12. Shutter Lag

2114 Kata
Beberapa hari terakhir ini Silvia menjadi susah tidur. Perdebatan antara pemimpin tertinggi TvM dengan Revan hari itu terus mengganggu pikirannya. Bayangan wajah di foto yang ditunjukkan oleh Ardan dan Revan juga masih membekas di benaknya. Belum ada kesimpulan yang bisa Silvia tarik dari persoalan yang cukup mengganggu aktivitasnya akhir-akhir ini. Yang Silvia yakini hanyalah, Gista yang diributkan oleh Revan adalah Gista yang sama dengan yang sering muncul saat Silvia masih di Melbourne. Silvia akan mencoba lebih keras mencari tahu soal Gista yang ditutupi oleh Romi. Namun dia bingung mau mencoba dari mana untuk menggali informasi lebih jauh soal itu. Dari dalam ranselnya, Silvia meraih sebuah diska lepas berukuran mungil. Lalu membuka penyimpan data tersebut melalui laptopnya. Isi diska lepas tersebut adalah soft copy artikel yang pernah Silvia buat. Juga data penting lain yang terkait dengan pekerjaannya. Ada folder lain juga yang menyimpan foto-foto hasil liputannya. Saat Silvia hendak membuka salah satu folder yang menarik perhatian, suara Andra dari dalam kamar memintanya untuk segera tidur, membuat Silvia mengurungkan niat membuka folder tersebut. ♡♡♡ Minggu pagi, Silvia mengambil alih hari ini untuk melaksanakan tugasnya sebagai istri yang baik dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Matanya sudah tidak bisa terpejam lagi sejak selesai salat subuh berjamaah dengan suaminya. Melihat ke dalam kamar sebentar, Andra sudah kembali tidur meringkuk seperti bayi dalam rahim ibunya. Silvia tersenyum melihat posisi tidur Andra yang menggemaskan itu. Dimatikannya pendingin udara di kamar supaya suaminya itu tidak semakin kedinginan, karena pagi ini Jakarta sedang mendung. Besar kemungkinan akan turun hujan hari ini, hanya saja Silvia tidak paham pukul berapa langit akan menangis. Karena dia hanyalah seorang jurnalis bukannya ahli geografis. Setelah mematikan lampu teras dan lampu-lampu yang tak diperlukan hidup di siang hari, Silvia mulai mengumpulkan pakaian kotor miliknya juga milik Andra. Yang dikeluhkan Andra tiap kali mencuci baju memang tidak salah, keranjang pakaian kotor warna oranye itu dipenuhi pakaian milik Silvia. Tertawa sendiri mengingat wajah masam suaminya, Silvia mulai memasukkan seluruh pakaian ke dalam tabung mesin cuci. Kecuali pakaian mereka berdua yang berwarna putih, nanti akan dicuci terpisah. Begitu yang dipesankan oleh Andra waktu itu. Andra dan Silvia memang suka sekali warna putih. Hampir sebagian besar pakaian keduanya didominasi warna putih. Sambil menunggu mesin cuci mengaduk pakaian kotor hingga bersih dan setengah kering, Silvia memasak nasi lalu menyapu dan mengepel rumah. Menengok ke jendela dapur, langit yang tadinya mendung mulai gerimis yang perlahan berubah menjadi hujan deras, membuat Silvia hanya sanggup mendesah pasrah. Masak aja dulu kalau gitu. Jemurnya entaran ajah. Ucap batin Silvia, lalu meletakkan keranjang yang berisi cucian bersih yang hendak dijemur di dekat tangga menuju loteng. Di kamar beberapa kali Andra mencoba mengabaikan suara dering ponselnya  lalu melanjutkan tidurnya kembali. Namun usahanya sia-sia, ponselnya kembali berdering. Duduk di pinggiran ranjang, mengumpulkan nyawanya yang tercecer, baru Andra meraih Ponsel yang berada di atas meja. Mama is calling… Membawa ponsel keluar kamar, Andra mencari keberadaan istrinya. Aroma masakan khas bumbu rempah-rempah menyeret langkah Andra ke arah aroma yang berasal dari dapur. Andra menemukan Silvia sedang sibuk memotong daging menjadi ukuran tipis-tipis. Kini Andra sudah berdiri di samping Silvia yang tidak terkejut akan kehadirannya. Justru yang membuat Silvia terkejut adalah tepukan Andra di b****g istrinya itu. Silvia hanya menyeringai mendapatkan tepukan di bokongnya, selain karena sudah terbiasa ia juga tahu Andra pasti kesal karena merasa tak diacuhkan olehnya. “Hei, udah bangun?” sapa Silvia. “Morning kiss.” Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Andra malah mengecup bibir Silvia hingga kepala Silvia sedikit terdorong ke belakang. “Mama bolak-balik telepon. Telepon balik, ya, takut ada yang penting.” Andra menyerahkan ponselnya pada Silvia lalu beranjak meninggalkan dapur. “Kamu mau ke mana?” tanya Silvia pada Andra yang bukannya menemani menelepon Mamanya malah kabur ke toilet. “BAB. Mau ikut?” ujar Andra dengan cueknya. Silvia berdecak kesal, tapi tersenyum lebar setelahnya. Setelah tubuh Andra menghilang di dalam kamar mandi, Silvia melanjutkan lagi acara memasaknya sambil mengobrol dengan Mama mertuanya melalui panggilan telepon. Mamanya mulai menasehati Andra supaya anaknya itu berhenti merokok dan tidak merokok di dekat istrinya. Dan masih banyak nasihat lain yang kalau dirangkum bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas folio bergaris. “Mama nggak pengen ke Jakarta, tha?” tanya Andra saat dirinya mulai lelah dengan segala nasihat yang diberikan Mamanya. “Nggak, ah, males. Kalau mbakmu mau pulang ke Jember baru Mama ke Jakarta.” “Tuh kan. Mama sayangnya cuma sama Mbak Kiky, seh. Sama aku nggak. Aku melulu yang dimarahin, Mbak Kiky nggak.” Silvia memukul pundak Andra, wajahnya menampakkan raut kurang suka dengan ucapan kurang sopan Andra pada Mamanya. Andra malah meminta Silvia untuk diam dengan membungkam mulut Silvia dengan telapak tangannya. Dari speaker ponsel Andra, terdengar suara Mamanya terbahak mendengar keluhan Andra. “Kamu aja yang ke Jember, ya, sama istrimu.” “Istriku sibuk banget, Ma. Aku aja jarang diurus.” Andra menyeringai mendapat pelototan dari Silvia. “Ngeluh, thok, kamu tuh. Kebanyakan ngeluh lama-lama kamu direndang sama istrimu.” Silvia berusaha menahan tawanya supaya jangan sampai pecah. Kepalanya terangguk beberapa kali, merasa jumawa karena Mama mertuanya selalu membela dirinya daripada anak kandungnya sendiri. Andra menarik kepala Silvia lantas menyembunyikan di balik ketiaknya, sebagai upaya balas dendam atas pembelaan mamanya pada Silvia.. “Oya, bulan depan si kembar ulang tahun, Le. Trus ada acara gitu kan di sekolahnya. Wajib dihadiri sama orang tua. Katrin nggak mau datang. Dia nggak tega katanya lihat si kembar cuma didampingi ibunya aja, nggak kayak anak lainnya. Kamu bisa nemenin Katrin, Le?” Andra dan Silvia saling beradu tatap setelah Mama mereka memberinya sebuah informasi. Silvia hanya mengedikkan bahunya, pertanda dia menyerahkan keputusannya pada Andra. “Nanti Andra omongin sama Silvia dulu deh.” “Sekalian ajak Silvia kalau gitu. Mama mau ajak dia ke tempat teman Mama. Dia terapis kandungan gitu. Kali aja bisa ngasih solusi sama Silvia supaya bisa segera hamil.” Saat Mama mertuanya menyampaikan hal itu, Silvia sedang mencicipi masakan yang sedang dimasaknya. Selain karena cukup mengejutkan, masakan tersebut memang cukup pedas, membuat Silvia tersedak dan terbatuk hebat. Andra mengakhiri panggilan teleponnya, lalu membantu Silvia meredakan batuknya. “Makanya kalau masak itu jangan pedes-pedes, Sil. Kalau keselek gini kan bahaya buat tenggorokan kamu,” gerutu Andra setelah batuk hebat Silvia mereda. “Nggak terlalu pedas masakannya. Namanya keselek juga meski nggak pedas tetep bahaya kali, Dra,” balas Silvia. Andra tidak lagi mendebat omongan Silvia. Memilih mengangkat keranjang cucian bersih, lalu membawanya ke loteng. Langit Jakarta seketika kembali cerah setelah diguyur hujan selama setengah jam, lengkap dengan cahaya matahari yang melakukan tugasnya untuk menghangatkan permukaan bumi. “Udah aku jemur semuanya,” ujar Andra dengan bangga saat melihat kehadiran Silvia di atas loteng. “Good job.” Silvia mengacungkan dua jempolnya untuk Andra. Silvia ikut duduk di samping Andra, menatap langit di atas rumah yang menurut Andra adalah masih milik Alvino. “Kamu nggak pengen maen ke rumahnya Bang Vino, Sil?” “Ngapain?” “Nagih utang! Ya silaturahmi lah. Kamu tuh.” Silvia tertawa mendengar jawaban ketus dari Andra. “Males ah, Dra,” kata Silvia di sela tawanya. “Males kenapa? Nggak kangen Aira?” “Kangen sih. Tapi males aja.” “Ke tempatnya Mbak Kiky males juga?” Silvia mengangguk tanpa menatap Andra. “Kalau jalan-jalan berdua aja, masih males?” “Iyaaa. Mager nih, pengen di rumah aja ya, hari ini.” Andra beranjak dari duduknya lalu berdiri di depan Silvia. “Bosen di rumah aja. Ayo sarapan, mandi, trus keluar. Mau ke mananya, kita pikirkan nanti di mobil,” ucap Andra dengan tegas lalu menarik tangan Silvia agar beranjak dari duduknya. ♡♡♡ Silvia tidak mengerti tujuan Andra memintanya untuk mengunjungi tempat-tempat Silvia biasa memburu informasi terkait artikel maupun suatu berita yang akan Silvia sampaikan di televisi, dulu. Saat masih menjadi reporter dan wartawan. Tanpa banyak tanya lagi, Silvia lalu mengarahkan Andra ke beberapa tempat di mana Silvia dulu menghabiskan waktunya untuk berburu berita. Aktivitas itu berlangsung dari pukul sebelas siang hingga sore hari. Menikmati Jakarta di hari Minggu, bukanlah pilihan yang buruk menurut Andra. Lebih menyenangkan daripada hari sibuk Senin hingga Sabtu malam. “Dari semua tempat yang udah kita kunjungi hari ini, yang paling berkesan buat kamu yang mana, Sil?” tanya Andra saat keduanya sedang menanti senja sambil menikmati secangkir kopi hitam dan moccacino di sebuah kedai kopi yang letaknya cukup jauh dari rumah. “Emmh....Di mana ya? Hampir semua tempat berkesan, sih. Soalnya ada ceritanya sendiri-sendiri dan tak terlupakan.” “Pasti ada. Sebutkan satu tempat aja beserta cerita berkesannya,” perintah Andra. Silvia terlihat sedang berpikir dan menimbang akan menjawab apa. Belum sempat Silvia memberi jawaban, seorang perempuan, usianya kira-kira seumur dengan Silvia menghampiri mejanya. “Via ya?” Kening Silvia berkerut mencoba mengingat siapa perempuan bertubuh mungil yang mengenalnya. Perempuan itu lalu menyebutkan nama serta nama sebuah stasiun televisi swasta nasional tempatnya bekerja. “Oh...Dwita? Iya, iya gue inget. Apa kabar lo? Masih ngeliput?” “Udah nggak. Abis nikah ikut suami gue ke Polandia.” Silvia tersenyum mendengar penuturan kawan sesama jurnalisnya, lalu mempersilakan perempuan bernama Dwita itu bergabung di mejanya. Andra tidak keberatan sama sekali. Dia malah senang bisa mengenal lebih banyak lagi teman Silvia. Dengan begitu Andra bisa mengumpulkan lebih banyak informasi tentang istrinya. “Anak gue udah dua. Lo udah punya momongan, Vi?” “Belum,” jawab Silvia tenang. “Oh. Nggak nunda kan?” “Emmhh ...,” “Doakan aja semoga disegerakan,” sahut Andra karena Silvia sepertinya kesulitan menjawab pertanyaan Dwita. Selama lima belas menit ketiganya terlibat obrolan seru mengenang momen-momen saat Silvia masih menjadi reporter. Melupakan soal obrolan seputar momongan yang menjadi topik obrolan sensitif bagi Silvia akhir-akhir ini. “By the way, gue turut berduka cita ya soal Gista. Gue udah nggak di Indonesia pas kejadiaan naas itu. Gue nggak nyangka ada yang tega berbuat jahat sama dia.” Silvia tidak menimpali ucapan Dwita. Hanya menatap tidak mengerti pada temannya itu. “Itu gimana ceritanya, sih? Katanya ada unsur-unsur politik dalam kejadian itu? Kabarnya lo sampai trauma ya, nggak mau lagi terlibat urusan politik sejak kejadian itu. Bener? Makanya lo ambil keputusan besar untuk memindahkan ranah liputan lo. Bener gitu, Via?” Silvia masih melongo menatap Dwita. Bahkan cenderung semakin tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh perempuan itu. Suara dering panggilan telepon dari ponsel milik Dwita mengalihkan pembicaraan mereka. “Sorry ya, Via. Kita nggak bisa ngobrol lebih lama. Suami gue udah jemput nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya.” Setelah kepergian Dwita, Andra pamit ke toilet. Namun bukannya ke toilet Andra malah mengejar Dwita. Beruntung Dwita masih belum terlalu jauh meninggalkan kedai kopi tempat mereka bertemu beberapa menit yang lalu. Andra meminta nomor kontak ponsel Dwita, dan berharap bisa bertemu lagi untuk membicarakan soal Silvia dan Gista lebih jauh. ♡♡♡ Keesokan harinya Silvia menemui Romi di ruangan atasannya itu. “Kasih tahu aku, apa alasan kamu memintaku untuk berkata tidak mengenal Gista kalau ada yang bertanya sama aku?” Romi menutup layar laptopnya lalu berjalan mendekati Silvia. “Kenapa? Lawyer itu masih maksa nanya kamu soal Gista?” tanya Romi dingin. Ekspresi wajah laki-laki itu sangat tidak biasa. Silvia mundur satu langkah karena Romi makin dekat padanya. “Enggak juga. Dia udah berhenti cari masalah sama aku. Aku selama sebenarnya tahu siapa Gista. Aku juga kenal sama Gista. Yang aku nggak ngerti yang kalian ributkan itu soal apa? Kenapa dengan Gista?” Romi makin menyudutkan Silvia ke tembok. Membuat Silvia terkunci dan tidak bisa melarikan diri lagi. “Rasa ingin tahu kamu yang terlalu tinggi itu yang bikin kamu jadi wartawan dan reporter favoritku sampai sekarang. Sifat unik kamu itu yang kadang bisa aku jadikan peluru senapanku untuk menghancurkan orang-orang yang coba menghalangi niatku, tapi sayangnya juga bisa menjadi boomerang yang bisa membunuhku kapanpun.” Silvia tidak mengerti dengan ucapan Romi. Ia tidak bisa berkutik saat wajah Romi makin dekat dengan wajahnya. “Kamu mau ngapain?” Silvia mulai ketakutan. Ia memalingkan wajahnya yang saat ini hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Romi. “Berhenti mencari tahu tentang Gista. Lebih baik kerja yang bener. Kamu boleh minta apa pun, asal jangan pernah tanya soal dia lagi. Oke?” Tubuh Silvia rasanya menegang akibat bisikan Romi. Bahkan untuk menjawab menggeleng ataupun mengangguk saja ia tak sanggup lagi. Romi tersenyum lembut lalu mundur, memberi jarak bagi dirinya dengan Silvia. “Sorry kalau aku bikin kamu takut. Ini demi kebaikan kamu juga.” Romi menepuk pundak Silvia lalu kembali berkutat dengan laptop di meja kerjanya. Meninggalkan Silvia dengan ketakutan yang masih belum reda. “Aku nggak akan berhenti mencari tahu,” ucap Silvia dengan tegas. Kepala Romi sontak terangkat dan menatap nanar pada Silvia. Wajah Romi mengetat menahan amarah, tapi Silvia tidak peduli, detik itu juga ia angkat kaki dari ruangan Romi. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN