Mafia 8 - Khawatir

1802 Kata
Setelah pria misterius tadi berlalu, Viora berniat untuk melanjutkan langkahnya. Namun, terhalang begitu ibunya sudah berada di depannya sekarang. “Viora? Kenapa kau turun dari mobil?” kaget Queen begitu Viora menyusulnya. Memang dia sedikit lama saat memesan makanan karena antrean restoran begitu panjang. Viora tersenyum pelan. Tak mau membuat ibunya khawatir, atas insiden yang menimpanya tadi dan membuat kakinya sakit. “Aku jenuh, dan Ibu lama. Jadi, aku menyusul.” “Ya sudah. Ayo kita kembali ke mobil,” ajak Queen pada akhirnya. “emm ... apa sopir perlu menggendongmu ke mobil, Nak?” tanya Queen dan Viora menggeleng atasnya. “Tidak perlu, Bu. Aku bisa sendiri.” “Baiklah kalau begitu.” Queen, Viora dan sopir yang membawa makanan pesanan Queen pun meninggalkan restoran kemudian masuk ke dalam mobil. Setelahnya, mobil pun melaju dari sana menuju jalan pulang. *** “Halo?” Queen yang berada di dapur dan sedang menyiapkan makanan yang dibelinya tadi ke atas nampan, harus mengangkat panggilan dari Robert yang entah berada di mana sekarang. Karena kasus penyelundupan senjata yang berhasil Robert bongkar, Robert menjadi sangat sibuk sekarang. “Apa kalian sudah sampai di rumah?” tanya Robert di seberang sana dengan nada yang terdengar khawatir. Queen mengangguk. Sebenarnya, dia merasa sedikit sedih karena Robert tak menemaninya dan Viora lagi. Tapi, mau bagaimana lagi? Sumpah setia pada negara yang harus Robert laksanakan, tentu saja membuat Robert harus memilih untuk melindungi negaranya dari pada keluarganya di rumah. “Iya, kami sudah sampai di rumah sejak beberapa menit yang lalu,” jawab Queen sejujurnya. “dan bagaimana denganmu sekarang? Apa kau sudah makan siang?” tanya Queen lagi. Makanan yang dia sajikan di piring sudah selesai dan dia akan segera membawanya ke kamar Viora. Hidup selama puluhan tahun di rumah ini bersama Robert, tentu saja membuat Queen sudah kapal betul bagaimana seluk beluk rumah ini. Selama itu, dia belum pernah memperkerjakan seorang pelayan untuk memasak dan menggantikan tugasnya sebagai seorang istri yang tentu saja harus memasak untuk suaminya. Dia hanya mempekerjakan beberapa pelayan untuk membersihkan rumahnya saja. Tanpa Bodyguard atau pun penjagaan ketat lain, karena selama ini, hidupnya di negara ini memang aman. Satu-satunya penjahat yang berada di negara ini, sudah berhasil Peter tumpas bersama ayahnya puluhan tahun yang lalu saat dirinya mengikuti kompetisi dan berhasil, menjadi model terbaik di negara ini. “Sebentar lagi, aku akan pulang. Penyelidikanku belum selesai.” “Baiklah. Kami menunggu.” Klik! Sambungan telepon itu terputus. Queen meremas ponsel ditangannya sedikit kuat. Entahlah, akhir-akhir ini dia menjadi begitu khawatir. Robert yang kembali menjumpai kasus tak wajar di negaranya yang tergolong aman, membuat dirinya tentu saja merasa resah. Berhadapan dengan kasus ilegal seperti ini, tentu saja musuh yang sedang berhadapan dengan Robert bukanlah penjahat kalangan biasa. Mereka kelas kakap, yang bisa saja memiliki sebuah organisasi gelap yang jaringannya meluas dan sudah tentu, akan menghancurkan siapa pun yang mencoba menghalangi jalan mereka termasuk aparat milik negara. Mengusik berarti melawan. Dan melawan berarti mengantarkan nyawa. Ya, seperti itulah hukum alam yang menjadi semboyan untuk organisasi seperti mereka. Queen mendesah kasar. Jangan tanyakan, kenapa dirinya bisa mengetahui semua itu, begitu rinci. Semua orang tau, siapa dirinya. Ayah dan saudaranya yang merupakan bagian dari organisasi itu, tentu saja sedikit memberikan gambaran tentang bagaimana mereka dan jaringan kuat yang mereka miliki. Sayang, di masa ini dia hanya memiliki Peter dan Dave saja, sebagai pelindung keluarganya, karena ayahnya sudah lebih dulu tiada dan meninggalkannya tanpa berpamitan lebih dulu. Sesal, karena ayahnya dan keluarganya yang lain, harus terbunuh secara tragis karena perbuatan seseorang yang selama ini bersembunyi di belakang punggung Dave dan menjadi orang kepercayaan keluarganya. Ressam. Queen bahkan tak sudi untuk sekadar menyebutkan namanya. Demi Tuhan, dia pun turut menyesal atas kesempatan yang Dave berikan pada pria itu. Andai saja, Dave melenyapkan nyawa pria itu juga saat itu, sudah pasti tidak akan ketakutan yang membayanginya sampai sekarang karena dia tau, Ressam dan Viora pernah dekat. Dan sialnya, dia tau jika Viora pernah mencintai pria penjahat itu. Queen mengusap sudut matanya yang basah oleh air mata. Di usianya yang sudah melewati setengah abad, jujur saja dia ingin hidup keluarganya aman dan normal seperti kehidupan keluarga orang lain di luar sana. Dia ingin bebas menikmati masa-masa hangat keluarganya dengan berkumpul, makan bersama, liburan bersama dan juga saling mendukung. Ya, beberapa tahun terakhir, dia memang merasakan hal itu. Hidup dengan aman, dan juga damai. Tapi saat ini, secara tiba-tiba masalah datang lagi. Memang yang namanya masalah dengan keluarganya sudah seperti sahabat dekat yang melangkah bersama dan tinggal menunggu waktu kapan langkah si masalah akan lebih dulu unggul kemudian mengacau. Dia hanya bisa berdoa, apapun masalah yang menimpa keluarganya sekarang, semoga saja di atasi seperti masalah yang terjadi sebelumnya dan tak menyebabkan duka lagi. Queen memilih untuk meninggalkan pijakannya dan membawa nampan berisi makanan yang dia siapkan untuk Viora tadi. Jika terus menerus berada di sana, dia khawatir jika dirinya akan bergelung dengan semua kekhawatiran yang melanda dan berakhir membuat Viora kesusahan dengan menyusulnya ke dapur. Bagaimana pun, kaki Viora belum sembuh dan Viora tidak boleh banyak bergerak dulu. Queen menetralkan raut wajahnya. Berusaha terlihat setenang mungkin, meskipun rasa khawatir di hatinya semakin menjadi-jadi. *** “Viora, bagaimana kabarmu?” Sapaan Jasmine yang terdengar begitu wajah cantik wanita itu terlihat di layar laptop yang berada di depannya saat ini, membuat senyum Viora mengembang walaupun hanya beberapa senti saja. “Aku baik, Bi. Lalu bagaimana dengan kabar kalian semua di sana?” jawab Viora ramah. “Kami baik, Vio.” Jasmine terdiam sejenak. Begitu pun dengan Viora yang tidak tau harus mengatakan apa saat harus berhadapan dengan wanita itu. Kehebohan yang biasa terjadi saat Viora menghubungi Jasmine mendadak lenyap. Yang saat ini terjadi adalah, Viora merasa gagal karena tidak bisa menjadi penari terbaik seperti yang dirinya impikan dan juga keluarganya dukung, termasuk dukungan dari Jasmine yang paling berharga karena Jasmine lah yang mengenalkan dunia seni ini padanya. “Bibi, aku gagal.” Viora menggigit bibir bawahnya pelan dengan kepala tertunduk dalam. Tanpa dirinya katakan pun, Jasmine sudah pasti mengetahui apa yang terjadi semalam. Di depan banyak orang, dirinya sudah mempermalukan dirinya sendiri dan berakhir kegagalan seperti ini. “Apa Bibi harus ke Washington sekarang juga untuk memberimu pelajaran?” respons Jasmine yang selalu saja di luar dugaan, membuat Viora kembali mendongak kemudian tersenyum pelan. Jasmine memang seperti itu. Jasmine selalu memperlakukan semua orang dengan lembut dan selalu berhasil mengurai ketegangan yang ada. “Tidak perlu, Bi.” “Lalu kenapa, ada wajah sedih seperti ini yang Bibi lihat sekarang?” ucap Jasmine di seberang sana. “dengar, Vio. Entah sudah berapa ratus kali, kata-kata ini harus Bibi katakan padamu? Dan sekarang, kau membuat Bibi menjadi cerewet lagi karena, lagi-lagi kau harus Bibi beri pelajaran.” Lanjutnya .”bukankah Bibi sudah mengatakan padamu jika menari itu tidak melulu soal kemenangan atau pun menyenangkan orang lain, Viora. Yang terpenting adalah, dengan menari membuatmu bahagia dan lepas. Dengan menari, beban dan gundah dihatimu lenyap. Dengan menari, kau merasakan jika dunia dan seisinya adalah milikmu. Seperti itu ‘kan?” imbuh Jasmine dengan pernyataan di akhir kalimatnya. “Kegagalan tidak harus menghentikan langkah dan daya juangmu, Viora. Perjalananmu masih panjang. Kau masih memiliki begitu banyak kesempatan untuk menjadi penari terbaik yang pernah ada. Jangan jadikan kegagalanmu semalam sebagai masalah besar yang membuatmu takut untuk menari lagi. “Dan ingat! Medan tempurmu itu, sama sekali tidak mudah, Vio. Tidak semua orang bisa melakukannya. Selain harus menari dengan indah, kau pun harus bersahabat dengan lantai es yang keras itu. Beda halnya dengan Bibi. Di lantai kamar mandi pun, Bibi bisa melakukannya. Tapi, dulu. Sekarang tidak. Hahaha ....” Tawa hangat Jasmine yang seperti inilah yang selalu Viora rindukan setiap saat. Wanita itu, selalu saja membuat dirinya menjadi tenang, dan beban yang dia tanggung menjadi berkurang sedikit demi sedikit menuju kata lenyap. Adanya Jasmine dan juga petuah dari wanita itu, seperti asupan tenaga baru yang ditambahkan untuk mengusir segala kepenatan dan rasa kecewa yang pernah membuat dirinya berpikir, jika dirinya tidak akan pernah mau menari lagi di depan banyak orang. “Bibi tidak mau penari Ice Skating kebanggaan Bibi, menyerah hanya gara-gara kesalahan kecil seperti ini. Kegagalanmu semalam, bukanlah masalah besar yang harus dihadapi dengan rasa takut ataupun malu. Kegagalan kecil seperti ini, memang biasa terjadi untuk membuat daya juangmu runtuh, Vio. Entah karena permainan takdir untuk membuktikan seberapa mampunya kau menggapai mimpimu atau justru kesengajaan seseorang yang ingin mimpimu terkubur. Kita tidak tau itu,” ucap Jasmine lagi dan Viora sedikit menoleh begitu pintu kamarnya terbuka dan memperlihatkan ibunya yang sudah membawa nampan berisi makanan untuknya. Setelahnya, dia memfokuskan pandangannya lagi pada wajah Jasmine. “Oleh karena itu, jangan pernah menyerah, Viora. Buktikan pada semua orang, jika kau tidak akan kalah hanya dalam sekali serang. Kau tangguh dan kau bisa menggapai mimpimu. Semangat!” sorak semangat dari Jasmine, membuat Queen yang melihatnya pun, juga ikut tersenyum lebar. Ternyata, Viora sedang menghubungi Jasmine dan mengadu. Ya, memang seperti itu. Jasmine dan Viora memang sedekat itu karena Viora pernah tinggal bersama mereka cukup lama. Tentu saja, untuk masalah dunia menari, hanya Jasmine yang bisa memahami Viora dari pada dirinya yang hanya bisa berdoa dan memberikan Viora semangat saja. Karena bagaimana pun, ingin rasanya dia menyuruh Viora berhenti menari saja, jika mengingat bagaimana Viora terjatuh dan membentur lantai dingin itu sampai pingsan. Sudah cukup. Dia tidak mau Viora mengalami cedera yang sama bahkan bisa lebih buruk dari cedera yang di alami Viora sekarang. Tidak, tidak. Viora adalah putri semata wayangnya. Dia tidak mau terjadi apa-apa, pada Viora. Viora adalah hidupnya. Tidak peduli, jika Viora akan membanggakannya dengan menjadi penari Ice Skating terbaik atau tidak. Melihat Viora baik-baik saja, sudah lebih dari cukup untuknya. “Bisakah, Ibu memintamu untuk berhenti menari saja, Viora?” Suara Queen yang tiba-tiba terdengar, membuat Viora dan Jasmine kompak melihat ke arah Queen secara bersamaan. Memastikan lamat-lamat, jika yang mereka dengar tadi, bukanlah sebuah kebenaran. “Ibu tidak mau melihatmu terluka lagi, Viora. Sudah cukup.” Akhirnya, air mata Queen terjatuh juga. Belum rasa khawatirnya terhadap keselamatan Robert yang sekarang membuatnya gundah. Cedera serius yang di alami Viora tentu saja membuat perasaannya semakin tidak stabil. Dan akhirnya, tumpahlah semua kegundahan hatinya di depan Jasmine yang menatapnya dengan raut wajah prihatin. “Suruh Viora, menghentikan mimpinya saja, Jasmine. Aku tidak mau dia terluka lagi. Saat ini cedera yang dia alami memang pergeseran tulang saja tapi, bagaimana jika suatu saat nanti, cederanya lebih serius? Seperti patah tulang mungkin? Tidak. Aku tidak mau lagi.” Mendengar perkataan ibunya, Viora hanya bisa menghela napasnya pelan kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Ya, dia tau apa yang ibunya rasakan sekarang. Tapi, ini sudah menjadi konsekuensi atas pilihan yang sudah niatkan untuk menjadi penari terbaik di negara ini. Begitu pun konsekuensi yang harus hatinya terima, karena mengingat Ressam lagi. Entahlah ... dia hanya merasa, jika pria itu akan datang dan kembali menghantui kehidupannya lagi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN