IsteriKu

2170 Kata
Dava sudah dapat 3 lembar tugas milik Alisia berbentuk lembar dokumen, Alisia sungguh terbantu. Hanya dalam waktu 1 jam Dava mampu mengetik dengan begitu rapi, bahkan Alisia tidak usah mengatur ulang setiap paragrafnya. "Kalau Lo capek, Gue aja Dav yang selesaiin. Lo masih punya tugas lagi kan ngetik tugas Lo sendiri.". Dava mengalihkan pandangan dari laptop kearah Alisia yang sudah meletakkan secangkir coffe latte dihadapan Dava, Dava mengangguk lalu menikmati coffe lattenya. "Kalau Kak Alisia ngetiknya lelet kaya siput, mana mungkin selesai tuh 6 lembar lagi?". Semua yang ada disana menyemburkan tawanya saat perkataan Dava mampu membuat Alisia cemberut. "Ya Alloh Dav, sekalinya ngomong Lo bikin Gue sakit gigi.". Dava sangat hafal kata-kata itu, kata-kata yang sering di ucapkan sahabatnya Zacky saat Dava tidak sengaja melukai perasaan cowok petakilan itu. "Ngapain sih senyum-senyum Dav?" tanya Randu begitu penasaran dengan wajah tersenyum Dava. "Gue punya sahabat di Indo yang ngomongnya kaya Kak Alisia barusan, jadi inget sama mereka." Alisia menepuk-nepuk puncak kepala Dava, dan Dava tidak marah sama sekali ketika Alisia melakukan itu. Karena bagi Dava, Alisia seperti Kakak nya. Dan sadarkah mereka jika seseorang membayangkan akan melakukan itu pada Dava, mengusap sayang rambut hitam nan panjang Dava yang lebat itu. "Selain sahabat Lo, Lo pasti kangen seseorang." Dava mengangguk saja dengan bibirnya yang menikmati coffe lattenya, tahukah Alisia jika saat ini Dava sedang mengalihkan pikirannya dari seseorang itu. Yang sejak kemarin tidak bisa Ia hubungi dan keluarganya seolah mendukung hal itu. "Gu-." tiba-tiba ponsel Dava bergetar menampilkan sederat angka dan nama orang yang paling Dia khawatirkan hari ini. "H-". "Kamu dimana, Yang?" Dava akan menyapa, tapi suara diseberang sudah memotongnya. "Kamu yang dimana, kenapa enggak balas pesanku dan telfonku?" sembur Dava pada orang diseberang, membuat semua orang menaikkan alisnya. Karena biasanya Dava akan tenang dalam berbicara atau apapun itu, sangat-sangat berbeda. Dan tanpa sadar Dava berbicara menggunakan bahasa Inggrisnya dan agak keras, membuat beberapa pengunjung juga menatap kearahnya. "Yang, Aku serius kali ini deh. Kamu dimana?" dahi Dava mengerut, namun Dava tetap menyebut nama restoran tempatnya berada kini. Ia tidak ingin berdebat dengan wanita itu disaat Dava sedang mengkhawatirkannya. "Aku tanya loh ini, kenapa Kamu enggak balas pesanku?" tanya Dava sudah geram karena sejak tadi pertanyaannya tidak dijawab sama sekali. Malah Dava mendengar suara Vandra yang menangis. "Dea, hallo. De-". 'Tut Tut Tut' Dava sekali lagi menempelkan ponselnya di telinga memastikan ponselnya tidak terputus sambungannya, dengan kesal Dava membanting ponselnya saat menyadari jika layar ponselnya berubah gelap. "Lo kenapa sih?" Dava membuang nafas, kemudian Ia kembali meminum coffe lattenya untuk mengurangi rasa kesalnya. Dava kembali mengerjakan tugas Alisia, Ia tidak akan menghubungi Dea lagi sebelum isterinya itu menghubunginya kembali. Tahukah Dea, betapa khawatir dirinya saat ini?. Hampir 45 menit Dava fokus mengerjakan tugas Alisia tanpa mengindahkan pertanyaan yang terlontar untuknya, hari ini Dava benar-benar kesal pada Dea. Ponsel Dava kembali bergetar, Dava melihatnya dan dengan cepat mengangkatnya. "Kalau Kamu matiin la-". "Lihat belakang Kamu, Yang." Dava mengerutkan dahinya, dengan cepat Dava menatap ke belakang tubuhnya. Tubuh Dava reflek berdiri membuat kursi yang Dava duduki tergeletak begitu saja di lantai, Dava membuka mulutnya. "Itu Kamu, Yang?" senyum itu, senyum dari wanita yang kini berjarak empat langkah darinya itu menandakan sebuah kenyataan yang membuncah di dadanya. Dava tidak lagi mengulur waktu, dengan senyum luar biasa bahagia. Dava berjalan dengan langkah lebar, tanpa perlu menunggu balasan dari wanita yang kini terkekeh saat tubuhnya sudah Dava dekap dalam pelukannya. "Ini benar-benar Kamu?" Dava merasakan dalam dekapannya, wanita itu mengangguk. "Kamu ingin ini siapa?" tanya Dea, ya itu Dea, isteri Dava dengan seorang perempuan yang menggendong bayinya di belakangnya. Dava memeluk Dea begitu erat, bahkan karena eratnya dan rasa rindu Dava pada Dea. Ponsel yang ada di genggamannya membuat telapak tangan Dava yang putih terlihat memerah, Dava juga melampiaskan rindunya itu pada ponsel yang masih Ia genggam. Seolah Dea akan lepas jika tidak Ia peluk seerat sekarang ini. "Isteriku." kata Dava tidak melunturkan senyumnya sama sekali. Alisia dan Kai yang sudah tahu itu Dea tertawa melihat tingkah polah Dava. Sedangkan Randu yang sudah tahu status Dava namun belum tahu Dea seperti apa hanya bisa bertanya-tanya, sedangkan yang lainnya sibuk ingin tahu siapa wanita yang di peluk Dava dan membuat Dava begitu bahagia itu. "Aku disini, Yang." kata Dea melepaskan pelukan Dava darinya, menyusuri wajah Dava yang entah kenapa semakin dewasa dan begitu tampan. "Aku merindukanmu." Dava meraih tubuh Dea lagi dan mengeratkan pelukannya, dan Dea memang pasrah ada di dalam pelukan hangat Dava. Ia juga sama rindunya dengan Dava, Dea juga tidak menyangkal jika Ia sangat rindu pada Dava. "Aku merindukanmu, Yang." Dea mengalungkan lengannya di ceruk leher Dava dengan kata itu, Dava mengangguk dengan senyumnya. Dava juga mengusap punggung Dea naik turun, memberikan rasa hangat pada Dea. "Aku juga merindukan baby Vandra." Dea melepaskan pelukannya setelah mengecup pipi kiri Dava. "Mbak Kamila." Kamila maju, Dava sudah tidak sabar lalu dengan cepat mengambil alih untuk menggendong babynya ke dalam pelukannya. "Ayah rindu berat sama Kamu, Sayang." ungkap Dava, Dava menciumi pipi Vandra yang terlelap itu dengan gemas. Tidak peduli dengan tatapan para pengunjung yang menatap kearah mereka. "Kita duduk dulu ya Yang, Aku capek." rengek Dea, Dava mengalihkan matanya dari Vandra ke Dea. Dengan satu tangannya Ia mengusap surai panjang Dea lalu tersenyum pada isterinya itu. "Ada Kak Alisia juga disini." Dea dengan cepat menoleh ke meja dimana tadi Dava duduk disana. "Kak Alisia, Kak Kai." Dea segera berjalan kearah Alisia yang sudah siap menyambutnya. "Selamat datang di Berlin lagi, Dea." Dea masuk ke dalam pelukan Alisia dengan senyumnya, Alisia membalas pelukan Dea dengan tidak kalah eratnya. "Aku kangen sama Kakak." ungkap Dea jujur, Alisia adalah orang yang selalu melindunginya saat hamil Vandra. Orang yang begitu baik juga mau menjaga suaminya. Dava yang ada di belakang tubuh Dea memeluk pinggang Dea posesif. Alisia menggelengkan kepalanya melihat tingkah posesif Dava pada Dea. Alisia segera melepaskan pelukannya, tahu jika Dava sudah akan memonopoli Dea. Seperti yang Dava ungkapkan saat mengantarkan jadwal kuliah tambahannya ke Dosen ilmu bisnis di kampus mereka. "Kamu tahu seberapa marah Dia tadi?" bisik Alisia di telinga Dea, Dea terkekeh dengan melirik Dava sebentar. "Kaya bukan suamiku kan Kak?" tanya Dea yang di jawab Alisia dengan anggukan. "Rawwwrrr, menyeramkan." ucap Alisia, Dea terkekeh mendengar nada mengejek dari Alisia lalu Dea menatap Dava yang sibuk dengan Vandra. "Dea ku." dengan cepat Kai memeluk Dea, seolah ada alarm tanda bahaya Dava segera menoleh kearah suara. "Lepas enggak?" tanyanya menghujam tajam pada Kai, tidak lupa sorot mata yang siap menguliti Kai. Kai tidak segera melepaskan pelukannya, Ia malah menjulurkan lidahnya pada Dava yang sudah siap dengan kepalan tangannya yang mengudara. "Yang!". Dea meneguk ludahnya, dengan cepat melepaskan pelukan Kai darinya. "Kak Kai tambah ganteng." puji Dea karena rasa bersalahnya atas tindakan Dava yang sudah menarik belakang kerah baju pria itu setelah melepaskan tangan kekarnya dari pinggang Dea, agar Kai terpisah dari Dea. "Yang!" tekan Dava untuk Dea, Dea menatap suaminya dan dengan nakal mengerling pada Dava. "Aku hanya padamu kok, Yang." Dea sebenarnya malu mengatakan itu di depan banyak orang, tapi untuk mengurangi rasa marah Dava ya hanya dengan cara itu. Dava tersenyum lalu mengangguk. "Harus padaku." mutlaknya, Dea sebenarnya ingin memutar matanya namun tidak berani jika dihadapannya adalah Dava, suaminya. Dava membawa Dea untuk duduk, dengan senyum manisnya Dea menatap semua orang. Sedangkan Dava sudah memonopoli Vandra, dan ada Alisia juga yang ikut heboh melihat baby Vandra itu. "De, kenalin mereka semua teman satu fakultas Dava." kata Kai menginteruksi. Dea tersenyum, Randu yang lebih dulu mengulurkan tangannya. "Randu Sanjaya." Dea menerimanya. "Deandra." lalu Dea beralih pada seorang pria lainnya. "Thomas.". "Deandra.". "Shasahana.". "Deandra." Dea mengulurkan tangannya pada Michaela yang di balas wanita itu dengan senyum juga uluran tangannya. Tangan Michaela yang ada di genggaman tangan Dea mendadak kaku saat ucapan tidak terduga terlontar dari bibir tebal Dava. "Dea, isteriku." ucapan Dava begitu tenang dan dengan senyum yang mengarah penuh pada Dea. Dava memang sengaja menekan kata isteri untuk memperingati Michaela, Dava bukan pria yang tidak peka untuk tidak mengetahui ketertarikan Michaela pada dirinya. Banyak wanita yang tertarik padanya, namun Dava harus mempeloporkan dirinya yang sudah menikah dihadapan wanita yang secara terang-terangan mendekatinya. Michaela sendiri yang dapat serangan dari ucapan Dava kembali menatap Dea dan kemudian pada Dava yang benar-benar terlihat dari mata pria itu bahwa Dava begitu mencintai Dea. Sudah sejak awal Michaela menyadari cinta itu saat Dava dengan cepat menoleh ke belakang saat menerima telfon tadi, dan bagaimana kesalnya Dava pada si penelfon. Dan wanita berstatus sebagai isteri pria idamannya itu terlihat begitu anggun dan ramah, dan mata wanita itu yang tajam namun penuh kelembutan. Pikiran Michaela teralih saat suara Randu begitu heboh menginteruksi. "Kamu isteri Dava, wow. Jadi benar ya kata Dava, Kamu cantik dan mampu meluluhkan manusia es kaya si Dava.". Dea segera menoleh pada Dava lagi saat mendengar suara Randu. "Masa suamiku kaya es Kak?" tanya Dea dengan senyum menggoda kearah suaminya. Dava bukannya tersinggung namun malah menunjukkan senyum pepsodent yang begitu manis. Semua orang melongo, dan Dava sudah beralih pada babynya lagi. Menciumi babynya itu sampai pipinya memerah, Dea yang melihat itu hanya mampu tersenyum. "Terus Dav, ini anak Lo?" tanya Thomas yang mengeluarkan suara, Dava menatapnya lalu mengangguk. "Iya, ini anak Gue." jawaban Dava benar-benar membuat semua orang yang belum tahu terkejut. Dava baru berumur 20 tahun, memasuki semester ke lima di Universitas Humboldt dan sudah menikah bahkan memiliki anak. Mereka tidak bisa membayangkan jika wanita-wanita yang mengejar Dava akan patah hati secara bersama-sama nantinya. Dava menggenggam tangan Dea yang bebas dari menggendong Vandra dan disana mereka baru menyadari bahwa Dava dan Dea memiliki cincin yang sama, tentu itu adalah cincin pernikahan. "Yang, Kamu enggak pesan makanan?" tanya Dava, Dea menggeleng. "Aku udah makan sebelum mendarat tadi." jawab Dea jujur. "Terus Mbak Kamila?" Dea menatap Kamila yang duduk di kursi yang lain. "Mbak Mila." Kamila menoleh kearah Dea. "Iya Nona?" Dea tersenyum. "Mau makan? Pesan dulu saja." Kamila menggeleng. "Tidak Nona, Saya sudah makan tadi." jawabnya sopan. "Ya sudah, Mbak pesan minuman apa gitu ya. Aku mau kumpul sebentar sama teman Dava." Kamila menganggukkan kepala mengiyakan. Dea kembali pada semua teman Dava yang menatap kearahnya. "Pesan minum dulu ya, Yang?" tawar Dava lagi. "Iya deh, Yang. Vandra mau apa?" tanya Dea pada Vandra dengan senyumnya, Dea sedikit menoel pipi menggemaskan puterinya. Tentu pemandangan yang luar biasa bagi sebagian orang yang ada disana, mereka tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya mengurus anak saat usia mereka baru menginjak dua puluhan tahun. "Ih Kamu Yang, kok dari tadi Vandra tidur terus? Enggak kangen Ayah ya?" dari tadi suara mereka begitu ramai, namun sama sekali Vandra tidak membuka mata dan terusik. "Mungkin Dia merasa hangat Kamu gendong, Yang. Untung enggak lagi musim dingin, kasian Vandra kalau pas Kita kesini lagi musim dingin." Jelas Dea, Dava mengangguk. Iklim di Indonesia begitu berbeda dengan iklim di Berlin, dan Vandra merupakan bayi kecil yang sejak lahir sudah terbiasa dengan iklim tropis yang ada di Indonesia. "Iya ih, Dia yang merah begini kalau musim dingin mau jadi kepiting rebus merahnya." Dava berdecak dengan ucapan Alisia yang menyamakan Vandra dengan kepiting rebus. "Lebih elit dong Kak, masa kepiting rebus." Protes Dava, semua orang tertawa mendengar ucapan Dava. Baru kali ini mereka melihat sosok Dava yang lembut dan penuh dengan senyumnya, hanya karena satu orang dapat mengubah suasana hati serta dinginnya manusia kutub seperti Dava. Dea ikut bergabung dalam obrolan mereka, sedikit tahu apa yang mereka bahas. Tentu Dea tahu karena sebentar lagi Ia akan kembali melanjutkan studinya yang tertunda. Izin dari keluarga besar sudah Ia kantongi, terlebih izin dari orang tuanya sendiri yang sangat mendukung keputusan Dea. Ferdy dan Tamara tidak membatasi mimpi puterinya, ingin menjadi Ibu rumah tangga saja ataupun menjadi Dokter seperti yang Dia cita-citakan tidak masalah bagi mereka. Yang lebih penting dari keluarga yang sudah memiliki harta melimpah adalah kebahagian dalam keluarga itu sendiri, itu yang selalu Ferdy dan Tamara pikirkan untuk kehidupan puterinya. Mereka tidak masalah dengan mereka yang bekerja tanpa henti, mereka juga bersalah dalam hal menjaga Dea hingga kejadian masa lalu membuat Dea trauma. Dan keputusan mereka untuk menikahkan Dea dengan Dava sepertinya membuat puterinya itu bahagia dan mendapatkan dukungan yang tidak pernah Dea dapat saat bersama keduanya. Tidak ada yang tahu seberapa sibuk Ferdy dan Tamara setiap harinya sampai-sampai Dea lebih senang tinggal bersama keluarga dari suaminya, namun Dea yakin jika orang tuanya begitu mencintainya sampai rasa cinta itu tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Toh mereka membuktikan bahwa mereka tidak salah memilihkan suami yang terbaik untuk Dea, suami yang menjaga dan melindunginya. Suami yang akan terus memikirkannya berulang-ulang sebelum membuat Dea merasa kecewa lagi, dan Dava tentu tidak akan membuat Dea menangis walau itu hanya dalam bayangannya. Bukankah itu sudah cukup bagi Dea? Apa yang Ia harapkan? Berharap orang tuanya selalu ada dan menemaninya? Tentu Dea juga tidak akan egois dalam hal itu. Mereka yang membesarkan Dea, memberi tanpa pamrih dan terus memberi pada Dea dengan tulus. Dea tidak akan seperti itu, melihat dan mengagumi suami serta puterinya sudah begitu cukup membuat Dea bahagia. Dia tidak ingin serakah dengan terus mengikat orang tuanya untuk terus menemaninya. ★★★★ Jangan lupa Loves ?, Readers.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN