Setelah kembali ke Jakarta, Silvia hanya mendapat jatah libur satu hari sebelum memulai aktivitas rutinnya. Silvia memang merindukan sekali momen seperti ini. Berangkat pagi pulang petang. Berjuang melawan macet. Mendengar sopir angkutan umum yang saling memaki, mengumpat, menjadi hiburan tersendiri bagi Silvia untuk menyambut hari sibuknya. Kali ini Silvia benar-benar bekerja, jadi aktivitas Mon to Fri nya sudah kembali normal. Tidak ada lagi berangkat kesiangan, pulang lebih sore saat masih dalam masa cutinya waktu itu.
Andra masih bertahan selama tiga hari tanpa aktivitas di rumah. Bagaimana pun juga Andra harus segera ke Jember untuk mengurus usahanya. Masih belum ada kata sepakat bagaimana hari-hari ke depan mereka selanjutnya. Melihat Silvia yang sedang merintis kariernya di dunia pertelevisian, Andra tidak mau menjadi suami yang egois. Apalagi Silvia tidak pernah meninggalkan kodratnya sebagai istri. Silvia mengurus Andra dengan sangat baik. Semua kebutuhan Andra terpenuhi sebelum Silvia berangkat kerja, bahkan setelah pulang kerja Silvia tidak langsung istirahat meski selelah apa pun. Dia akan menyempatkan diri mengurus atau sekadar menemani Andra nonton dan mengobrol.
Pagi itu pantry sudah dihebohkan dengan berita didepaknya Eren dari kursi Direktur Utama. Rumor yang beredar, Eren terlibat kasus suap dari pejabat saat pemilu tahun lalu. Eren menerima dana dalam jumlah fantastis, lalu menyetujui salah satu pasangan calon presiden menggelar kampanye hitam di TvM sebelum kampanye resmi dibuka.
“Denger-denger, ada wartawan yang terlibat, loh. Demi apa coba eta si wartawan ikut-ikut menerima suap. Kayak kurang sejahtera aja hidupnya. Perasaan TvM ini gaji wartawan udah paling gede loh dari tv-tv sebelah,” komentar Melanie, salah satu presenter acara talk show dan teman dekat Silvia.
“Ya namanya manusia, kak Mel, mana ada puasnya. Kepuasan paling hakiki seorang manusia itu kan masuk liang lahat, Kak,” celetuk Silvia setelah menyesap moccacino hangatnya.
“Sadeeesss. Bisa jadi quote the day tuh,” balas Krisna yang mendapat toyoran gratis dari Dinda.
“Lo juga, Via, serem amat pagi-pagi bahas liang lahat. By the way, anyway, busway-”
“Nggak sekalian aja, mrt, gojek, uber, grab dan taksi, Din,” sahut Hardi yang geli mendengar kalimat Dinda tadi.
“Apa sih, lo? Menyela omongan orang tidak sopan. Pasti waktu pelajaran ilmu budi pekerti bolos lo!”
“Sialan!” Hardi menimpuk gelungan rambut Dinda dengan tisu.
“Udah sih, gitu aja dibahas. Kenapa Din? Lo mo ngomong apa tadi?” Silvia melerai adu mulut antara Dinda dan Hardi yang kalau digelar bisa sepanjang tol Jagorawi.
“Selama lo di Melbourne, pak lawyer ganteng kita itu nanyain lo mulu deh. Kan yang seharusnya berangkat ke Melbourne itu Pak Ardan, eh, dia mengajukan dirinya dengan suka rela untuk menjadi perwakilan perusahaan di acara graduation lo.”
“Oh. Tanya apa dia memang?” Malas Silvia bertanya pada Dinda.
“Nanti aja deh. Gue harus live dulu. Bye, semuanyaaa.” Dinda keluar dari pantry setelah memberi kiss bye pada teman-temannya.
“Makin padat aja jadwalnya Dinda. Seharusnya dia sedikit santai setelah punya baby, kan?”
“Katanya kebutuhan makin bengkak setelah adanya baby. Jadi Dinda minta tambahan jadwal sama Pak Romi. Romi, mah, otak bisnis banget. Daripada merekrut orang baru, mending pakai orang lama yang lebih pengalaman.”
“Trus babynya sama siapa, Kak?”
“Katanya diurus nanny.”
“Nggak takut ya? Sekarang kan susah banget cari nanny yang bener-bener. Berita pengasuh menyiksa anak majikannya kan sering jadi viral tuh. Emang Dinda nggak ngeri ya?”
“Ya gitulah, Via. Dilema jadi seorang perempuan. Di satu sisi kita pengen punya karier dan pekerjaan. Tapi di sisi lain, kita tidak bisa melupakan kodrat kita sebagai seorang ibu dan istri. Nanti juga lo akan paham kondisi yang dialami Dinda, sudah berkeluarga, punya anak, jauh dari orang tua dan keluarga. Gue masih mending, nyokap sama ibu mertua gue ada di Jakarta, jadi gantian deh tuh mereka jagain anak gue. Nah, Dinda, dia cuma hidup berdua aja sama suaminya di Jakarta.”
Tersenyum tulus Silvia tampilkan memahami semua wejangan Melanie pagi itu.
“Lo gimana, Via? Udah isi belum tuh?” Melanie menunjuk perut Silvia.
“Udah Kak Mel. Isi nasi goreng, teh tawar sama moccacino hangat,” jawab Silvia diiringi senyum kekanakan sambil mengusap perutnya. Melanie hanya tertawa menanggapi jawaban bercanda dari Silvia.
Menghindari Melanie membahas lebih jauh soal isi perut yang sebenarnya, Silvia segera pamit kembali ke bilik kerjanya. Pintu pantry terbuka saat Silvia hendak meninggalkan tempat itu.
“Mbak Via dicari Pak Romi.”
“Oke.”
♡♡♡
Ruangan Romi sepi saat Silvia masuk. Berjalan mengendap dia mengintip apa yang digelar Romi di atas meja kopi.
Mampus gue. Kenapa lagi sama program acara gue. Cetus Silvia dalam hatinya. Terdengar suara Romi sedang mengakhiri percakapannya melalui telepon dari balik pintu masuk ke ruangannya. Sembari menunggu Romi masuk ruangannya, Silvia berusaha menenangkan kegelisahan hatinya sendiri.
“Hey, sudah lama?” tanya Romi.
Silvia menggeleng, calm down, pura-pura tidak melihat apa-apa yang ada di atas meja kopi.
“Duduk, Silvia! Ada yang mau aku omongin.”
“Iya silakan.”
“Sebelumnya aku mau tanya, kamu sudah menyiapkan konsep baru untuk variety show pengganti kamu? Atau mau merevisi program acara yang udah kita hold waktu itu saja?”
“Nanti aku cari konsep baru aja. Setidaknya yang nggak terlalu berkaitan dengan dunia selebritas. Aku sudah muak sama mereka.”
“Sabarlah, Via! Kamu bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kamu juga karena gimmick dari mereka. Ya kan?”
Berdecak sebal, Silvia membuang muka dari tatapan Romi.
“Itu daftar rating pekan kemarin. Program acara kamu bahkan nggak masuk sepuluh besar. Aku pengen dengar solusi dari kamu. Tapi please, jangan suruh aku untuk ambil tindakan menghentikan acara kamu lagi.”
Menghela napas panjang Silvia meraih kertas putih yang disodorkan oleh Romi.
“Variety Show berbasis musik, kocak dan menghibur masih digemari masyarakat kita. Di TvM selama ini belum pernah ada variety show jenis itu. Mungkin bisa kamu pertimbangkan untuk membuat sebuah konsep variety show yang unik.”
“Iya nanti aku pikirkan lagi. Soal acara parenting itu, aku minta jangan ditutup dulu. Acara itu bagus untuk orang tua baru yang masih awam dalam mengurus buah hati mereka. Nggak ada salahnya kita membantu mencarikan solusi bagi mereka yang membutuhkan ilmu parenting. Mungkin bintang tamunya saja yang akan aku kulik lebih jauh, juga tema-tema acara akan aku buat lebih variatif.”
“Nah, good idea. Anyway, kamu masih ingat model yang pernah jadi brand ambassador salah satu iklan sabun mandi nggak? Sekarang sudah berkeluarga.”
Silvia sedang berpikir keras, menerka model siapa yang dimaksud oleh Romi.
“Siapa, Pak? Tamara Blezinsky? Dian Sastro? Luna Maya? Donita?”
Romi menggeleng dengan semua nama yang disodorkan oleh Silvia.
“Siapa trus? Maudy Ayunda belum berkeluarga,” imbuh Silvia, terkekeh geli kemudian.
“Model yang menghilang bertahun-tahun trus tiba-tiba nongol, nikah beda agama dan mengaku sudah memiliki anak waktu itu sebelum menikah.”
“Oh...” jawab singkat Silvia. Mengerti jawaban atas klu yang disampaikan oleh Romi.
“Bisa nggak kamu undang dia ke acara kamu?”
“Enggak bisa.”
“Sekali aja, Silvia.”
“Kalau Pak Romi pengen ketemu ya ketemuan di luar aja. Kenapa harus bawa-bawa acara aku segala coba.”
“Sekali ini aja kamu turuti saranku. Kita butuh ilmu darinya. Aku dengar anaknya spesial juga.”
Silvia baru akan membantah lebih panjang, tetapi tertahan saat Romi beranjak dari sofa dan berbalik badan meninggalkan tempat duduknya.
“Oya, apa Revan sudah mulai tanya-tanya soal Gista?” tanya Romi.
Tak ada jawaban yang meluncur dari bibir Silvia. Silvia masih belum sadar sepenuhnya tentang perubahan air wajah Romi pagi itu, karena pikiran Silvia sendiri masih melayang ke dimensi waktu lain saat nama Gista disebutkan oleh Romi.
“Kamu masih ingat kan, jawaban apa yang harus kamu berikan kepada siapapun yang bertanya soal Gista padamu?”
Silvia akhirnya sadar kalau Romi masih mengajaknya berbicara. Dia mengangguk lalu berkata, “aku nggak kenal dan nggak pernah dengar yang namanya Gista.”
“Anak pinter!” ucap Romi, mengacak poni Silvia lalu keluar dari ruangannya. Silvia hanya berdiam diri dan tiba-tiba dadanya terasa sesak tanpa sebab. Dia juga merasa seperti sedang larut dalam rasa bersalah yang teramat besar. Namun dia tidak tahu kesalahan apa yang pernah diperbuat hingga merasakan perasaan bersalah yang teramat dalam seperti itu.
♡♡♡
Saat jam istirahat siang, Dinda menghampiri Silvia di bilik kerjanya, lalu menyeret Silvia menuju taman belakang. Ada hal yang ingin Dinda bicarakan dengan Silvia secara rahasia. Melanjutkan obrolan mereka berdua yang sempat tertunda pagi tadi.
“Lo punya teman namanya Gista nggak? Teman kuliah mungkin?” tanya Dinda dengan nada bicara agak sedikit berbisik lirih.
Silvia kesulitan menelan salivanya sendiri. Jantungnya berdegup kencang tanpa sebab. Sudah dua kali dia mendengar orang-orang menyebut nama itu hari ini. Silvia mencoba mengabaikan firasat yang mengganggu alam pikirnya.
“Nggak ada. Kenapa, Din?” Santai Silvia menjawab, sembari meyakinkan Dinda melalui sebuah gelengan pasti..
“Pak Revan tanya soal Gista melulu sama gue. Tanya apa pernah ada wartawan yang namanya Gista di TvM, terus tanya juga apa Silvia kenal Gista, bla bla bla about Gista.”
“Lo jawab apa?”
“Ya gue jawab aja nggak ada dan nggak tahu. Ada apa, sih? Gista itu siapa? Temen lo yang kerja di tv lain? Atau siapa?”
Mengedikkan kedua bahunya, Silvia mengalihkan pembicaraan Dinda dengan menanyakan soal kondisi bayi Dinda dan rumah tangga sahabatnya itu. Sekejap mata, perhatian Dinda langsung teralihkan. Dinda memang sedang hobi membicarakan soal bayinya yang sedang lucu-lucunya. Silvia merasa lega karena pembahasan soal Gista tidak berlanjut.
“Eh, Mr Lawyer lewat. Seksinya dia. Senyumnya itu loh, bikin klepek-klepek. Sayangnya gue udah punya buntut, coba masing single, mau deh meski sama dude.”
Silvia terbahak mendengar celotehan Dinda. “Dude siapa, Din? Dude Harlino? Inget laki lo woy!” ujar Silvia melayangkan ordinarynya di kepala belakang Dinda.
“Nggak apa-apalah. Cuci mata sesekali. Lo emang nggak ngiler gitu lihat Pak Revan yang unch banget itu? Dia itu type idaman wanita masa kini loh, duda tampan dan mapan. Masa lo nggak, Via?”
Tawa Silvia makin pecah mendengar ocehan sahabatnya yang makin ngawur menurutnya. “Type gue ya lakik gue kali, Din,” seru Silvia sambil memegangi perutnya sendiri.
“Cih, itu karena lo masih pengantin baru. Coba kalau udah jalan minimal dua tahun aja, yakin gue bakal berubah itu tipe lakik idaman lo.”
“Sialan lo! Gue akan mengikuti kata hati kecil yang mengatakan akan selalu jatuh cinta sama suami gue,” jawab Silvia teoritis.
Mengibaskan jemarinya, Dinda mencibir sabda yang dicetuskan oleh sahabatnya itu. Menit berikutnya Dinda hampir saja berteriak histeris saat Revan bergerak ke arah Silvia dan Dinda duduk saat ini. Jemari Dinda bergerak ke arah Silvia, lalu memberi cubitan gemas pada Silvia yang acuh tak acuh dengan kehadiran Revan.
“Kamu udah makan siang, Via?” tanya Revan sesampainya di depan Silvia.
“Belum. Nih mau pergi makan sama Dinda. Duluan ya, pak Revan” Silvia beranjak dari kursinya, menarik lengan Dinda kemudian menyeret sahabatnya itu agar segera enyah dari hadapan Revan.
Revan hanya menatap kepergian Silvia yang berjalan tergesa dengan setengah menyeret Dinda. Apa yang dilakukan Silvia malah membuat Revan penasaran alasan di balik Silvia menghindarinya.
♡♡♡
Malam harinya. Menembus hujan dengan dibonceng Hardi dilakoni oleh Silvia, demi menghindar dari Revan yang menawarkan tumpangan. Silvia berjanji pada dirinya bahwa dia akan beramah tamah dan tidak menghindar dari Revan, bila pria itu tidak lagi membahas soal Gista ataupun menyelipkan pertanyaan soal Gista saat mereka bertemu. `
Suara gemuruh dan petir yang menyambar membuat Andra terkesiap dari posisi setengah tidurnya. Dimatikannya televisi, Andra melangkah menuju jendela ruang tamu, mengintip dari balik tirai, berharap cemas karena istrinya tidak kunjung pulang di tengah hujan deras seperti ini. Pukul delapan malam belum ada tanda-tanda Silvia pulang. Jarum jam terus bergerak seiring embusan angin yang menguat. Tepat ketika jarum pendek jam dinding berhenti di angka sembilan, deru suara motor berhenti di depan pagar rumah. Napas berat Andra berembus lega.
“Makasih, Har,” seru Andra dari ambang pintu dapur. Andra melambaikan tangannya, memberi kode pada Silvia agar lewat pintu belakang saja.
Tubuh Silvia basah kuyup. Tak ada yang bisa diselamatkan kecuali ransel yang berisi kamera dan laptopnya yang memang dilindungi oleh tas khusus berbahan anti air.
“Lain kali minta jemput aja kalo hujan gini, Sil.” Andra menyelimuti tubuh Silvia yang menggigil kedinginan dengan handuk tebal. Silvia mengangguk dengan bibir bergetar menahan dingin.
“Dari kantor nggak deres gini hujannya.”
“Ya udah kamu mandi dulu.” Andra lalu meninggalkan Silvia yang sedang membereskan tubuh basah kuyupnya itu.
Silvia masuk kamar dengan tubuh hanya dibalut handuk dari d**a hingga pahanya. Andra yang tiduran di ranjang menatap lurus ke arah penampilan Silvia yang menggoda iman. Dengan langkah panjang Andra sudah berada di belakang tubuh Silvia.
“Capek?” bisik Andra dengan suara parau yang mampu membakar gairah Silvia.
Saat Silvia menggeleng, Andra memutar tubuh Silvia agar menghadap padanya. Andra menekan tubuh Silvia dengan satu tangan kokohnya, satu tangannya menggapai dagu Silvia kemudian meraup bibir Silvia dengan bibirnya. Keduanya lalu larut dalam sebuah ciuman liar penuh gairah. Bibir mereka menyatu, tubuh Silvia yang dingin menjadi panas akibat sentuhan yang diberikan Andra dari rambut hingga bahunya.
Andra melepas ciumannya untuk meneguk udara bagi paru-parunya, ada raut wajah tidak rela terlukis di wajah Silvia yang mulai terbakar gairahnya sendiri. Silvia mengunci kedua tangannya di sekeliling leher Andra dan memberi suaminya itu sebuah ciuman panjang lagi. Hati Silvia menghangat saat Andra balas menciumnya dengan kuat. Silvia melepas ciuman mereka lalu merapatkan tubuhnya dalam pelukan Andra.
Setelah mematikan lampu kamar dan menyisakan lampu tidur berukuran lima watt, Andra membimbing Silvia menuju ranjang hangat mereka. Sembari merebahkan Silvia di ranjang, Andra menanggalkan handuk yang menutupi separuh tubuh Silvia, bajunya sendiri ikut mendarat bersama handuk Silvia di lantai.
Ranjang itu kini berguncang hebat karena serangan Andra. Tubuh mereka basah oleh keringat. Suara angin yang semakin kuat membentuk badai, seolah menjadi saksi bahwa cinta mereka sedahsyat badai di luar sana. Keremangan kamar terbang berputar dalam pikiran Andra. Sebuah malam yang nikmat dari sebuah ledakan gairah menyelimuti tubuh telanjang mereka. Jeritan Silvia membuat Andra semakin tegang, nyaris tidak bisa bertahan. Napas Andra terdengar penuh desakan, peluh terus membanjiri tubuhnya.
“Sil-” suara Andra tertahan tanda laki-laki itu akan mencapai klimaksnya.
Silvia mengerti mesti bagaimana, dia meluncurkan tangannya di sekujur tubuh Andra untuk menyentuh seluruh tubuh suaminya, wajah Silvia terlihat tenang dalam kehangatan gairah. Rambut tebal dan ikal Andra sudah berantakan akibat ulah Silvia. Malam ini tubuh telanjang Andra adalah tempat terbaik bagi Silvia.
Benih Andra terpancar keluar dari tubuhnya, menemukan tempat berlabuh di dalam tubuh Silvia. Pinggul Andra terus bergerak bersentuhan dengan pinggul Silvia, keringat dan cairan kenikmatan Silvia berpadu dalam sebuah puncak kenikmatan. Suara petir menyambar dari atap kamar, dan Andra menghujam untuk yang terakhir kalinya kemudian membenamkan dirinya di tubuh Silvia. Menatap Silvia dengan tatapan sayu dan berkilat penuh kepuasan.
“Coba bilang, aku cinta kamu,” ucap Silvia, sambil menciumi bibir Andra yang telah tumbang di sampingnya.
Andra tersenyum, kini senyum itu lemah, ujung jemari panjangnya menyapu bagian bawah rahang Silvia. “Aku cinta kamu,” ujarnya dengan suara lemah.
Bagi Silvia, Andra mampu membuat kata-kata itu tetap terdengar paling indah dan manis saat keluar dari mulut suaminya, meski dalam keadaan kobaran gairah telah usai sekalipun.
“Maaf ya, bikin kamu mandi lagi.” Andra melingkarkan handuk yang tergeletak di lantai tadi menutupi tubuh Silvia. Kecupan singkat Andra sapukan di sudut bibir Silvia, sebagai coda* malam hangat dan penuh gairah pertama mereka setelah kembali ke Jakarta.
Silvia tersipu karena tatapan Andra yang menyapu seluruh tubuhnya, lalu mengambil langkah cepat menuju kamar mandi untuk membasuh dirinya.
~~~
^vee^
Coda: bagian akhir lagu