5. Angle of View

2295 Kata
Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi pasangan pengantin baru saat hidup terpisah. Long distance marriage itu menyesakkan, teman. Andra bukannya mengingkari janji untuk menemani Silvia di Melbourne hingga lulus kuliah pascasarjana-nya, tapi ada banyak hal yang harus Andra kerjakan di Jember berkaitan dengan usaha showroom dan menyelesaikan masalah gudangnya yang terbakar. Melalui hari-hari tanpa Andra adalah hal paling menyedihkan yang pernah dilalui oleh Silvia. Dia pikir dulu menikah adalah hal paling sempurna yang pernah terjadi dalam hidupnya. Nyatanya benar kata pepatah kesempurnaan itu semata hanyalah milik Tuhan, dan Silvia hanya manusia biasa. Silvia kembali melalui rutinitas membosankan di Melbourne. Membidik angle of view setiap sudut yang tersaji di negeri kanguru ini di waktu senggang dengan DSLR kesayangannya. Meski banyak tempat terbaik di Melbourne yang telah ia datangi, lagi-lagi tujuan perjalanan Silvia berakhir menikmati atmosfer tepi sungai yang kental dari Southbank, lalu mengunjungi Federation Square, tempat bertemunya budaya kreatif dan kafe. Banyak sekali kedai kopi di tempat ini, tapi langkah Silvia berhenti pada sebuah kedai kopi yang sudah beberapa bulan terakhir tidak ia kunjungi. “Nona Silvia? Apa kabar?” Seorang pria seumuran Alvino hendak menghambur untuk memeluknya, tapi langkah panjang pria blasteran itu terhenti saat Silvia membungkukkan badannya dengan santun. “Kabarku baik-baik saja Yanu, kamu gimana? Tumben ada di sini? I remember, you don't like this city.” Pria bernama Yanu itu tertawa renyah. Sebuah garis melengkung terbentuk manis di sekitar bibirnya setelah tawa itu berhenti. “Kau masih mengingat ucapanku?” katanya seraya menyodorkan dua cup ukuran jumbo moccacino panas pesanan Silvia dari seorang pelayan kedai kopi. “Thankyou. Ingatanku masih sangat bagus meski usiaku sudah menjelang tiga puluh. Aku duduk dulu ya.” “Need friend?” “No, thanks.” Yanu lalu menggerakkan tangan kanannya untuk mempersilakan Silvia mengambil posisi duduk yang diinginkannya. Sebuah meja khusus dua orang yang letaknya di sudut ruangan kedai kopi. Spot favorit Silvia bila berkunjung ke tempat ini. Yanu memerhatikan Silvia dari posisinya yang kini telah berada di meja kasir, berjarak sekitar delapan meter dari tempat Silvia sudah duduk menghadap kaca memunggungi meja kasir. Suara wanita paruh baya hendak melakukan transaksi p********n membuyarkan aktivitas Yanu memerhatikan Silvia. Hampir saja Silvia menangis di kedai kopi yang agak ramai di sore hari ini, saat melihat layar laptop yang menampilkan surel dari kantor Jakarta. Menyatakan bahwa salah satu program acara Silvia sementara dihentikan akibat sempat terjadi keributan tak berujung damai dengan seorang bintang tamu yang sedang memiliki skandal dengan seorang pejabat. Bisa dibilang ini tuntutan hukum dari bintang tamu itu. Saat acara sedang berlangsung, kreatif yang menangani acara tersebut terlibat pertengkaran dengan seorang bintang tamu, karena memaksa seorang bintang tamu untuk menjawab pertanyaan host mengenai kehidupan pribadi bintang tamu. Parahnya lagi, tanpa seizin pihak bintang tamu, kreatif dengan sengaja memperlihatkan bukti-bukti bahwa gosip panas yang beredar di masyarakat soal skandal bintang tamu tersebut bukanlah isapan jempol semata. Di satu sisi, pihak kreatif bersikukuh telah menjelaskan dengan detail isi perjanjian kontraknya sebelum syuting live tersebut dimulai. Bahwa pihak bintang tamu bersedia menjawab apa pun pertanyaan host, bahkan menyangkut soal skandalnya sekalipun. Bintang tamu juga sudah melihat tentang bukti-bukti yang dimiliki pihak kreatif TvM soal skandal itu, dan bintang tamu setuju untuk memperlihatkan bukti tersebut pada publik saat acara berlangsung. Nyatanya, mungkin mental bintang tamu tersebut belum kuat dalam menghadapi kenyataan yang ada. Keributan terjadi saat acara sedang berlangsung live. Dan acara terpaksa dihentikan sebelum waktunya selesai. Menghindari tuntutan hukum lebih parah dari pihak bintang tamu, manajemen TvM sepakat menutup program yang telah memenangkan penghargaan paling bergengsi di tanah air itu untuk sementara, sampai Silvia bergabung kembali dengan tim kreatif acara tersebut. Menghela napas panjang, Silvia menyeruput minuman kopinya yang telah menghangat. “Sabar ya, Via. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Suara lembut seorang perempuan berhasil mengurungkan niat Silvia untuk menangis. Senyum terbit di wajah Silvia melihat kehadiran seseorang di hadapannya. “Thanks, Gista.” “Mungkin pulang dari Melbourne nanti, kamu bisa menemukan ide baru untuk acara penggantimu yang sudah dihentikan itu. Maka dari itu segera selesaikan kuliahmu, supaya bisa cepat berkumpul lagi dengan suamimu juga.” “Iya. By the way aku kena endometriosis, Gis. Entah kenapa aku pesimis bisa sembuh, dan lebih nggak yakin lagi bisa kasih keturunan untuk suamiku.” “Sabar, kamu hanya perlu sedikit bekerja keras dan lebih fokus. Kalau kamu fokus, pasti akan mendapatkan dengan mudah apa yang kamu inginkan. Percaya sama aku.” Senyum lega terbit di wajah Silvia, memandang kaca jendela di hadapannya. “Kangen kamu, Dra,” lirih batin Silvia. Dari meja kasir Yanu menatap heran pada Silvia. Pria itu terus memerhatikan gestur tubuh Silvia. Dia bisa melihat bayangan wajah Silvia yang terpantul dari kaca jendela. Silvia sedang tersenyum melengkung dengan tangan kiri terulur melewati laptopnya seolah sedang menggenggam sesuatu dengan tangan tersebut. Tak lama kemudian Silvia beranjak dari kursinya, membereskan semua barang-barang yang ada di atas meja ke dalam tas selempangnya. “Yanu, aku pulang dulu ya,” pamit Silvia pada Yanu saat melintas di depan meja kasir. “Hey, wait! Moccacinomu yang satu lagi aku lihat tidak tersentuh sama sekali. Kenapa kau tinggalkan? Kenapa tidak dibawa pulang sekalian?” Silvia mengangkat cup besar moccacino di tangannya. “Yang ini aja belum habis, Yanu.” “Kalau satu saja tidak habis, kenapa beli dua?” Tersenyum tipis lalu melambaikan tangan pada Yanu, adalah sebagai bentuk jawaban yang bisa ditangkap oleh Yanu bahwa Silvia enggan menjawab pertanyaan lagi dari laki-laki itu. ♡♡♡ Sesampainya di flatnya, Silvia melihat ponsel ada beberapa permintaan video call dari Andra. Silvia mengempaskan tubuhnya ke ranjang lalu menghubungi Andra kembali. “Hei, dari mana aja?” sapa Andra saat melihat wajah Silvia muncul di layar ponselnya. “Baru datang dari kampus. Trus ketemuan sama Gista. Kamu lagi apa?” “Lagi mampir di tempatnya Riki.” “Dari mana? Showroomnya kok ditinggal?” “Nggak dari mana-mana. Showroom masih sepi. Oya, Gista itu nggak datang ya ke pernikahan kita?” “Enggak, Dra. Dia lagi ada urusan yang nggak bisa ditinggal waktu itu.” “Oh, gitu. Nanti kalau aku ke Melbourne, kamu mau ya kenalin aku sama teman kamu itu.” “Siapa? Gista?” Andra mengangguk cepat. “Iya lihat entar deh. Udah dulu ya, Dra. Aku mau istirahat.” “Kamu kenapa?” “Nggak apa-apa. Cuma capek aja.” “Oh, ya udah. Kamu istirahat aja kalau gitu.” Silvia mengakhiri sambungan video call-nya. Andra menyesap Americano-nya yang tinggal separuh cangkir. Pikirannya menerawang membayangkan apa yang sedang dialami Silvia sampai membuat Silvia seperti enggan mengobrol lebih lama dengan suaminya. “Muka kamu butek kayak kopi encer, mo. Apa pria ini mulai tidak sanggup menanggung rindu paduka raja?” Menghadap pada temannya yang lain, Riki menepuk bahu Andra beberapa kali. Fery terbahak mendengar ucapan temannya yang berniat menghibur Andra. “Jangkrik! Minggiro kamu! Kopiku tambah pahit gara-gara bahasamu.” Andra membuang serpihan rokoknya ke baju Riki dengan kesal. “Cuk!” umpat Riki kesal sambil membersihkan serpihan bakaran rokok Andra dari bajunya. “Sini aku tambah gula. Apa ditambah madu hidup sekalian biar makin manis kayak Mika Tambayong,” kelakar Riki masih tidak kapok dengan balasan Andra tadi. “Cuk, lambenya Mas Riki ya!” Hardik Feri sambil menahan tawa. Tidak menggubris lagi canda tawa kedua temannya yang sedang berusaha menghibur, Andra memilih bermain drum melalui aplikasi drum di smartphonenya yang telah tersambung ke speaker aktif, sehingga permainan drum melalui ponsel Andra bisa terdengar oleh ke penjuru cafe. “Pulang sana, Dra. Baby oilnya masih ada kan? Kalau nggak ada pake sabun juga bisa kok,” Riki kembali mengeluarkan celetukan usil, saat Andra telah menyelesaikan permainan drum di ponselnya. “Taelah! Emangnya kamu? Mandiri seumur hidup.” Andra menendang kaki kursi yang diduduki oleh Riki. Membuat Riki pura-pura terjatuh ke bahu Feri. “Mas Andra menyakiti hamba paduka raja.” “Jangan dekat-dekat singa jantan yang kesepian. Diembat juga kamu nanti kalau hari kawinnya datang,” jawab Feri asal lalu kabur dari hadapan Andra. “Saya mau pulang. Mendung dan gerimis syahdu gini jadi kangen istri. Andai Melbourne sedekat Tanggul ya, Dra?” Andra sudah siap menendang s**********n Feri, tapi pria bertubuh kekar itu dengan sigap menghindar dari kaki panjang Andra. Feri bergegas pergi sebelum Andra benar-benar menendang benda berharga miliknya. Saat Andra menoleh ke sisi kanannya, Riki mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. “Aku mau balik ke showroom dulu, Rik.” Andra memasukkan ponsel dan kotak rokok ke saku jaketnya. “Masih hujan, Dra. Kamu naik motor kan?” “Cuma gerimis.” “Kamu nggak pengen ke Melbourne, Dra?” Pertanyaan Riki mengurungkan niat Andra angkat b****g dari tempat duduknya “Jelas pengen. Mungkin tiga atau empat hari lagi aku berangkat. Sengaja nggak ngabarin Silvia.” “Gerak cepat ya sekarang.” Andra mengangguk lalu tertawa dengan jawaban Riki. “Berangkat dari mana? Lama di sana?” “Dari Denpasar. Aku mau ke tempat sepupuku dulu. Nginep semalam trus ke Melbourne. Kemungkinan di sana sampai Silvia lulus. Tapi belum tahu lagi.” “Showroom kamu gimana? Sorry, aku nggak bisa bantu. Aku harus fokus cabang baru.” “Nggak apa-apa, Rik, santai aja. Ada sepupu aku dari Surabaya nanti yang mengurus semua usahaku. Dia tinggal di Jember udah semingguan ini. Mungkin bakal menetap di Jember. Udah aku ajarin banyak hal tentang showroom dan kebun sengon juga.” Riki mengangguk paham. Hujan yang tadinya gerimis sekarang menjadi deras disertai angin kencang. Andra mengeluarkan kembali ponsel serta rokok dari kantong jaket bombernya. Membakar sebatang rokok, sambil menunggu hujan sedikit reda. “Kopi lagi, Dra?” Andra menggeleng, menolak tawaran Riki. Keduanya lalu mengobrol membicarakan cafe baru Riki yang dibuka beberapa minggu lalu. ♡♡♡ Tiga hari kemudian, Andra sudah siap di Ngurai Rai diantar oleh adik sepupunya yang tinggal di Denpasar. “Nginep kok cuma semalam, mas.” “Maunya berapa malam, Hilda?” “Seminggu gitulah. Anak-anakku kan masih pengen main sama aminya. Nanti aku kena marah abis-abisan nih sama anak-anak, asli. Kamu sih pergi diam-diam.” Adik sepupu Andra yang bernama Hilda itu memiliki empat orang anak yang keempatnya cukup dekat dengan Andra meski jarang bertemu. “Kapan-kapan ya. Nanti aku ajak Silvia juga.” “Sama Mbak Kiki juga dong, Mas.” “Iya, Insya Allah. Eh, waktunya boarding. Makasih ya Hilda, udah dianter. Salam sama suami kamu.” Setelah bercipika cipiki dengan sepupunya itu, Andra bergegas mengikuti para penumpang lain untuk melakukan check in. ♡♡♡ Di Melbourne Tullamarine Airport, Andra masih enggan memberi kabar pada Silvia bahwa saat dirinya sudah ada di Melbourne. Andra hanya mengirimi Silvia chat menanyakan keberadaan istrinya itu. Dari bandara, Andra langsung menuju Melbourne Polytechnic, kampus Silvia. Ternyata setelah sampai di kampus, Silvia mengabari kalau sekarang berada di sekitar pusat budaya Federation Squere. Menghemat waktu, Andra menggunakan jasa taksi untuk mengantarkannya ke tempat Silvia. Seperti biasa, Silvia menghabiskan waktunya di kedai kopi yang biasa ia datangi di waktu senggang selepas kuliah. Pesanannya selalu sama dan tempat duduk yang dipilihnya juga sama. Sekitar setengah jam Silvia duduk menghabiskan waktu di tempat ini. Sepertinya moodnya sedang tidak baik menjelang PMS ditambah lagi tugas yang diberikan oleh dosennya tidak tanggung-tanggung banyaknya. “Chatting sama siapa?” suara seorang perempuan mengalihkan pandangan Silvia dari layar ponselnya. “Sama suamiku. Tanya-tanya transportasi mulu nih dari tadi.” “Transportasi di mana?” “Di Melbourne. Nggak biasanya dia nanya aku lagi di mana sampai detail gini? Trus tanya sampai berapa lama di tempat aku berada sekarang.” “Jangan-jangan suami kamu di Melbourne.” Silvia tertawa masih menatap layar ponsel di tangannya. “Nggak mungkin Gista. Dia pasti ngomong sama aku kalo mau ke sini.” Bunyi lonceng kecil di atas pintu kaca kafè berbunyi, tanda ada seseorang masuk ke kedai kopi ini. Namun pandangan Silvia tidak teralihkan. Saat ini dia tengah fokus menatap layar laptopnya. Tugas dari salah satu dosennya harus dikumpulkan besok pagi, tapi setelah dua jam di tempat ini, layar laptop Silvia hanya menampilkan layar putih dengan kursor berkedip-kedip. Halaman kosong yang belum diisi tulisan apa pun. Tiba-tiba sepasang tangan kokoh menutup kedua mata Silvia. Membuat perempuan itu sedikit memekik karena terkejut. Namun tidak sampai histeris. Aroma tubuh bercampur parfum khas milik seseorang menguar memenuhi rongga hidung Silvia. Senyum bulan sabit terbit di wajah Silvia, dia tahu siapa pemilik tangan kokoh yang hampir menutup separuh wajahnya. Kedua tangan Andra berpindah dari mata melingkari leher Silvia, lalu merangkul istrinya itu dengan erat. Menyampaikan rasa rindu yang terpendam selama lebih dari enam puluh hari tidak bertemu. “Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” Silvia menarik kedua tangan Andra agar semakin mendekapnya lebih erat. “Kan biar surprise.” “Demi apa?” “Demi kamu. Katanya apa-apa yang serba surprise itu romantis loh.” “Kata siapa?” “Kata Andra.” Silvia tergelak mendengar kelakar Andra. Suara dehaman seseorang menghentikan percakapan tidak penting pasangan suami istri yang sedang dimabuk rindu itu. “Oya, Dra. Kenalin ini Yanu. Pemilik kafe ini. Ayahnya orang Sidney, ibunya orang Solok.” “Yanu.” “Andra.” “Your boyfriend miss Silvia?” Silvia terbahak karena pertanyaan konyol dari Yanu. “He is my husband, Yanu,” jawab Silvia lalu melingkarkan tangannya di pinggang Andra. “Oops, iam sorry. Aku kira kau masih single.” Andra ikut tertawa sambil menekan dahi Silvia dengan ujung telunjuknya. “Ngaku-ngaku single rupanya kalau di sini. Fine, cukup tau,” ujar Andra sambil manggut-manggut. “Apaan sih, Dra. Enggaklah. Dianya aja yang nggak mau tanya. Emang nggak lihat, aku perempuan dengan cincin polos melingkar di jari manisnya.” “Ngeles,” balas Andra. Silvia memberengut karena Andra tidak memercayainya begitu saja. Yanu hanya tertawa melihat interaksi pasangan di hadapannya ini. “Yanu, aku pamit dulu ya. Suami aku pasti butuh istirahat.” “Yang aku butuhin kamu,” bisik Andra tepat di lubang telinga Silvia. Membuat Silvia mengedikkan kedua bahunya, kemudian memukul pangkal lengan Andra. Laki-laki itu malah menatap Silvia dengan tersenyum penuh arti. “Tidak duduk dulu, Dra. Aku punya double espresso spesial buat kamu.” Cairan kental berwarna hitam pekat yang ditawarkan oleh Yanu itu memang sangat dibutuhkan oleh tenggorokan Andra. Namun bagi Andra saat ini bibir Silvia lebih menarik untuk segera dicecapnya. Rasa manis yang sudah lama diidamkan oleh Andra, yang efeknya jauh lebih hebat dari dugaan dia selama ini bagi kehidupannya. Andra kemudian menggeleng sopan, dan berjanji lain waktu akan mampir ke tempat ini lagi. Yanu melepas Andra dan Silvia hingga pintu kedai kopi. Saat membereskan meja yang ditempati oleh Silvia tadi, Yanu hanya menggeleng beberapa kali melihat apa yang dilupakan Silvia di meja ini. Lagi-lagi dua moccacino cup besar yang dipesan oleh Silvia, salah satunya tidak tersentuh sedikit pun. Bahkan Silvia melupakan cup satu lagi yang isinya tinggal seperempat. Mungkin Silvia lupa, dia terlalu senang karena kedatangan suaminya. Begitu pikir Yanu. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN