Pada akhirnya Silvia didampingi Andra sudah menceritakan soal penyakitnya pada Kiara. Silvia memegang ucapan Kiara yang berjanji akan menyimpan rahasia soal penyakitnya ini dari siapa pun jika Silvia terbuka padanya. Ternyata dugaan Silvia akan reaksi Kiara jauh dari perkiraannya. Ia kira Kiara akan berempati biasa padanya. Lebih dari itu, Kiara semakin perhatian pada Silvia. Bahkan menawarkan, kalau Silvia menjelang periode datang bulannya menginap di rumah Kiara saja, supaya kakak iparnya itu bisa merawatnya. Sayangnya di mata Silvia, perhatian itu tidak lebih dari sekadar bentuk rasa kasihan dan prihatin orang lain pada kondisi kesehatannya. Dan Silvia tidak bersikap tangan terbuka dalam menerima bantuan orang lain. Prinsipnya, selama itu bisa dilakukan dan dilewati seorang diri maka ia akan melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Di hadapkan pada sifat keras kepala istrinya, Andra mulai angkat tangan. Rasanya percuma ngomong sampai bibir dower, Silvia teguh pada pendiriannya tidak mau menerima bantuan apa pun dari kakak iparnya. Ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan tho mengatur Silvia. Terlalu sombong, sih, Andra. Bagi Andra mengatur sifat keras kepala Silvia jauh lebih rumit dari saat ia belajar drum untuk yang pertama kalinya.
Setelah dibujuk, dirayu, dipaksa dan terakhir diancam akan memberitahukan soal penyakitnya pada Mama mertua juga abangnya, Silvia akhirnya mau memeriksakan dirinya ke dokter lagi dan ditemani oleh Kiara.
“Kamu bohong! Katanya cuma kita berdua aja yang pergi periksa,” bisik Silvia saat mereka bertiga--Andra, Silvia dan Kiara--sedang mengantri di dokter spesialis kandungan sebuah rumah sakit standar internasional di Jakarta. Kiara sedang menerima panggilan telepon, jadi memisahkan diri dari Andra dan Silvia.
“Suruh siapa dari seminggu yang lalu aku ajak periksa nggak ada tanggepan,” balas Andra cuek bebek dengan memainkan game di ponselnya. Andra ya gitu, dia perhatian, peka dan pengertian, tapi kadang kadar cueknya itu melampaui batas.
Silvia berdecak kesal lalu menjawab, “aku kan sibuk, Dra. Ngerti dikitlah. Aku dideadline buat mendatangkan Mbak Janny untuk diwawancarai di program acaraku, belum lagi bosku neror aku terus untuk ide program acara baru. Eh...Tapi Mbak Kiara janji, loh, mau bantu ngomong sama Mbak Janny soal wawancara itu.” Silvia ketawa cekikikan.
Menatap kesal pada istrinya, Andra menutup permainan di ponselnya. “Ohh, aku tahu, nih. Jadi kamu mau periksa sekarang ini karena ada aroma simbiosis mutualismenya?” tanya Andra tidak terima.
Silvia nyengir kuda. “Ya nggak gitu juga, Dra. Kok kamu sewot, sih?” Silvia towel-towel lengan Andra sambil pasang tampang manis.
Dengan cueknya Andra menjawab lagi, “yang sewot sopo? Wong aku cuma nanya ini.” Tidak sewot, tapi nada bicara Andra itu menunjukkan kalau dia memang sewot seperti kata Silvia.
“Ya tetep aja cara nanya kamu tuh sewot, Dra. Kamu nggak suka aku ngerepotin Mbak Kiara? Iya? Ya nggak apa-apa, aku bisa sendiri kok. Nanti aku bilang-” kata-kata Silvia terputus saat Andra menyuruhnya diam dengan meletakkan jari telunjuknya di depan mulut sendiri.
“Sil! Aku bosan dengar kalimat ‘aku bisa sendiri kok’ dari mulut kamu!” Beranjak dari tempat duduknya, langkah Andra dihentakkan dengan kesal meninggalkan Silvia seorang diri. Penting bagi Andra mencari ruangan merokok untuk membuang rasa kesal karena sikap istrinya itu. Dari pada ditanggapi yang berujung perdebatan panjang, Andra memilih menghindar untuk sementara.
Di ruang periksa, berhadapan dengan dokter, dan setelah dibuka obrolan antara dokter dan Kiara, barulah Silvia menyampaikan keluhannya. Ia sering mengalami nyeri haid berat beberapa hari saat haid, meskipun sudah minum obat anti-sakit pemberian dokter. Setiap bulan saat ovulasi juga menderita nyeri beberapa hari di sisi kirinya. Menuruti saran dokter akhirnya dilakukan pemeriksaan laparoskopi ulang. Hasilnya endometriosisnya belum bersih bahkan terdapat pelekatan ovarium kiri, sedangkan ovarium kanannya masih normal.
♡♡♡
Seminggu setelah periksa, Silvia dijadwalkan akan menjalani operasi pengangkatan endometriosis. Silvia setuju, ralat terpaksa setuju dengan syarat yang tahu soal operasi ini hanya mereka bertiga. Dengan tampang pengin bilang 'terserah elo aja' Andra menyetujui syarat apalah-apalah yang diajukan oleh Silvia. Kalau Andra tidak setuju, makin lama Silvia dioperasi, takut makin parah penyakitnya. Begitu pikiran realistis seorang Andra.
Operasi ini tentu menghambat aktivitas pekerjaan Silvia. Meskipun orang kantornya mengerti kondisi penyakit Silvia, tetap saja ia merasa tak enak jika sering meliburkan diri. Nanti giliran butuh banget makek jatah cuti kan bingung kalau cutinya udah kepake duluan. Silvia menggerutu terus karena Andra sama sekali tidak membelanya. Andra menuruti semua ucapan kakak perempuannya dan membiarkan kakak iparnya itu mengurusi kebutuhan Silvia.
Belum selesai penderitaan menjadi pasien Kiara selama di rumah sakit, Silvia harus bedrest di rumah. Sebenarnya istirahat total selama tiga hari pasca operasi rasanya sudah lebih dari cukup bagi tubuh Silvia, tapi Andra memaksa sampai tujuh hari. Negosiasi alot pun terjadi, yang lagi-lagi berujung perdebatan.
Selama Silvia bedrest Kiara masih sering nongol di rumah adik iparnya itu. Mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan senang hati.
“Itu Mbak Kia nggak dicariin suaminya emang, tiap hari di rumah kita mulu?” tanya Silvia di hari ketiga Kiara nongol pagi-pagi dengan Daka dan beberapa kantong belanjaan.
“Nggak tuh. Yang penting Mbak Kiky sudah ada di rumah dan meja makan sudah penuh dengan santapan makan malam sebelum suaminya pulang,” jelas Andra dengan cueknya.
“Kamu ngapain di sini malah santai-santaian gini, bukannya bantuin Mbak Kiara? Yang sakit kan aku doang, kenapa kamu ikutan males-malesan?” hardik Silvia.
“Aku nggak males-malesan, Sil. Lihat aku di sini ngapain? Aku ngemong Daka ini loh,” jawab Andra menggoda Daka dengan wajah tololnya, tidak menggubris gerutuan istrinya. Batita itu tertawa melihat ekspresi wajah Om-nya.
Setelah itu Silvia tidak pernah lagi bertanya apa pun soal kehadiran kakak iparnya itu di rumahnya. Yang penting saat ini dirinya cepat sembuh dan tidak perlu merepotkan orang lain lagi.
♡♡♡
Meski menghadapi wajah kesal Andra pagi ini--karena Silvia tidak mau mendengarkan omongan suaminya untuk istirahat lagi dua hari--Silvia mulai beraktivitas lagi seperti biasa. Perjanjiannya, Andra yang akan mengantar dan menjemput Silvia kerja selama proses recovery.
“Kirimin kontaknya Aidil. Ada yang mau aku obrolin sama dia.” Suara Andra bertepatan saat mobilnya berhenti di drop zone kantor TvM.
Mengangguk sekali, Silvia keluar dari mobil tanpa menanyakan ada urusan apa suaminya itu dengan teman baiknya. Namun Andra sendiri juga tidak ada inisiatif untuk menjelaskan ada urusan apa dia dan teman baik istrinya itu. Selebihnya tidak ada kata-kata lanjutan lagi dari Andra. Apa kek gitu, seperti 'kamu baik-baik ya', 'jangan lupa minum obat' atau apalah itu, kalimat bernada perhatian yang lain. Itulah Andra, dia lebih suka menyampaikan perhatiannya lewat perbuatan daripada dengan kata-kata.
Pukul sembilan tepat, seluruh produser program variety show TvM diminta berkumpul di meeting room oleh Romi, untuk membicarakan rating masing-masing program acara variety show.
“Silvia, sudah ada ide untuk mengganti program acara kamu yang sudah dihentikan? Belum ada acara lagi untuk menggantikan jam tayang acara kamu itu.” Romi bertanya saat mata keduanya bertemu di satu titik.
“Belum ada,” jawab Silvia malas.
“Trus itu Zaneeta, kapan bisa kamu datangkan? Kalau perlu kamu tawarkan saja wawancara eksklusif,” saran Romi.
“Iya nanti aku atur. Aku minta waktu dua hari lagi.”
“Dua hari?” Romi tertawa sumbang dengan nada-nada mencemooh di dalam tawanya. Silvia geram, giginya bergemelatuk karena tawa Romi itu terdengar sangat meremehkan dirinya.
“Kamu pikir ini Pasar Senen tempat para pembeli dan penjual tawar menawar?” tawa Romi berhenti, berganti wajah super serius dan siap melahap orang hidup-hidup.
Menelan ludah dan menundukkan kepala cukup dalam yang bisa Silvia lakukan. Dia dihina oleh atasannya sendiri, di depan rekan kerjanya pula. Malunya dua kali lipat, sodarah.
Menjelang jam pulang kantor Romi mendatangi bilik kerja Silvia, menyodorkan sebotol minuman teh dingin sambil berkata, “sorry.”
Melengos dan tidak menghiraukan permintaan maaf atasannya itu, Silvia menyambar ransel dan kameranya.
“Ke ruanganku sekarang!” perintah Romi, sebelum meninggalkan bilik kerja Silvia.
Setelah berada di ruangan atasannya, Silvia berdiri mematung beberapa saat di depan meja kerja Romi. “Kembalikan aku ke habitatku!” Silvia menyodorkan amplop berisi surat pengunduran dirinya sebagai produser.
“Gitu aja ngambek kamu.” Romi membuka amplop, meremas kertas di dalamnya, lalu mengedikkan dagunya meminta Silvia duduk di sofa ruang kerjanya.
“Kalau aku nggak maki kamu di depan yang lain, nanti kita dikira ada affair. Paham kan?” Romi berusaha menjelaskan sikapnya pagi tadi.
“Kalau aku nggak boleh jadi wartawan lagi, biarkan aku mau masuk industri news.”
“Nooo...never! Apa perlu cuti tambahan untuk merefresh otak kamu supaya bisa mendapatkan ide acara baru?”
Kedua mata Silvia membelok dan hidungnya terus mendengus persis seperti banteng menahan rasa kesal yang siap meledak kapan saja.
“Aku nggak bakat di dunia kreatif, bapak Romi yang terhormat,” jawab Silvia hampir frustrasi.
“Aku menaruh kamu di industri kreatif itu karena aku punya insting kuat kamu akan bertahan di industri ini, Silvia. C'mon..., jangan muna deh kamu. Jadi jurnalis, perkembangan apa yang bisa kamu banggakan? Gaji kamu juga segitu aja kan? Sampai kamu jadi wartawan lepas segala untuk memenuhi semua kebutuhan kamu. Sedangkan untuk jadi kepala redaksi itu nggak mudah, minimal kamu harus punya pengalaman menjadi news anchor.”
Penjelasan Romi hanya ditanggapi dalam diam oleh Silvia. Bukannya membantah penolakan Romi, malah hal lain yang ditanyakan oleh Silvia.
“Gista itu siapa? Kenapa Revan getol banget nanyain soal Gista sama aku. Dia bahkan sampai berbicara dengan nada mengancam.”
Tubuh Romi menegang sesaat. Sayangnya Silvia tidak begitu memerhatikan gestur tubuh atasannya itu.
“Ngancam gimana?” tanya Romi santai.
“Ya…, dia bilang kalau aku nggak akan tenang hidupnya tiap kali ingat soal Gista.”
“Lantas, dia bilang apa lagi?”
“Sebelum aku sakit, Revan ngasih lihat koran lampu merah yang ada artikel tentang aku dan wartawan bernama Gista. Narasumbernya aku. Seingatku, aku nggak pernah melakukan sesi wawancara dengan koran manapun.”
“Kita cari tahu besok, apa maunya Revan.”
“Bisa kamu kasih tahu aku soal Gista?”
“Kamu pulang saja. Aku juga mau pulang,” ucap Romi dingin.
“Di Melbourne aku juga punya kenalan namanya Gista. Aku jadi ragu apa dia Gista yang sama dengan Gista yang selalu ditanyakan oleh Revan, kalau nggak salah nama lengkapnya Gista Ayuning Permana.”
Romi beranjak dari duduknya, membentak Silvia agar keluar dari ruangannya. Silvia tidak membantah lagi perintah Romi dan memilih keluar. Perutnya terasa begitu nyeri, karena luka bekas operasinya masih belum kering. Menahan sakit Silvia tertatih menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai dasar. Di lobi Andra sudah menunggunya dengan cemas, karena Silvia muncul setelah setengah jam Andra menunggu.
“Kamu kenapa?” tanya Andra melihat Silvia menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Aku capek.”
“Mau langsung pulang?”
Silvia hanya mengangguk setuju. Rumah adalah tempat terbaik bagi Silvia untuk melepas penat dan membuang resah. Suara Armand Maulana melantunkan lagu-lagu bandnya dalam versi akustik mengiringi perjalanan pulang Silvia. Andra tahu istrinya sedang tidak ingin diganggu. Dia pilih mengemudikan mobil dalam diam hingga sampai di rumah.
~~~
^vee^