Jeslyn masih berada di rengkuhan Alston yang sejak tadi tertidur di sampingnya dengan lelapnya.
Jeslyn tiba-tiba mengeluarkan bulir-bulir kristal dari pelupuk matanya, entah apa yang mengganggu pikirannya sampai harus menangis. Keluarganya tetap aman dan kedua adiknya tetap sekolah dengan campur tangan serta kekuasaan Alston, apa yang harus ia khawatirkan jika keluarganya aman dan terjamin.
Bukankah hanya itu yang penting baginya, kenapa sekarang harus menangis?
Alston menyeka air mata Jeslyn.
Jeslyn terkejut ketika Alston menyadari tangisannya, perasaan Jeslyn menyeruak hangat. Belaian ini apakah akan berakhir?
"Kenapa kau menangis, Sayang? Kamu kelihatan sangat jelek jika sedang menangis," Alston menyeka air mata Jeslyn menggunakan tangan kanannya.
"Im Fine."
"Lantas kenapa menangis jika kamu baik-baik saja? Aku tak suka melihat wanita menangis."
"Aku sedang membayangkan bagaimana jika aku hamil? Kita sering melakukannya, bukan? Apakah akan baik-baik saja?"
"What? Kamu memikirkan hal itu? Kenapa begitu tiba-tiba? I'm here, Honey. Aku mencintaimu. You're my hearts. I'll never leave you."
"Kamu akan menikahiku ketika aku hamil nanti? Apa kamu akan bertanggung jawab?"
"Kita jalani dulu apa yang sudah kita mulai, jika waktunya kamu hamil. Aku akan menikahimu. Tentu saja itu akan terjadi," kata Alston semakin mendekap Jeslyn erat.
"Tapi aku bukan wanita yang luar biasa, Alston, aku hanya seperti sedang memanfaatkan perasaanmu. Aku bukan siapa-siapa, tak terlahir kaya dan sempurna," kata Jeslyn dan untuk pertama kalinya, ia menyebutkan nama Alston, hal itu membuat Alston tersenyum kecil.
"Aku tidak membutuhkan wanita yang luar biasa untuk membuatku nyaman, Jeslyn. Kenyamanan itu susah di gantikan dengan apa pun terlepas dari kau bukan siapa-siapa. So please, jangan menganggapku pria b******k. Aku mencintaimu, perasaanku lebih penting dari apa pun," ujar Alston mencoba membuat Jeslyn mengerti, seraya menyeka air mata wanitanya.
"Apa kau yakin dengan perasaanmu? Bagaimana jika aku hanya memanfaatkanmu demi keluargaku?"
"I'm sure, Honey. Aku percaya dan aku sangat yakin, kamu tak akan mungkin melakukan itu, walaupun baru mengenalmu, tapi aku seperti lebih mengenalmu di bandingkan kamu sendiri," ujar Alston.
Jeslyn mengangguk, ia benar-benar beruntung mendapatkan pria yang benar-benar tulus mencintainya.
"Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku dan besok kita akan kembali ke Amerika. Apa kau suka perjalanan kita? Lain kali aku akan membawamu keliling dunia."
Jeslyn lagi-lagi mengangguk.
"Ada apa? Hapus air matamu, aku tak suka melihat wanita menangis apalagi wanita itu adalah dirimu," kata Alston seraya menyeka air matanya.
"Hem. Kau membuatku terbang dan melayang, Alston, semoga semua ini bertahan."
"Karena apa?"
"Karena kata-katamu."
"I'm serious, Honey," ujar Alston mengecup puncak kepala Jeslyn lembut.
"Jangan menangis. Aku di sini, aku mencintaimu, aku tak akan pernah meninggalkanmu," ujar Alston.
***
Sudah hampir sore, Jeslyn dan Alston masih dalam perjalanan kembali ke Amerika tepatnya di mansion milik pribadi Alston.
Seperti biasa Jeslyn hanya dapat menekuri jalan dan Alston menekuri layar tabletnya yang tak pernah jauh dari pandangannya, itulah pekerjaannya, karena di tablet itu terdaftar jelas semua rahasia perusahaannya, dari pekerjaan, keuangan dan semuanya.
Ponselnya berdering, Jeslyn terkejut ketika melihat nama Killen di layar ponselnya, Jeslyn sedikit gugup.
"Who?" tanya Alston.
"Killen."
"Angkat saja. Aktifkan loudspeakernya."
Jeslyn lalu mengangkat ponselnya dan mengaktifkan loudspeaker nya.
"Helo? Why, Killen?" tanya Jeslyn.
"Kenapa kamu sangat susah di hubungi. Your okey?"
"I'm okey. Ada apa?"
"Aku hanya khawatir, Jeslyn. Sudah sebulan kamu tak ada kabarnya, aku mengira kamu ada apa-apa dan itu benar-benar mengkhawatirkanku."
"Aku akan menceritakannya nanti. Bagaimana dengan ayahku? Apa beliau baik-baik saja?"
"Keluargamu baik-baik saja di tangani langsung oleh orang-orang kepercayaan Alston. Kamu kan tau, dia bisa melakukan apa pun jika ia menginginkannya, apa saat ini kamu bersamanya?" tanya Killen.
"Iya. Nanti akan ku telpon lagi," kata Jeslyn seraya mengakhiri telpon sahabatnya.
"Maafkan Killen."
"Maaf untuk apa, Sayang?"
"Dia mengatakan tadi—"
"Bukankah itu benar?"
"Uh, kau menakutkanku saja."
"Haha, kau memang terlalu takut padaku, seperti aku akan memakanmu saja."
"Tatapanmu itu susah di tebak, Alston, makanya aku selalu saja merasa kau marah," ujar Jeslyn.
"Aku tak akan pernah bisa marah padamu."
Jeslyn tersenyum.
***
Sampai di mansion genggaman tangan Alston semakin erat di sela-sela jari jemari Jeslyn membuat Vileks kepala maid tersenyum miring. Ia kesal dan menganggap Alston tak pantas bersanding dengan Jeslyn yang bukan siapa-siapa. Rasanya tak adil saja walaupun itu sama sekali bukan urusannya.
"Why, Vileks? Kenapa menatap kami seperti itu? Apa ada yang salah?" tanya Alston yang ternyata sejak tadi menyadari tatapan angkuh kepala maid itu.
"No nothing lord," kata Vileks.
"Kamu ku maafkan karena permintaan Jeslyn jangan sembarangan mengasarinya, jika kamu menyayangi pekerjaan ini dan masih ingin di sini bersikap sopanlah pada Jeslyn. Dia bukan sekedar kekasihku saja tapi akan menjadi calon istriku. Jadi ... Jeslyn pun adalah majikanmu," kata Alston.
Jeslyn terkejut mendengar perkataan Alston yang begitu tiba-tiba, membuat gendang telinganya berdengung hebat, namun bukan waktunya untuk menanyakan apa maksud dari perkataan prianya itu.
"Baik, Tuan," kata Vileks membungkuk.
Jeslyn dan Alston lalu masuk ke kamar, kali ini bukan di kamar Jeslyn, namun di kamar pribadi Alston, Jeslyn memicingkan mata, namun tak dapat bertanya saat ini karena kelelahan di wajah Alston begitu terlihat.
"Mandilah, aku akan rehat sejenak," ujar Alston kepada Jeslyn.
Jeslyn lalu masuk kedalam kamar mandi yang belum pernah ia lihat sebelumnya desain yang sangat mewah bak istana di atas langit untuk memandikan Para Pangeran.
Luar biasa dan benar benar mewah, Jeslyn memang sebelumnya tak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya jadi wajar saja jika Ini membuatmya sedikit tercengang.
***
Setelah selesai mandi Jeslyn keluar dari kamar mandi dan melihat Alston sedang tertidur pulas mengenakan pakaian tidurnya, Jeslyn terpukau melihat ketampanan Alston yang begitu tampan bak pangeran dari sebuah istana yang menjadi rebutan para putri raja seberang
Siapa yang tak menyukai sosok Alston walaupun awalnya begitu kejam bak setan, namun mengenal Alston lebih jauh malah membuatnya tak sanggup berada jauh dari pria arrogant itu.
Jeslyn Berjalan menghampiri Alston yang sedang tertidur pulas. Menatapnya dan mengelus rambutnya lembut.
Tanpa membuka matanya, Alston dengan cepat meraih leher Jeslyn dengan tangan kirinya dan menyambarkan bibirnya ke bibir Jeslyn.
Alston memagut Bibir basah Jeslyn. Pagutan itu di balas Jeslyn, dengan menjelajah di bagian lidah prianya.
Semakin basah dan semakin nikmat.
Alston lalu melepas pagutannya, wajah Jeslyn begitu kecewa ia tak ingin melepas pagutannya.
"Jangan membangkitkan gairahku lagi. Jangan sekarang aku lelah, Sayang."
Jeslyn hendak beranjak, namun lengannya di tarik Alston dan mengecup lembut kening Jeslyn, lalu meraih wanitanya yang masih menggunakan baju handuk dengan tangan kanannya dan menidurkan Jeslyn tepat di sampingnya, memeluk wanitanya dari belakang membuat keduanya di serang kantuk seketika.
"Aku mencintaimu, jangan pernah berusaha meninggalkanku," ujar Alston tanpa membuka pejaman matanya, terlihat wajah lelah itu benar-benar mengganggunya.
"Kenapa kamu terus mengatakan hal itu? Aku tak pernah berniat meninggalkanmu. Aku sudah berjanji, bukan?"
"Tapi ... janjimu itu hanya karena sebuah kesepakatan, itulah yang ku takutkan."
"Juga dalam hatiku, Alston."
Alston lagi-lagi mengecup bibir Jeslyn.
"Aku lelah, Alston. Sangat-sangat lelah."
"Aku tak memelukmu karena ingin bercinta, Sayang. Aku hanya ingin memelukmu. Aku pun lelah, tidurlah seperti ini."
"Aku belum berpakaian."
"Tai perlu berpakaian, kita berdua di sini. "
"Dasar!"
Alston membuka pejaman matanya dan menatap Jeslyn yang kini berada di dekapannya.
"Apa aku bisa menanyakan sesuatu padamu?"
"Tanyakan saja, aku siap menjawab dengan jujur."
"Apa kamu memiliki saudara seorang p*****r?" Pertanyaan Alston membuat ekspresi wajah Jeslyn berubah.
Jeslyn menunduk, entah kenapa perasaannya sakit ketika saudaranya di katakan seorang p*****r walaupun itu semua adalah kenyataan.
"Apa aku menyinggung perasaanmu?" tanya Aslton.
"Tidak sama sekali, aku hanya—"
"Kamu risih?"
Jeslyn mengangguk.
"Tak perlu risih, Sayang, aku sudah tau tentang latar belakang juga silsilah keluargamu, aku hanya ingin jawaban dari mulut kamu, karena sebelumnya aku tak pernah mendengar kamu menceritakan tentang saudara perempuanmu padaku, hanya ayah dan adik-adikmu yang sering kamu ceritakan padaku."
"Kamu memang benar, Clarabell memang seorang p*****r, karena itu aku tak suka bercerita tentangnya pada siapa pun."
"Apa karena dia seorang p*****r?"
"Hem, dia tak pernah mau berubah, selalu saja menjual diri agar mendapatkan apa yang dia mau."
"Bukankah itu jalan yang dia pilih?"
"Walaupun salah?"
"Aku minta maaf karena harus mengusik saudaramu, tapi aku hanya heran saja, saudaramu dan kamu itu benar-benar berbeda."
"Aku juga punya pilihan dalam hidup, tapi aku tak suka dengan jalan yang di pilih Clarabell, aku jijik padanya."
"Ya sudah, kita tidur ya, aku tak akan membahasnya lagi," ujar Alston.
TBC