8. Zoom

1879 Kata
Suasana menjelang siang di kantor TvM selalu sepi. Hanya beberapa orang saja berada di bilik kerja masing-masing. Terlihat melangkah tergesa dari ruangannya, Romi menghampiri bilik kerja Silvia, melempar lembaran rundown acara beserta tingkatan rating untuk program talk show dan variety show televisi tanah air. Silvia mendongak sejenak lalu memfokuskan kembali pandangannya ke layar laptop. “Silvia! Percuma jauh-jauh kuliah di Melbourne kalau acara kamu cuma jadi sampah begini. Gimana kamu mau dapat penghargaan lagi coba?” Romi mengacak rambutnya sendiri sebagai pelampiasan kekesalannya pada Silvia. Meraih kertas yang terlempar di atas meja, Silvia lalu melempar ke tempat sampah di samping mejanya. “Kalau Pak Romi cuma mau menghina hasil kerjaku nggak perlu repot mengirim aku ke Melbourne.” “Produser itu harus dituntut lebih kreatif dan lebih peka pada minat masyarakat terhadap suatu acara. Acara kamu kurang greget, sesekali datangkan bintang tamu yang kontroversial. Aku kan sudah suruh kamu undang itu Zaneeta. Mana hasilnya?” “Aku akan carikan artis lain yang lebih kontroversial.” “Aku maunya Zaneeta! Titik.” “Kalau aku bilang nggak bisa Pak Romi mau apa?” tantang Silvia tak gentar. Romi mulai tidak sabaran. “Berani kamu?! Dengar ya, Silvia. Banyak loh yang lebih kompeten dari kamu di bidang ini,” nada bicara Romi terdengar begitu marah, diiringi melayangkan telunjuknya tepat di depan hidung Silvia. “It’s oke! Fine! Detik ini juga aku mengundurkan diri dari posisi produser. Aku akan kembali ke habitatku menjadi wartawan,” ucap Silvia sarkas. Wajah Romi mengeras tidak terima dengan ancaman yang dilayangkan oleh Silvia. “Lebih baik aku lari-larian berburu berita, bikin janji temu sama menteri meski harus mengikuti protokoler yang ketat daripada harus menyembah selebriti gila popularitas dan hidupnya penuh gimmick.” Membuang napas kasar Silvia beranjak dari kursi, melempar id card-nya pada Romi, lalu menyingkir dari hadapan laki-laki itu. “Jangan main-main sama ucapan kamu! Susah payah aku mengantarkan kamu ke posisi ini, Silvia! Kamu pikir kuliah kamu itu murah? Kalau nggak pake sponsor mana bisa kamu kuliah di luar negeri.” Romi berhasil meraih tangan Silvia sebelum perempuan itu melangkah lebih jauh. Id card yang berhasil ditangkap oleh Romi diserahkan kembali pada Silvia. “Sekalipun aku nggak pernah minta Pak Romi untuk memberiku posisi ini. Aku juga nggak pernah minta dikuliahin ke luar negeri. Pak Romi dan Miss Eren yang ngotot mengirimku ke Melbourne. Tunggu...tunggu...Ralat, menyingkirkan aku lebih tepatnya.” “Damn!” Saat Romi mengumpat dijadikan kesempatan oleh Silvia untuk melepas cekalan Romi. Teriakan Romi menyerukan namanya tidak dihiraukan oleh Silvia. Langkah tergesa Silvia akhirnya sampai di taman belakang yang sepi di siang hari. Kesal Silvia mengempaskan bokongnya di bangku taman yang tengah sepi di jam-jam segini. Aroma rumput basah bekas guyuran hujan menenangkan hatinya yang sedang kalut. “Kata anak wardrobe, kamu abis ribut sama Romi?” Suara Revan membuat suasana hati Silvia makin kacau. “Biasalah ribut kecil,” jawab Silvia santai berusaha menghilangkan raut kesal di wajahnya. Revan menarik sebuah kursi duduk di depan Silvia. “Aku yakin, kamu punya kedekatan tertentu sama Romi.” “Ya dekat gitu-gitu aja.” “Omong-omong Romi itu dulu kepala redaksi acara News di TvM kan? Atasan kamu juga kan. Kariernya melesat banget ya. Sekarang udah jadi Direktur Produksi dan Pemasaran.” Mengangguk sekali, Silvia membuang muka dari tatapan intimidasi pengacara kawakan seperti Revan. “Dia kerja keras bisa sampai ke posisinya sekarang,” jawabnya tenang. “Kalau kamu sama Gista lebih dulu siapa kenal Romi?” kejar Revan dengan pertanyaan baru untuk Silvia.. Berdecak keras, Silvia beranjak dari tempat duduknya. Malas memulai obrolan dengan Revan bila menyangkut Gista. Revan menekan bahu Silvia, memintanya untuk duduk kembali. “Apa-apaan, sih? Sakit tauk!” hardik Silvia mengusap bahu yang ditekan cukup kuat oleh Revan. “Mohon kerjasamanya sedikit saja, Via. Aku teman baik abang kamu, bantu aku sekali ini saja. Kalau kamu membantuku, aku janji nggak akan menyulitkan kamu di masa yang akan datang.” “Nggak ada bantuan yang bisa aku berikan untuk Mas Revan. Mending cari narasumber lain untuk memenuhi hasrat ingin tahu Mas Revan soal Romi, dan…, Gista..” “Ini bukan soal Romi saja. Tapi menyangkut soal Gista dan kamu.” “Aku?” Silvia tertawa mencemooh statement Revan. “Sampai sekarang aku heran, kamu dan Romi berteman dekat dengan Gista, tapi tidak ada satupun bukti yang mengarah bahwa kalian pernah punya hubungan satu sama lain. Bikin aku tambah penasaran.” Revan berdecak sambil menggeleng, tak ketinggalan melirik reaksi Silvia saat dia terus saja menyebutkan nama yang tidak ingin Silvia dengar. “Ya karena memang aku nggak pernah kenal sama Gista yang Mas Revan maksud. Dan aku nggak ada hubungan apa pun seperti yang Mas Revan curigai.” “Gista itu teman dekat kamu bukan? Kalian kenal saat SMA, kuliah juga bareng, hanya saja beda angkatan, kalian sama-sama aktivis, dia juga wartawan kayak kamu di televisi lain, hanya saja Gista meninggalkan profesi sebagai wartawan dan memilih menjadi konsultan pernikahan. Apa seperti itu masih bisa dibilang nggak kenal?” “Aku nggak pernah punya teman yang namanya Gista. Jangan sok tahu Mas Revan. Mana buktinya? Dapat info dari mana? Kalau nggak valid jangan asal nuduh, loh.” Silvia tertawa sumbang di akhir ucapannya. Revan melempar sebuah koran lama terbitan bulan Juli tahun 2014 pada Silvia. Membaca sekilas judul dengan ukuran huruf tebal dan besar pada halaman pembuka, Silvia melempar koran tadi ke meja. REPORTER-REPORTER CANTIK DAN CERDAS ANDALAN DUA STASIUN TELEVISI RAKSASA TANAH AIR. SATU ANAK RANTAU DAN SATU ANAK PEJABAT. “Aku tanya sama jurnalis yang membuat headline di koran itu, dia bilang salah satu narasumbernya seorang perempuan, reporter televisi yang kritis terhadap politik, suka menulis artikel bernada menyindir terhadap pemerintahan dengan nama pena yang dirahasiakan, pernah magang menjadi wartawan sebuah majalah bisnis dan politik, lulusan perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, dia juga salah satu aktivis paling vokal di kampus. Dan tidak mau disebutkan namanya.” Mendengar ulasan singkat dari Revan, tawa Silvia pecah di tengah keheningan taman. Bukan tawa lepas, tapi tawa sarat akan beban dan tekanan. Tawa yang dibuat hanya untuk menutupi sebuah kegusaran dan keresahan. Hanya sebuah tawa sumbang yang penuh kepura-puraan. Tidak ada yang tahu apa alasan Silvia mendadak memiliki perasaan seperti itu. Dan Revan bisa membaca gestur tidak nyaman pada diri Silvia. Bukan hal sulit bagi seorang pengacara kawakan seperti Revan membaca gestur tubuh seseorang. “Terus Mas Revan mau apa? Mau nyari tahu soal dua reporter televisi itu? Atau mau apa? Naksir reporter itu? Apa jurnalisnya?” Lagi, tawa mencemooh Silvia pecah. “Salah satu reporter televisi itu kamu kan, Via? Satunya lagi Gista. Dua tahun setelah artikel berita itu dibuat seolah semua hal yang terkait dengan berita di koran itu raib, menghilang dari peredarannya. Bukti-bukti bahwa kamu, Romi dan Gista itu berteman dekat juga hilang. Hebat!” Ekspresi Silvia berubah datar. Namun jantungnya berdebar kencang, napas Silvia pun berubah menjadi lebih pendek. “Aku pengen tahu alibi kamu bulan Agustus 2016 apa? Ke mana aja kamu bulan itu, Via?” Revan merapatkan posisi duduknya lebih dekat di depan Silvia. Kedua tangan Revan terulur, bertumpu pada pegangan kursi yang tengah diduduki oleh Silvia. “Jawab aku, Via!” Setengah membentak Revan bertanya pada Silvia. “Aku lagi nggak ada di Jakarta. Aku dapat tugas liputan acara karnaval di Jember. Aku di Jember hampir dua minggu. Saksiku banyak asal Mas Revan tahu. Ada Mbak Kiara, Bang Dastan dan Andra.” “Oh, ya? Sejak kapan wartawan politik banting setir meliput acara seni dan budaya.” “Aku bukan perlu sama seni dan budayanya. Tapi aku punya perlu dengan mentri kelautannya yang turut hadir dalam acara besar itu.” “Oh…. Kamu bisa membuat janji temu kapan saja kan dengan menteri apa pun. Itu bukan suatu hal yang sulit buat wartawan sekelas kamu, Via. Pasti lebih mudah bagi kamu bertemu dengan menteri bahkan presiden daripada bertemu dengan artis yang tersandung kasus perceraian, iya kan?” Revan tertawa karena Silvia tidak berani menatapnya. Silvia mendorong tubuh Revan, lalu beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Revan. Silvia bisa membaca cara mengintimidasi Revan. Silvia sadar kalau Revan hanya sekadar mengujinya. Hati kecil Silvia berkata bahwa, Revan tidak benar-benar tahu apa pun tentang dirinya. “Satu informasi, itu berita dari tabloid murahan yang bisanya cuma cari sensasi. Jadi jangan terlalu Mas Revan ambil hati. Beberapa kali jurnalisnya membuat gaduh saat ada acara konferensi pers. Bahkan para jurnalisnya tidak diterima menjadi anggota aliansi jurnalisme Indonesia karena sering melanggar kode etik jurnalis. Mau tahu kenapa? Karena setiap berita yang mereka sajikan selalu berita hoax. Kalaupun benar, mereka selalu melebih-lebihkan berita,” ujar Silvia sebelum benar-benar pergi dari hadapan Revan. Revan tidak menahan Silvia lagi. “Suatu saat kamu pasti akan membuka sendiri semuanya sama aku, Via. Aku yakin, kamu pasti mengalami momen-momen yang kurang menyenangkan saat mengingat soal Gista,” ucap Revan saat Silvia angkat kaki dari tempat mereka mengobrol sesaat yang lalu. Namun tidak ada tanggapan lagi dari Silvia. Sampai di sini Silvia masih penasaran apa alasan Revan ingin tahu soal kedekatan dirinya dengan Romi dan Gista. Apa yang diharapkan Revan dari Silvia? Apa yang akan dilakukan Revan jika mendapatkan yang ia butuhkan dari Silvia? Kepala Silvia rasanya mau pecah saat pertanyaan-pertanyaan itu berkeliaran di otaknya. Apalagi jika dibarengi dengan memori otaknya yang kacau. Susah payah Silvia mencari tahu siapa Gista? Kenapa bayangan sosok Gista kadang terlihat jelas, tapi kadang kabur di benaknya. Tidak hanya Revan saja yang ingin tahu soal Gista, tapi Andra juga dibuat penasaran. Namun justru Silvialah yang paling tersiksa di sini. Silvia sangat tertekan menerima pertanyaan orang-orang padanya soal nama yang sama sekali tidak dia kenal itu. Silvia kehilangan bayangan tentang sosok Gista dan bagaimana nama itu bisa menjadi begitu familiar tapi kadang juga menjadi terasa asing di telinganya. Yang Silvia bisa ingat hanyalah, Romi selalu menekankan bahwa jika ada yang bertanya pada Silvia soal Gista, maka Silvia cukup menjawab tidak tahu dan tidak mengenal siapa orang bernama Gista itu. Silvia sendiri bingung harus memulai dari mana untuk mencari tahu siapa Gista sebenarnya. Kenapa semua orang selalu bertanya padanya soal nama itu dan juga kedekatan yang terjadi antara Silvia dengan nama Gista itu. Silvia berpikir keras, apa sosok Gista yang dimaksud Revan, Andra dan Romi adalah sosok Gista yang terkadang akan muncul jika hati Silvia tengah dirundung kesepian dan kesedihan mendalam? Apa Gista yang selalu datang menemuinya di sebuah kafè saat ia masih kuliah di Melbournelah yang dimaksud oleh orang-orang itu? Silvia makin tertekan. Silvia membuka laptopnya, membuka jendela informasi melalui internet. Saat dia mengetikkan nama Gista di mesin pencarian, yang keluar adalah biodata seorang perempuan bernama lengkap Gista Ayuning Permana berada di deretan teratas yang berhasil ditemukan oleh mesin pencari. Hanya biodata singkat, tidak ada foto maupun keterangan lebih jauh yang mampu membantu Silvia memecahkan teka teki ini. Kursor di laptop Silvia mengarah pada sebuah laman berisi blok pribadi milik seseorang yang memiliki nama pena aneh. Di blok menuliskan sebuah berita pembunuhan di sebuah apartemen di kota Bogor dan jasad korban ikut menghilang beserta barang bukti lainnya. Kasus tersebut belum pernah terungkap sampai saat ini setelah hampir lima tahun berlalu. Namun nama korban tidak disebutkan di blok tersebut. Hanya itu yang bisa Silvia gali dari internet. Tidak ada berita tambahan lagi. Informasinya masih sama seperti waktu Silvia mencoba mencari tahu tentang Gista, saat pertama kali Revan menanyakan soal kedekatan Silvia dengan sosok bernama Gista. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN