9. Lighting

1768 Kata
Tiga hari setelah Romi memaki Silvia siang itu. Menjelang petang Silvia pulang ke rumah dengan raut wajah kelelahan. Setelah mengucap salam, Silvia langsung masuk kamar begitu saja, tak memedulikan keberadaan Andra yang sedang duduk di sofa depan televisi. Andra sudah dua hari ini di Jakarta. Dia baru ke Jakarta lagi sejak pulang ke Jember dua bulan yang lalu. Untuk sementara mereka sepakat menjalani long distance marriage, lagi. Entah sampai kapan, hanya Tuhan yang tahu. Dalam sebulan Andra akan menyempatkan diri menghampiri Silvia ke Jakarta, dan tinggal untuk beberapa hari menemani sang istri. Begitu sebaliknya. “Kok nggak denger suara motor, pulang sama siapa kamu?” tanya Andra saat Silvia melewatinya begitu saja. “Ngegrab,” jawab Silvia malas. “Hardi ke mana?” “Pulang duluan. Aku masih ada kerjaan tadi.” “Aku belum makan, Sil.” Andra menatap malas karena rengekannya hanya dibalas dengan senyum mengejek ala Silvia. Setelah mengganti pakaian kerjanya dengan kaus oblong dan celana pendek, Silvia mulai sibuk di dapur, menyiapkan makan malam untuknya juga Andra. Keesokan paginya saat terbangun, hendak beranjak dari ranjang, tiba-tiba kepala Silvia dilanda pusing hebat. Silvia duduk kembali di pinggiran ranjang untuk mengumpulkan tenaga di kedua kakinya. Menahan sakit kepala dan nyeri di perutnya, Silvia berusaha meraih tas ranselnya untuk mencari obat penahan nyeri. Tangan Silvia kesulitan menjangkau tas ransel yang ada di atas kursi, hingga tubuhnya jatuh dan kepalanya membentur kaki kursi. Mendengar suara gaduh dari kamar, Andra menghentikan kegiatan membuat kopi paginya, bergegas menuju kamar setelah mematikan mesin pembuat kopi. Pandangan Andra langsung tertuju pada Silvia yang tergeletak di lantai. Andra segera memindahkan Silvia ke atas ranjang. Selama beberapa menit Andra berusaha menyadarkan Silvia. Andra bisa bernapas lega setelah akhirnya melihat istrinya itu sedang berusaha membuka kelopak matanya. Ketika kedua mata Silvia telah terbuka sepenuhnya, Andra menyodorkan gelas berisi air putih yang ia bawa dari dapur. “Udah enakan?” tanya Andra khawatir. Silvia mengangguk lemah, meminta pada Andra untuk mengambil obat penahan nyeri perutnya. “Ke dokter ya?” Kali ini Silvia menggeleng kuat, dia meminta Andra untuk mengambilkan obat penahan nyeri datang bulannya. “Lagi mens?” “Kayaknya.” Silvia mengangguk lemah menjawab pertanyaan Andra. Tangan kokoh Andra menahan Silvia yang hendak beranjak dari ranjang. “Mau ke mana?” “Pakai pembalut.” Berdiri lebih dulu Andra mengulurkan tangannya untuk membantu Silvia berdiri. Andra memapah tubuh Silvia dengan hati-hati menuju kamar mandi, karena Silvia menolak ketika Andra menawarkan untuk menggendongnya. Andra memaksa Silvia sarapan meski hanya roti isi selai sebelum mengizinkan Silvia meminum obat anti nyerinya. Menuruti permintaan Andra, akhirnya Silvia menghabiskan dua potong roti dan segelas s**u uht. “Kamu semalam mimpi buruk kayaknya, Sil.” “Oya? Aku ngigau?” “Nggak ngigau lagi, tapi teriak-teriak terus nangis. Mimpi apa emangnya?” “Nggak tahu aku lupa.” Silvia beranjak dari kursi makan, Andra dengan sigap membantu ketika tiba-tiba Silvia sempoyongan dan hampir terjatuh. “Nggak apa-apa, Dra. Aku bisa sendiri kok.” Andra hanya bisa menghela napas panjang dengan sikap Silvia yang beberapa kali menolak bantuannya. “Udah lama kamu nggak mengalami ngeri haid kayak gini. Kata dokter, pemicu utama sakit kamu karena tingkat stres yang tinggi. Waktu stres-stresnya nyelesain tugas sama tesis, kayaknya nggak pernah ngeluh sakit datang bulan deh, Sil.” “Mungkin kecapekan, Dra. Pekerjaan sebagai produser bikin aku capek badan juga pikiran.” “Kalau capek cuti dulu aja. Atau ada masalah lain yang bikin kamu stres dan tertekan?” Lagi-lagi Silvia menggeleng lemah, dan meminta Andra untuk membiarkannya tidur sebentar. Melihat kondisi Silvia yang tidak kunjung membaik, membuat Andra resah tapi tidak tahu mesti berbuat apa. Setiap kali Andra menawarkan sesuatu pada Silvia, istrinya itu menolak dan berdalih tidak membutuhkan apa-apa. Padahal setiap kali Andra masuk kamar untuk mengecek kondisi Silvia, dia memergoki istrinya itu sedang merintih kesakitan. Bila Silvia sadar Andra berada di dekatnya, maka Silvia akan berpura-pura dirinya baik-baik saja dan sedang tertidur. Menghubungi kakak perempuannya dan meminta agar segera datang untuk melihat kondisi Silvia adalah alternatif terakhir yang Andra pilih. Selang satu jam kemudian Kiara sudah muncul di rumah Andra. “Daka gendong Ami Andra dulu ya,” tukas Kiara setelah bertemu Andra di pintu rumah. “Silvia di mana, Dek?” “Di kamar.” Andra menunjuk sebuah kamar yang pintunya terbuka setengah. Kiara terkejut melihat keadaan adik iparnya yang sedang meringkuk di balik selimut menahan rasa sakit di perutnya. Karena sibuk mencari posisi paling nyaman supaya sakitnya tidak terasa, Silvia baru menyadari kehadiran Kiara setelah kakak iparnya itu menyentuh dahi dan memanggil nama Silvia. “Mbak Kiara? Kapan datang?” “Baru aja. Kamu sakit apa?” “Nggak apa-apa, cuma nyeri haid, Mbak.” “Sering gini?” “Nggak sering juga, sih, Mbak. Kadang-kadang aja,” kilah Silvia. Kiara hanya menggeleng lalu bergegas menuju dapur. Mencari sesuatu di dalam kulkas dan merebus air. “Dek, ada botol dari bahan kaca nggak?” Kiara menghampiri Andra yang sedang menemani Daka menonton film kartun. “Di lemari kayaknya ada, Mbak. Botol bekas sirup gitu, kan? Kalau nggak ada di lemari atas, cari di lemari bawah wastafel.” Mengerti tempat yang ditunjukkan oleh Andra, Kiara bergegas mencari keberadaan botol kaca yang dibutuhkannya. Kiara menemukan sebuah botol kaca yang dibutuhkan tadi. Setelah mencuci bersih dan mengeringkan botol tersebut, Kiara merebus air yang nantinya akan dimasukkan ke dalam botol. Sambil lalu Kiara menyiapkan bahan-bahan lain untuk membuatkan Silvia jamu sederhana, yang menurut keyakinan Kiara mampu mengurangi rasa nyeri datang bulan. Beruntung bahan-bahan yang dibutuhkan ada di kulkas. Setelah semuanya siap, Kiara membawa jamu dan botol berisi air panas tadi ke kamar. “Silvia, bangun bentar ya. Minum jamu ini dulu.” Kiara mengguncang tubuh Silvia pelan. Awalnya Silvia menolak, tapi karena rayuan Kiara dan sedikit paksaan dari Andra, akhirnya Silvia menurut. “Ini botolnya taruh di tempat yang sakit. Dikekep gitu. Nanti kalau udah dingin diganti lagi airnya.” “Oh iya, makasih, Mbak.” Memastikan Silvia sudah tidur nyenyak, Kiara keluar kamar dan menghampiri Andra. “Silvia sering sakit gitu kalau datang bulan?” tanya Kiara penasaran. “Kadang-kadang, Mbak.” Andra pura-pura tidak tahu dengan kondisi Silvia. Berusaha menutupi kondisi dan penyakit Silvia dari Kiara. “Udah pernah periksa ke dokter?” “Tadi aku udah nawarin, dianya nggak mau. Ya udah,” lagi Andra menjawab seolah dia tak acuh dan tidak tahu apa-apa mengenai kondisi Silvia. “Jangan cuek-cuek gitulah sama istri kamu. Mbak itu pernah nemuin pil KB di tas Silvia. Apa kamu tahu soal itu?” Mengedikkan kedua bahunya, adalah jawaban teraman dari pertanyaan Kiara yang tidak ada habisnya. “Kalian memutuskan menunda punya anak? Atau keputusan sepihak dari Silvia?” “Aku mau lihat Silvia dulu,” ucap Andra, beranjak dari sofa yang didudukinya sejak setengah jam lalu. “Dek?” Kiara mencekal tangan Andra. Memejamkan mata, menarik napas pelan, Andra berusaha memberikan jawaban terbaik pada kakak perempuannya itu yang teramat kritis dan sensitif itu. “Silvia cuma minum satu pil, setelah itu nggak pernah diminum lagi.” “Di atas meja di kamar kalian obat apa?” “Cuma obat anti nyeri dari dokter, Mbak.” “Dari dokter?” Andra diam, dia benar-benar tidak tahu lagi mesti menjawab apa. Saat ini posisinya benar-benar tersudut oleh pertanyaan intimidasi dari Kiara. “Katanya tadi masih mau bujuk Silvia ke dokter? Kenapa udah ada obat dari dokter?” “Itu cuma obat generik biasa. Dosisnya juga rendah,” jawab Andra, pura-pura santai. “Jangan bohong, Dek! Obat dengan lambang lingkaran warna merah dan huruf K di tengahnya, itu tergolong obat keras dan harus pakai resep dokter.” Andra tidak menghiraukan ucapan panjang dari Kiara. Melesat secepat yang Andra mampu menuju kamar adalah jalan terbaik untuk menghindari perdebatan lebih jauh lagi dengan kakaknya. ♡♡♡ Setelah Kiara pulang, Silvia terbangun. Rasa sakitnya berangsur hilang. Botol yang tadinya panas, kini berubah menjadi dingin. Rupanya Silvia tertidur cukup lama. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul empat sore. Artinya Silvia sudah tidur sekitar lima jam lamanya. Pandangannya menyapu seluruh kamar, netranya tidak menemukan keberadaan Andra di dalam kamar ini. Melangkah dengan hati-hati agar tidak jatuh, Silvia sampai juga di pintu kamar. Rumah juga dalam keadaan sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Andra. Beberapa kali dia menyerukan nama Andra, tapi suaminya itu tidak muncul di hadapannya. Baru setelah menunggu lima belas menit di depan televisi, Andra muncul dari pintu ruang tamu. “Dari mana, Dra?” “Beli rokok. Kamu mau makan? Tadi dibikinin bubur sama Mbak Kiky.” “Lain kali kamu nggak perlu ngelibatin Mbak Kiara lagi untuk ngurus aku. Aku bisa sendiri kok.” “Bisa sendiri? Bangun aja kamu nggak bisa, Sil. Lagian Mbak Kiky itu kakakku, satu-satunya orang yang bisa aku percaya untuk ngurus kamu. Dan yang nggak akan pernah keberatan aku mintain tolong kapan aja aku butuh.” “Tapi kan nggak enak sama Mbak Kiara. Aku nggak mau ngerepotin siapapun untuk ngurus aku. Nanti Mbak Kiara cerita sama Mama dan Bang Dastan, abis itu nyampe ke telinga Bang Vino. Haaah...” nada bicara Silvia naik hingga beberapa oktaf karena kesal dan terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Andra tidak terpancing luapan emosi Silvia. Laki-laki itu sudah tahu ritme emosi istrinya ketika sedang datang periode datang bulannya. Prinsip sederhana seorang Andra, jangan ikut naik pitam bila menghadapi emosi Silvia di saat perempuan itu berada dalam periode datang bulannya. “Aku sudah ngingetin Mbak Kiki supaya silent soal kondisi kamu. Dia mau janji, asal kita ngasih tahu kondisi kamu yang sebenarnya. Mbak Kiki kasih waktu kita dua hari dari sekarang untuk bicara jujur,” ujar Andra dengan nada bicara tenang, tanpa emosi.  Silvia membelalakkan kedua mata bulatnya. Napasnya terlihat naik turun menahan rasa kesal. Tuhan, kekacauan apa lagi ini? Pekik batin Silvia. “Nanti biar aku aja yang jelasin sama Mbak Kiki. Kamu dampingi aku aja. Oke!” “Terserah kamu sajalah, Dra,” ujar Silvia ketus. “Makan ya, perut kamu belum masuk apa-apa selain roti tadi pagi.” “Iya. Kamu udah makan?” “Udah.” Silvia menuju dapur untuk menghangatkan bubur yang telah dimasakkan oleh Kiara sebelum meninggalkan rumah. “Ini Mbak Kiara semua yang masak?” tanya Silvia melihat beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja makan. “Aku sama Daka tadi gotong royong masakin buat kamu.” Silvia mencibir, tidak percaya dengan ucapan Andra. “Besok ke dokter ya. Udah setahun ini.” “Iya.” Silvia duduk di sofa depan televisi, menikmati bubur yang telah dihangatkan. Andra mengambil kesempatan merebahkan kepalanya di atas paha Silvia. Menikmati tayangan televisi dengan pikiran masing-masing, hingga bubur di mangkuk yang berada di tangan Silvia tandas. “Disamperin jauh-jauh dari Jember malah kedatangan tamu dari bulan kamunya.” Tiba-tiba suara Andra memecah keheningan yang terjadi sesaat lalu. “Hah?” Silvia bingung. “Tamu nggak sopan itu namanya. Nggak diundang malah datang.” Andra masih bertahan dalam gerutunya. Mengerti maksud gerutu Andra, tawa Silvia pecah begitu saja. Apalagi melihat ekspresi malas di wajah suaminya itu. Kedua tangan Silvia mengusap rambut dan dagu Andra, lalu berkata lembut, “itu tandanya kamu harus tinggal lebih lama lagi di sini.” “Nggak usah disuruh kalau soal itu.” Silvia kembali tertawa di atas penderitaan Andra. Gemas dengan tawa meledek dari istrinya, Andra menarik leher Silvia lalu membenamkan wajah Silvia di atas wajahnya. Silvia tidak bisa protes apa-apa lagi saat bibir Andra mengunci bibirnya. Silvia hanya mengikuti saja alur yang diinginkan oleh bibir dan lidah Andra dalam menyampaikan salam rindunya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN