. Sekarang aku akan menemui ayahmu, aku akan melamarmu langsung pada beliau. Aku harap beliau mau menikahkan kita segera. Kamu setuju?" "Aku terserah Aa saja, aku sudah setuju menikah dengan Aa, aku sudah siap dengan segala resikonya, aku sudah pasrahkan hidupku selanjutnya pada Aa. Aku percaya, Aa orang baik, Aa pasti tahu apa yang terbaik" sahut Aisah. "Terimakasih Aisah" "Aisah!" Aisah menatap orang yang memanggilnya. Ternyata Pamannya yang datang bersama acilnya, adiknya, dan sepupunya. "Acil!" Aisah memeluk Acilnya, begitupun Acilnya memeluk Aisah dengan erat. Paman Kifli, adik Pak Ipin menyalami Arya. Pak Kifli mengenali Arya sebagai putra tunggal keluarga Lazuardi. Tapi dia tidak tahu, kenapa Arya bisa ada di rumah sakit bersama Aisah. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN