11. Flash Sync

2160 Kata
Sendirian di rumah membuat Andra mulai bosan. Kalau sedang di Jember Andra tidak pernah mau menunggu rumahnya sendiri, sedangkan tiap di Jakarta cuma bisa menjadi penunggu rumah setiap harinya. Mau main ke yayasan Kiara, tapi kakak dan keponakannya sedang liburan ke kampung halaman suaminya di Belitung. Hampir sebulan ini Andra sering berkunjung ke coffee shop milik Aidil untuk membuang rasa bosannya saat di rumah sendirian. Awalnya membicarakan soal bisnis dan rencana Andra untuk mewujudkan impiannya selama ini, membuka sebuah kedai kopi modern. Rencana itu sudah berjalan hampir 50 persen. Andra yang memang dasarnya mudah bergaul, dia bisa leluasa mengobrolkan hal apa saja dengan Aidil dan orang-orang yang Aidil kenalkan padanya. Termasuk tentang Silvia. Sayangnya, tidak banyak informasi yang bisa Andra korek dari Aidil mengenai kehidupan pribadi Silvia sebelum kenal Andra. “Silvia itu tertutup banget ya?” tanya Andra hari itu. “Tertutup nggak juga. Dia justru welcome banget orangnya. Cuma ya gitu, kalau ditanya tentang kehidupan pribadinya, dia selalu bilang kehidupan pribadi gue nggak terlalu menarik untuk diceritakan pada orang lain. Silvia itu tertutup banget hanya urusan informasi narasumber yang memang harus dirahasiakan.” Andra mencoba mengingat kembali penggalan percakapannya dengan Aidil hari itu. “Silvia itu buta seni dan budaya, loh, Dra. Budaya Minang sendiri aja dia nggak terlalu tahu banyak. Yang dia tahu dari Minang cuma bahasa daerah, rumah adat sama masakan Padang doang.” “Emang waktu masih jadi wartawan Silvia itu meliput berita apa?” “Politik sama kriminal. Tapi lebih ke politik. Waktu dengar kabar Silvia liputan acara musik, seni dan budaya kita semua sampai syok dan menganggap Silvia abis ketiban beton.” “Segitunya banget?” “Serius. Nih ya, dia itu nggak bisa bedain mana suara Rossa sama Krisdayanti. Tahu band Ungu aja setelah Pasha terjun ke dunia politik. Tahu yang mana Raisa aja karena penyanyi itu diundang ke istana negara, waktu itu Silvia liputan di sana. Makanya pas Silvia ke mana-mana bawa Ipod pemberian kamu, kemajuan paling signifikan, tuh, pengetahuan Silvia soal musik.” “Tapi Silvia bukannya pernah liputan konser dan.... Ah acara Jember Fashion Carnival, Dil. Itu kan berita seni dan budaya.” “Nah…, itu gue juga nggak habis pikir, Dra. Setelah JFC itu memang liputan Silvia udah nggak melulu tentang berita politik. Pas gue tanya, kok banting setir? Silvia cuma jawab profesionalisme gue sedang diuji kali, Dil. Apa pun tugas negara harus dijalankan dengan ikhlas. Gitu jawaban Silvia.” Andra mengusap wajahnya dengan kasar. Ucapan dari Aidil cukup mengusik ketenangannya. Iseng Andra menghubungi sahabatnya yang ada di Jember untuk dicarikan daftar anggota pers resmi yang meliput acara JFC 2016 yang lalu. Namun Andra harus rela menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama, mengingat hal yang dia butuhkan sifatnya rahasia negara. ♡♡♡ Siang ini Silvia diminta menghadap Presiden Direktur TvM di lantai teratas gedung TvM. Agak terkejut karena tidak biasanya pimpinan tertinggi TvM itu memanggilnya secara pribadi. Biasanya dia akan datang bersama Romi, atau Romi yang menyampaikan pesan Presdir pada Silvia. Koridor menuju ruang Presdir terlihat sepi. Saat membuka pintu utama yang terhubung pada sekretaris pribadi Presdir, Silvia tidak melihat seorangpun ada di ruangan itu. Pintu ruangan Presdir tidak tertutup rapat, ada sedikit celah yang membuat suara siapapun dari dalam akan terdengar. Membuang rasa penasarannya, Silvia mendekati pintu kayu jati tersebut. Dari celah kecil itu Silvia bisa melihat ada orang di dalam ruangan. “Mas Revan?” tanya Silvia dalam hatinya. Silvia semakin mendekatkan telinganya ke daun pintu, supaya bisa mendengar percakapan dua orang di dalam sana. Percakapan mereka membuat jantung Silvia berdebar tidak keruan saat ini. “Tapi, Mas-” “Keluar lo!?” Bentakan dari salah satu orang di dalam ruangan itu, membuat Silvia terkejut setengah mati. Bergegas ia menjauhkan dirinya dari pintu. Di pintu hampir saja jantung Revan copot dan matanya melotot saat melihat Silvia dengan ekspresi tak terbaca menyandar di dinding samping pintu ruang presiden direktur TvM.. “Via? Sejak kapan kamu di situ?” tanya Revan skeptis. “Sejak lima belas menit sebelum Mas Revan diusir,” jawab Silvia menatap penuh selidik pada Revan. “Kamu ada perlu sama Pak Ardan?” tanya Revan dengan gugup. Silvia hanya mengangguk. Bersamaan dengan itu Dina, sekretaris Presdir datang entah dari mana. “Eh, ada Mbak Silvia. Mari masuk, udah ditunggu Pak Ardan.” Silvia mengangguk lalu pamit pada Revan yang masih berdiri mematung dengan wajah pias. Di dalam ruangan Presdir hanya ada Ardan seorang, tidak ada orang lain di tempat ini. Silvia masuk setelah dipersilakan, kemudian duduk dengan sopan di kursi depan meja kerja Presdir. Laki-laki berusia 40-an itu menyodorkan foto seorang perempuan pada Silvia. Dengan wajah datar Ardan bertanya, “kamu kenal siapa perempuan itu?” Silvia hendak menyebutkan sebuah nama, tapi ia ragu. Silvia lalu menggeleng pasti sebagai jawaban akhir. “Oke.” Ardan lalu meminta kembali foto yang ada di tangan Silvia. “Dia siapa, Pak?” tanya Silvia, setelah mengumpulkan keberanian untuk bertanya pada orang dengan jabatan tertinggi di perusahaan pertelevisian TvM. “Adik perempuan saya. Namanya Gista. Menghilang sejak lima tahun yang lalu,” jawab Ardan tenang. Silvia mengernyit. Otaknya mencoba mengingat sesuatu tapi gagal, lagi. Silvia tidak mengerti apa hubungan antara dirinya, foto itu dengan Gistanya Romi. Ingatan Silvia juga sangat buram soal Gista yang ada hubungannya dengan Romi. “Ya sudah kamu boleh keluar,” ucap Ardan setelah merasa selesai dengan Silvia. Silvia mengangguk, beranjak dari kursinya lalu bergegas keluar dari ruangan Presdir. Sebuah tangan mencekal pergelangan tangan Silvia saat ia hendak masuk lift. “Mas Revan mau bawa aku ke mana?” tanya Silvia penuh selidik. Tak memedulikan pertanyaannya, Revan terus menarik tangan Silvia. Laki-laki itu membawa Silvia menuruni tangga darurat gedung dan akhirnya sampai di belakang gedung. “Jangan bikin kesabaran aku hilang, Via. Jangan mempersulit keadaan juga. Cepat bilang sama aku, di mana Gista? Kamu sembunyikan di mana teman kamu itu?” Silvia ketakutan menatap kedua mata Revan yang saat ini sudah merah, lengkap dengan wajah putihnya yang memerah juga. “Aku nggak tahu, nggak tahu, nggak tahu, nggak tahu...” Silvia terus nyerocos dengan melontarkan kata-kata yang sama. Revan mulai kehabisan akal menghadapi sikap Silvia. Tangan kokoh Revan mencengkeram kedua bahu Silvia lalu mendorong tubuh Silvia hingga membentur tembok. “Bantu aku, Via. Kamu kenal dia, kan? Katakan sama aku di mana dia sekarang?” tanya Revan dengan suara amarah yang tertahan lalu mengeluarkan foto yang sama dengan yang ditunjukkan oleh Ardan tadi. “Gista?” Tak tahan lagi, Silvia menyebutkan nama itu begitu saja. Meski dengan suara lirih, Revan bisa mendengar dengan sangat baik. “Iya, dia Gista. Sudah ingat kamu sekarang?” Tubuh Silvia menegang saat melihat foto tersebut dan nama yang diucapkan oleh Revan. “Masih mau bilang aku nggak tahu lagi?” Silvia masih setia dalam bungkamnya. Revan menekan bahu Silvia saat tak mendapat jawaban apa pun. “Aku pernah ketemu dia waktu di Melbourne,” jawab Silvia lalu merapikan seragam kerja dan ikatan rambutnya. “Di Melbourne? Kamu kenal sama dia? Tapi kenapa tiap kali aku tanya soal Gista kamu mengaku nggak kenal dan nggak tahu apa pun soal Gista?” cecar Revan, mulai tidak sabaran menghadapi Silvia. “Aku kira lain orang,” jawab Silvia berusaha tenang. “Kamu jangan macem-macem ya, Via!” “Aku nggak macem-macem. Mas Revan seharusnya yang jangan macem-macem sama aku. Aku tahu kalau Mas Revan nyogok koran lampu merah itu supaya membuat artikel palsu tentang aku. Iya kan?” Revan tidak bisa mengelak akan tuduhan yang disampaikan oleh Silvia. Dia tertawa sumbang setelahnya. “Oke, itu benar perbuatanku. Tapi aku punya tujuan melakukan itu. Untuk membuka mulut kamu soal Gista.” Silvia berusaha untuk menyingkir dari hadapan Revan. Namun tangan Revan lebih dulu menangkap tangan Silvia. “Kalau kamu pernah ketemu sama Gista, artinya perempuan itu masih hidup? Di mana dia sekarang?” “Nggak tahu, Mas. Dia datang dan pergi semaunya, sesuka hatinya. Dia hanya muncul di saat aku benar-benar merasa kesepian, sendirian dan saat jiwaku merasa tertekan. Setelah aku merasa tenang dia akan pergi. Apalagi ketika aku sedang bersama dengan orang yang bisa membuatku nyaman, maka dia tidak akan pernah menampakkan dirinya. Dia tidak pernah mau tinggal lama-lama di dalam pikiranku.” “Maksud kamu? Kalian komunikasi lewat media apa? Kalau janji ketemuan gimana?” “Nggak tahu. Udah aku bilang dia bisa datang kapan saja, di mana saja saat aku sedang kesepian, benar-benar merasa sendirian dan membutuhkan teman untuk berbagi persoalan hidup.” Revan berteriak frustrasi karena Silvia terus saja berputar-putar dalam memberi jawaban. Silvia menjadikan ini kesempatan untuk melarikan diri dari hadapan Revan. ♡♡♡ Malam harinya saat Silvia masuk rumah, Andra menyambutnya dengan ekspresi yang tak biasa. Mata Andra terus mengawasi gerak gerik Silvia. Saat ditanya ada apa oleh Silvia? Andra hanya menggeleng lalu tersenyum. Usai makan malam, Silvia tidak langsung tidur. Meski sebenarnya mengantuk berat, tapi ia ingin menemani Andra yang sedang menonton sebuah film fantasi lama--yang masih suka ditonton oleh Andra tiap kali ditayangkan di televisi. “Nonton film apa?” “The Hobbit, The Battle of the Five Armies,” jawab Andra tanpa memindai pandangannya dari layar televisi. “Film halusinasi,” jawab Silvia sambil terkekeh. Andra tidak menjawab, pandangannya fokus penuh pada film yang sedang ditontonnya. “Mau ke mana, Sil?” “Mau tidur, kenapa?” “Tidur sini aja. Nanti kalau filmnya kelar baru pindah.” Tidak punya pilihan lain, Silvia menuruti saja permintaan suaminya. Silvia merebahkan tubuhnya di sofa dan meletakkan kepalanya di atas paha Andra. Bukannya bisa tidur nyenyak, Andra malah mengganggu tidur Silvia dengan memainkan pipi serta hidung istrinya itu. “Tangannya belum cuci ya? Bau rokok ish,” ujar Silvia saat telapak tangan Andra mendarat di depan hidungnya. “Udah, kok,” jawab Andra menahan senyumnya agar tidak ketahuan kalau sedang berkilah. “Masih bau rokok. Cuci tangan kamu pakai sabun!” perintah Silvia, mendorong tubuh Andra dari sofa hingga ia berdiri. Sambil menggerutu, Andra menuju wastafel lalu mencuci tangannya yang memang belum dicuci sehabis merokok tadi dengan sabun. Melihat istrinya tidur meringkuk dengan kaki tertekuk, Andra meminta Silvia menukar posisi tidurnya. Saat ini posisi kaki Silvia berada di atas paha Andra. Suaminya itu tidak lagi mengganggu tidur Silvia yang dalam hitungan menit sudah terlelap. Pagi harinya, saat terbangun Silvia mendapati dirinya berada di atas ranjang kamarnya. Padahal dia tidak merasa terbangun untuk berpindah tempat. Di sampingnya Andra sedang tidur nyenyak memunggungi Silvia. Dengan mengendap Silvia turun dari ranjang, supaya tidak membangunkan Andra yang sedang tidur nyenyak. Ternyata pergerakan Silvia dapat dirasa oleh Andra. Saat Silvia sedang merangkak turun dari ranjang, Andra berbalik badan lalu menarik tubuh Silvia hingga kembali berbaring di ranjang. Silvia mencoba bangkit dari tidurnya, Andra malah menciumi cekung leher Silvia, hingga Silvia menahan napas sekaligus gairahnya. Sebuah desahan keluar dari bibir Silvia membuat Andra menyeringai puas. “Aku udah nunggu dari semalam.” Suara Andra terdengar berat dan serak karena bangun tidur juga menahan hasratnya sendiri. “Kenapa ditahan?” tanya Silvia iseng sambil terkekeh, karena ciuman Andra telah beralih di belakang telinganya, yang membuat Silvia geli. “Nggak tega lihat kamu, capek banget kayaknya.” Andra mulai melucuti pakaiannya sendiri juga pakaian istrinya. Sambil memainkan puncak p******a Silvia, perlahan tapi pasti Andra melesakkan miliknya di pusat tubuh Silvia. Membuat Silvia meringis sampai memekik kecil sambil mengangkat bokongnya. “Kenapa? Sakit?” tanya Andra, mengusap kening Silvia, khawatir menyakiti istrinya. Silvia menggeleng sambil tersenyum lalu membelai rambut Andra. “Terus kenapa bilang aduh?” Andra mulai menggerakkan tubuhnya naik turun di atas Silvia. “Nggak kenapa-kenapa, kaget aja,” ujar Silvia diiringi desahan cukup panjang saat Andra menyentak pinggulnya. “Kaget apa enak?” “Andra!” “Apa?” suara Andra mulai terengah, deru napasnya semakin memburu. Andra terus bergerak masuk di atas tubuh Silvia hingga peluh membasahi seluruh tubuhnya. Setelah Silvia mendapatkan klimaksnya, Andra membalik tubuh Silvia, membelakangi Andra seperti sedang merangkak. Suara desahan dan erangan terus meluncur dari bibir Silvia saat Andra menghujam pusat kewanitaannya. Andra mempercepat gerakan pinggulnya, bibirnya terus mengecup bagian belakang tubuh Silvia, tak ketinggalan meremas pelan kedua p******a Silvia secara bergantian. Saat napas keduanya semakin memburu, tubuh Silvia bergetar hebat, ia meraih klimaks keduanya. Andra masih terus bergerak dan klimaks yang dinantinya dari semalam pun datang. Gerakan pinggulnya memelan, kemudian berhenti secara teratur. Andra menarik dirinya dan terlentang di samping Silvia yang masih tetap di posisi seperti bayi sedang merangkak. Sebuah kecupan Andra berikan di pipi Silvia yang sedikit basah karena keringat. Andra membersihkan tubuhnya terlebih dulu ke kamar mandi. Saat kembali ke kamar, dia melihat Silvia masih di posisi yang tadi. “Jangan lama-lama, nanti pinggang kamu sakit,” ujar Andra mengusap punggung Silvia yang masih polos tanpa sehelai pakaian pun. Membantu Silvia berdiri, Andra meraih kaus tidur milik Silvia lalu memakaikan kembali ke tubuh istrinya itu. “Lomba berenang yang sportif ya di dalam sana,” ujar Andra iseng sembari mengusap perut Silvia. Meski ucapan itu hanya candaan Andra, tapi sisi feminisme Silvia tersentuh, kedua matanya langsung berkaca-kaca. Ia bergegas menuju kamar mandi dan menumpahkan kesedihan dan tangisannya di dalam sana. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN