6. Monopod

2561 Kata
Meski Silvia mengambil gelar master by coursework with minor thesis (with honours), tapi tugasnya bikin 'ngeri' kata Andra. Bagaimana tidak, waktu itu saat melihat Silvia mengurung diri di kamar selama dua hari dua malam. Andra mengira Silvia sedang sakit atau dalam mode marah pada Andra. Namun ternyata Silvia sedang mendekam di dalam kamar hanya untuk menyelesaikan satu tugas sebuah mata kuliah. Sejak itu setiap kali ada assignment sepertinya bukan cuma Silvia yang pusing memikirkannya, tapi Andra juga ikutan mikir--mikir gimana biar istrinya nggak banyak mikir. Assignment-nya tuh banyak, misal subject A ada assignment 500 kata. Subject B, ada assignment juga 1500 kata. Seperti gitu aja hidupnya, dari 500-3000 kata. Sampai tugas akhir, 6000 kata! Dilan dalam film Dilan 1990 bilang rindu itu berat. Tahu apa Dilan perkara rindu? Merindukan kehidupan normal istri tanpa memikirkan soal assignment yang bikin mampus itu jauh lebih berat, Dilan. Kalau dibilang jalan hidup Andra dan Silvia selama di Melbourne mulus-mulus saja, tidak juga ya. Tetap saja problematika rumah tangga itu pasti muncul, walau mau tinggal di the most livable (and lovable) city in the world sekalipun. Memang sudah tujuh kali Melbourne dinobatkan sebagai kota paling nyaman sedunia oleh survei Economist Intelligence Unit (EIU). penghargaan itu diberikan atas dasar penilaian terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan, stabilitas, budaya, lingkungan hidup, dan infrastruktur. Melbourne merupakan salah satu kota di Australia terbaik kelima di dunia menurut QS. Top Universities sebagai pilihan kota yang banyak diminati oleh pelajar di penjuru dunia. Tujuh universitas di Melbourne masuk dalam QS World University Rankings 2016-2017, peringkat tertinggi di University of Melbourne dengan bertengger di peringkat 42 dunia kedua setelah Universitas Nasional Australia di papan peringkat Australia. Melbourne merupakan kota yang aman, cerdas, dan tempat yang mudah untuk mencari pergaulan. Kota ini selalu mendapat gelar sebagai kota yang paling layak ditinggali di dunia. Kualitas hidup sudah pasti meningkat tajam, tapi begitulah masih saja ada hal-hal yang bikin mereka ribut juga. Gara-gara apa memangnya? Masih berkutat pada frekuensi pertemuan. Loh kok? Bukannya sekarang malah enak sudah tinggal satu kota, satu atap, setiap saat ketemu seperti pasangan suami istri normal lainnya. Namun case yang terjadi pada Andra dan Silvia ternyata mereka belum bisa satu frame lama-lama kalau bukan saat-saat hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja. Waktu yang terlalu banyak dihabiskan bersama ternyata malah tidak terlalu ideal juga. Ada saja hal-hal kecil yang mereka ributkan. Andra lebih cocok dengan ritme Silvia kuliah atau Andra-nya kerja, nanti ketemu hanya saat malam. Begitu baru cucok meong. Semacam itu lah, makanya Andra akhirnya mencari pekerjaan paruh waktu di sana. Dengan dia bekerja juga di sana baru terasa pas. Selain dapat duit, pembagian waktu antara jadi diri sendiri, menjalani peran suami ataupun istri tuh rasanya 'pas'. Intinya Andra dan Silvia bukan tipe pasangan yang bisa LDM lama-lama sama pasangan, tapi keseringan ketemu juga jadi toxic. Kalau kata Vety Vera, yang sedang-sedang saja. Dibantu oleh Silvia, akhirnya Andra memperoleh pekerjaan paruh waktu sebagai pramusaji di kedai kopi yang sering didatangi oleh Silvia. Tak perlu diragukan lagi, Andra sudah mampu beradaptasi dengan pekerjaan dan rutinitasnya di hari ketiga dia bekerja. Setiap pagi, Andra dan Silvia keluar flat bareng, naik trem atau bus bareng untuk berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Andra bekerja hanya tujuh jam dalam sehari. Dengan bayaran 25 dolar Australia per jam nya. Yanu menawarkan Andra untuk bekerja hingga 10 jam dengan bayaran 35 dolar per jamnya, juga tambahan 30 persen jika mengambil shift di hari Sabtu dan Minggu. Namun Andra belum ingin bekerja sekeras itu. Andra bekerja hanya untuk mengisi waktu luangnya saja. Dari kedai kopi milik Yanu, Andra belajar banyak hal lagi tentang kopi dan belajar lagi cara mengolah kopi standar internasional yang benar. Saran dari Yanu untuk membuka kedai kopi seperti miliknya bila kembali ke Jakarta nanti sudah dipertimbangkan oleh Andra. “Silvia itu sering datang ke sini ya?” iseng Andra bertanya pada Yanu saat kedai kopi dalam kondisi sepi. “Dibilang sering tidak juga. Tapi sekali dalam sepekan dia pasti ke sini.” Manggut-manggut Andra menerima jawaban Yanu. “Biasanya kalau ke sini sendiri atau sama temannya?” jawaban Yanu belum memuaskan rasa ingin tahu Andra. Wajah Yanu terlihat ragu dan mengingat keras untuk memberi jawaban yang tepat pada Andra. “Seingatku selalu sendiri. Maaf, aku kira Silvia single, jadi diam-diam aku suka memerhatikan dia di jarak tertentu. Tapi kamu jangan khawatir, Silvia tidak pernah ke sini dengan laki-laki dan aku tidak pernah melebihi batas dalam memerhatikan Silvia.” Yanu menarik napas pelan sebelum melanjutkan ceritanya. “Ada satu hal yang aneh dari diri Silvia, karena hal itu juga yang membuat aku penasaran dan ingin tahu lebih jauh tentang Silvia waktu itu,” ujarnya. Jelas Andra semakin khawatir kalau ternyata Silvia setiap kali ke kedai kopi ini sendiri. Padahal Silvia selalu bilang pada Andra kalau istrinya itu ketemuan dengan Gista di kedai kopi ini. Andra lalu meminta Yanu untuk melanjutkan ceritanya. “Silvia selalu memesan dua cup jumbo moccacino hangat, duduk di kursi itu, dan nanti pulangnya dia membawa cup yang masih tersisa lalu meninggalkan cup yang tidak tersentuh sama sekali di atas meja. Setiap kali aku tegur untuk membeli satu cup saja bila tidak sanggup menghabiskan dua cup, Silvia selalu mengabaikan ucapanku. Bila aku mengingatkan untuk membawa cup yang dia tinggalkan, responnya juga sama, mengabaikan ucapanku.” Andra lalu melihat ponselnya. Membuka galeri foto, mencari foto-foto yang pernah dikirimkan oleh Silvia saat berada di tempat ini. Ternyata apa yang disampaikan oleh Yanu semuanya benar. Soal dua cup jumbo moccachino, meja yang sama, dan satu cup yang tidak tersentuh sama sekali. Selama ini Andra tidak memerhatikan soal kebetulan yang sama itu dalam foto-foto yang kerap Silvia kirimkan padanya. “Kamu yakin Silvia nggak pernah sekalipun ke tempat ini dengan temannya?” tanya Andra tidak yakin dengan ucapan Yanu. “Yakin. Atau coba kamu tanyakan pada karyawanku yang lain. Sebentar ya.” Yanu meninggalkan Andra di meja barista. Andra kembali memerhatikan puluhan foto yang pernah dikirim oleh Silvia yang berhubungan dengan kedai kopi ini. Tidak ada yang janggal sama sekali. Satu hal yang kemudian Andra sadari, di hadapan Silvia ada kaca jendela di mana semua benda yang berada di sekitar kaca jendela--meja, kursi, laptop, bahkan tubuh Silvia sedang berpose--bayangannya terpantul dan muncul di kaca jendela. Bila ada seseorang di samping maupun di depan Silvia seharusnya bayangan orang itu memantul di kaca jendela. Mungkin saat Silvia selfie dengan ponselnya, Gista sedang ke toilet atau belum datang. Andra mencoba berpikir positif dan tidak memikirkan hal-hal aneh soal hal yang tidak sinkron di pikirannya saat ini. Yanu datang bersama pelayan kedai kopi. Lalu menanyakan hal yang sama dengan yang diajukan oleh Andra kepadanya tadi. Pelayan kedai kopi itu memastikan kalau tiap kali mampir ke kedai kopi ini Silvia selalu sendiri. “Terkadang aku melihat istri Anda seperti sedang tersenyum pada seseorang di hadapannya. Tapi aku berpikir mungkin dia sedang melakukan komunikasi dengan seseorang atau sedang melihat sesuatu hal yang lucu di laptop maupun ponselnya,” jelas pelayan kedai kopi tersebut. “Anehnya, nona itu selalu meninggalkan kopinya yang masih utuh. Kalau kami tegur, dia selalu bilang, memang sengaja saya tinggalkan. Begitu kata nona itu.” Andra tidak melanjutkan lagi mengorek banyak hal tentang istrinya. Karena Yanu juga mulai ingin tahu banyak dan menganggap kalau Andra sedang mencurigai Silvia selingkuh selama ini. ♡♡♡ Bila musim panen assignment tiba, saatnya bagi Andra untuk lebih berkompromi sama istri. Mendingan apa-apa ngalah dulu deh daripada terjadi perang badar dan Andra nggak bakal dapat jatah selama seminggu penuh, kan gawat. Apalagi saat musim dingin, makasih banget deh disuruh mandi air dingin malam-malam. Meski kadar cueknya kadang setinggi langit ketujuh, Andra masih laki-laki normal yang dikaruniai hasrat seksual lebih tinggi dibanding perempuan. Di saat seperti itulah kekompakan mereka diuji. Andra dan Silvia akhirnya membagi tugas, dari bersih flat, urusan laundry sampai belanja. Kecuali tugas memasak yang tidak bisa dibagi dua, karena Andra memang tidak bisa. Ya udah Silvia 'legowo' aja. Supaya Silvia bisa segera menyelesaikan kuliah dan kembali ke tanah air, Andra terkadang jadi sering mengalah. Porsi tugas yang seharusnya dikerjakan oleh Silvia, lebih banyak dikerjakan oleh Andra. Andra sih mikirnya simple, mikir tugas kuliah aja udah ngabisin banyak tenaga kan, masa iya mau dibebani urusan pekerjaan rumah tangga lainnya yang masih ditunda. Kalau masa-masa membahagiakan bagi Andra dan Silvia apa dong? Kayaknya kok susah melulu hidup mereka? Banyak banget, jendral. Mereka punya banyak waktu untuk dihabiskan berduaan saja. Sekadar nongkrong-nongkrong sampai bego, tanpa khawatir pulang larut malam. Keluar masuk kedai kopi yang jumlahnya seperti pedagang kaki lima di Jakarta--bedanya di Melbourne semua tertata rapi dan nyaman. Mencicipi berbagai jenis minuman olahan kopi tanpa takut kembung, membicarakan banyak hal dengan santai terutama tentang kopi, musik dan kamera. Andra suka melihat wajah serius Silvia saat membidik suatu objek foto dengan kameranya, dan Silvia tidak pernah bosan mendengar cerita dan penjelasan Andra mengenai apa pun tentang musik dan kopi. Kadang Andra suka usil juga. Kalau Silvia sudah serius di depan laptop, Andra akan datang mengganggu. Kalau kata orang Jawa 'ndusel-ndusel'. Silvia marah? Kadang marah kadang malah tertawa. Lebih seringnya tertawa. Karena Silvia itu mudah sekali digoda, dan Andra adalah ahlinya menggoda Silvia. ♡♡♡ Sore itu saat perjalanan pulang menuju flatnya, pikiran Andra kembali dipenuhi berbagai pertanyaan yang selalu ingin ia tanyakan pada Silvia, tapi tidak pernah mendapatkan waktu yang pas untuk bertanya. Andra juga harus hati-hati dalam memberikan pertanyaan itu pada Silvia. Andra tidak ingin fokus Silvia terpecah karena hal-hal tidak penting. Mengabaikan rasa ingin tahunya, Andra mengurungkan niat untuk menghubungi Dinda, menanyakan soal Gista pada sahabat Silvia yang Andra kenal. “Loh, kamu ngapain di situ, Sil?” Andra kaget karena melihat Silvia duduk seorang diri di halte bus tak jauh dari flat mereka. “Lagi nunggu kamu. Baru lima belas menit kok di sini. Tadi pas kamu bilang udah di bus aku udah turun. Jadi aku putuskan untuk menunggu. Romantis kan aku?” ujar Silvia sambil menaik turunkan alisnya. Andra hanya tertawa lalu melingkarkan tangannya ke bahu Silvia, berjalan kaki menuju flat mereka. “Dra, kaki aku pegel nih,” rengek Silvia saat di tengah perjalanan. “Besok pake converse aja, nggak usah sok jadi bule pakek boots ada haknya segala itu.” Silvia terbahak mendengar komentar Andra soal sebutan untuk sepatu trendy dan fashionable yang sedang Silvia kenakan ini. “Ini tuh fashion tauk.” “Biasanya juga pake sepatu teplek.” “Ini tuh Melbourne, Pak. Bukan Jakarta. Yakali kalau di Jakarta jalan kaki pake ankleboots gini, yang ada kaki kepanasan trus heelsnya nyangkut di gorong-gorong pas jalan di atas trotoar.” “Ya, ya, ya. Kalo sekarang pegel karena sepatu, buka aja itu bootsnya.” “Susah bukanya, Dra.” “Ya terus? Mau naik becak? Mana ada di sini?” Silvia memberengut karena Andra tidak mengerti kode minta gendong yang diluncurkan oleh istrinya. “Gendong.” “Emoh,” jawab Andra lalu melanjutkan langkah meninggalkan Silvia. Setelah empat langkah Andra sadar kalau Silvia tidak ikut berjalan bersamanya. Andra memutar badan dan menemukan Silvia tengah menatap kesal pada Andra, lengkap dengan mengatupkan kedua bibir dan tatapan tajamnya. Andra berjalan menuju tempat Silvia sedang berdiri dengan wajah tak enak dipandang. “Jangan ngeliatin aku kayak gitu. Tatapan kamu itu bisa bunuh aku secara perlahan,” kata Andra lalu membungkuk membelakangi Silvia. “Ayo cepet naik, aku udah kedinginan ini,” tukas Andra sambil menepuk punggungnya. Tak kunjung ada sesuatu yang membebani punggungnya, Andra memutar kepalanya melihat Silvia. “Nunggu apa lagi, Sil?” tanya Andra dengan geram. “Kamu itu sayang nggak, sih, sebenarnya sama aku, Dra?” “Astaga. Tanyanya nanti aja ya, kalau kita udah sampai flat dengan selamat tidak kurang satu apa pun.” Berdecak keras, Silvia menjatuhkan tubuhnya di atas punggung Andra. Apa yang dilakukan oleh Silvia ini hampir saja membuat Andra kehilangan keseimbangan dan membuat mereka jatuh tersungkur. “Astagfirullah,” pekik Andra saat mencoba untuk bangkit dari duduk jongkoknya dengan menggendong Silvia di punggungnya. “Kenapa, Dra?” “Nggak apa-apa. Kamu anak sehat, kayak slogan s**u formula,” jawab Andra asal. Silvia tergelak lalu mengeratkan kedua tangannya yang melingkar di leher Andra. Sesekali Silvia menghirup aroma sampo dari rambut tebal Andra. Sesekali juga Andra meminta agar Silvia mencium kedua pipinya, sebagai formula supaya kuat menggendong Silvia. “Udah empat bulan aku di sini kok belum dikenalkan sama teman kamu, Sil?” “Teman yang mana ya, Dra?” “Emang kamu punya teman dekat yang lain, selain Gista?” tanya Andra kesal. “Ya siapa lagi, kalau bukan Gista?” Andra berdecak karena Silvia tidak mengerti maksudnya. “Oh itu. Emm...itu, Gista, emmhh... lagi sibuk, Dra.” Andra bisa mencerna dengan baik kalau Silvia gugup saat menjawab pertanyaan Andra. Gestur tubuh tegangnya juga bisa Andra rasakan dengan jarak sedekat ini. “Sibuk apa? Dia tinggal di daerah mana? Gimana kalau weekend ini kita yang mengunjungi dia. Sekalian silaturahmi dan mengenalkan suami kamu ke teman dekat kamu. Sama teman-teman kamu yang lain di Jakarta aku dikenalin, masa cuma satu orang ini nggak kamu kenalkan.” Andra menurunkan Silvia tepat di depan pintu flat mereka. Silvia membuka pintu lalu masuk begitu saja. Mengganti pakaiannya dengan piyama lalu mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah menjadi tugasnya saat ini, tanpa menjawab pertanyaan Andra. Hari-hari berikutnya juga begitu. Silvia selalu menghindar bila Andra menyinggung soal Gista. Tak jarang juga Silvia mengabaikan Andra, bila istrinya itu merasa terdesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan menjebak bagi Silvia. Andra sendiri juga sudah mulai malas mencari tahu soal Gista. Menganggap bahwa dia tidak pernah mendengar nama itu sebagai teman dekat Silvia. ♡♡♡ Hingga hari yang ditunggu-tunggu itu datang, Silvia berhasil menyelesaikan kuliahnya setelah melalui suka duka menimba ilmu di negeri kanguru. Silvia pusing kuliah, Andra pusing mikirin orang pusing kuliah. Namun dari pusing-pusing itu tercipta banyak tangis kebahagiaan selama Andra tinggal di Melbourne enam bulan ini. “Selamat Via, you deserve it! I’m very proud of you.” Suara bass seorang laki-laki mengejutkan Silvia yang sedang berfoto dengan Andra di koridor kampus. “Mas Revan? Kapan yang datang?” Silvia dapat kabar memang akan datang perwakilan dari perusahaan untuk menghadiri cara wisuda Silvia hari ini. Namun Silvia tidak menyangka jika yang hadir adalah Revan. Silvia kira atasannya langsung, kalau bukan Romi ya Eren. Revan memberi selamat pada Silvia, sekaligus menyalami Andra. “Aku sampai tadi malam. Apa kabar, Dra?” “Baik, Mas,” jawab Andra sopan. “Maaf ya, Via. Aku terlambat. Kepalaku pusing hebat. Biasanya nggak pernah gini. Semalam padahal nggak apa-apa, tiba-tiba tadi pagi jetlag.” “Nggak apa-apa. Foto dulu yuk.” Andra mengambil alih kamera Silvia lalu beberapa kali mengambil gambar Revan dan Silvia. “Sil, nggak foto sama teman-teman kamu?” “Oh, iya. Ayo, Dra. Teman-temanku kayaknya ngumpul di halaman depan deh.” Andra dan Revan mengikuti langkah tergesa Silvia. “Jangan buru-buru, Sil, nanti kamu kesan-” Tangan panjang Andra berhasil meraih tubuh Silvia yang hampir terjengkang. “Kamu nggak apa-apa? Jalan sampe nggak bener gitu, grogi kamu?” tegur Andra sambil merapikan baju toga yang dikenakan Silvia. “Grogi apa? Buru-buru aja, sih. Takut pada bubar, kan belum tentu bakal ketemu lagi sama mereka, Dra.” “Iya, tapi tetap hati-hati dong jalannya. Oiya, Gista datang nggak ke wisuda kamu?” Senyum yang tadinya mengembang di wajah Revan saat melihat interaksi pasangan suami istri ini tiba-tiba memudar, saat Andra menanyakan soal Gista. “Kamu tahu soal Gista?” tanya Revan lirih setelah Silvia bergabung dengan kerumunan teman-teman kuliahnya yang sedang seru-seruan berfoto di depan gedung kampus mereka. “Kenapa, Mas? Ada yang salah?” “Apa tadi Gista yang kamu tanyakan itu Gista Ayuning Permana? Anak anggota dewan yang selalu lantang menegakkan gerakan anti korupsi?” Andra mengangkat kedua bahunya lalu menggeleng. “Aku nggak tahu mas. Coba aja tanya sama Silvia,” kata Andra ragu. Revan hanya tersenyum lalu menepuk bahu Andra. “Ya sudah. Ayo aku fotoin kamu dengan Silvia di depan gedung itu,” kata Revan mengalihkan pembicaraan berat soal Gista. Silvia meraih sebuah monopod yang tersimpan di ranselnya, lalu meletakkan kamera di atas monopod tersebut. Setelah timer diatur, Silvia mengajak Andra dan Revan untuk berpose di depan gedung. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN