Suami pengertian

2199 Kata
Dava merenggangkan otot tangannya yang kebas pagi ini, Dava tersenyum saat mengingat jika tangan kebasnya karena Ia mendekap erat Dea dalam pelukannya. Dava juga tidak mengizinkan Dea menggunakan bantalnya, Dava meminta Dea untuk tidur dengan bantalan lengannya. Walau Dava tahu akan seperti ini jadinya, namun untuk Dea. Apa yang tidak mungkin Ia lakukan, mungkin Dia memiliki kekurangan. Namun di depan Dea, Dava ingin menjadi pria yang dapat diandalkan. Dava tahu jika kesempurnaan bukan miliknya, namun menjadi orang yang bisa diandalkan adalah pilihan hidupnya dalam kehidupan pernikahan ini. Dava semakin melebarkan senyumnya saat menghirup aroma rempah khas Indonesia, Dava menyibak selimut berwarna Abunya lalu kakinya menggantung sebentar untuk melancarkan peredaran darahnya. Dava memakai sandal rumahannya, melihat box bayi yang sudah kosong disebelah ranjangnya. Dava semakin percaya jika Vandra sudah menemani Ibu nya dan juga Mbak Kamila yang sengaja Tamara minta untuk menemani Dea selama di Berlin. Entah berapa lama Dea akan berada di Berlin menemaninya, namun seberapa singkat pun Dava patut bersyukur karena Dea akhirnya bisa membuatkan sarapan untuknya. Dava membuka pintu kamarnya lalu turun dari tangga dengan half naked dengan bawahan Jogger kain polos. Dava semakin tersenyum saat aroma enak dan menggugah nafsu makannya itu semakin menguat juga di indera penciumannya. "Pagi." Sapa Dava pada semua orang yang ada di dapur, disana ada Dea dengan apron merah maroon yang menggantung di leher dan juga mengikat tubuh rampingnya. Mbak Kamila juga tidak luput berada di dapur serta satu bayi mungil yang masih tidur di keranjang bayi yang hanya berukuran kecil tanpa pembatas, namun selimut membungkus tubuh kecil itu agar tetap hangat. "Pagi Yang." Sapa Dea dengan senyum dan juga menatap suaminya itu sebentar sebelum menerima kecupan paginya di pipi sebelah kiri dari suaminya. "Pagi Tuan." Balas Mbak Kamila, Dava tersenyum. "Panggil Dava aja Mbak, Tuan seperti Dava sudah tua saja." Canda Dava dengan panggilan yang diberikan Mbak Kamila padanya. Kini kaki Dava memutar untuk melihat puterinya yang masih terlelap itu setelah menerima jawaban setuju dari Mbak Kamila. Tentu umur mereka terpaut lebih dari sepuluh tahun, jadi menurut Dava tidak sopan dirinya jika harus di panggil Tuan oleh wanita yang mungkin sepatutnya seumuran adik Mama nya itu. "Pagi Sayangnya Ayah." Sapa Dava pada Vandra yang masih terlelap dalam tidurnya. "Bangun jam berapa tadi Yang, Vandra nya?" Tanya Dava pada Dea yang masih sibuk dengan kegiatan masaknya. "Jam lima deh, Yang." Jawab Dea dengan meniup-niup kuah opornya yang siap Ia cicipi. Dava yang mendengar jawaban Dea tersenyum lalu menoel pipi Vandra. "Emang sering bangun pagi ya Dia?" Dea mengangguk setelah menikmati kuah opornya, merasa pas dengan rasa yang Dia inginkan. "Iya Yang, tapi kadang juga Dia bangun jam enam kok." Jawab Dea menjelaskan tentang kegiatan Puteri mereka setiap harinya jika Dava tidak berada disampingnya. "Nanti kuliah jam berapa, Yang?" Kini Dea yang bertanya, Dava menoleh menatap sang isteri. "Jam tujuh Yang, seperti biasa. Aku pulang jam tiga sore, terus Aku bakal ada kegiatan lagi sampai jam tujuh." Dea membalikkan badannya, menatap suaminya yang tetap menatap Vandra. Seolah Dava baru saja keceplosan soal kegiatannya yang padat pada sang isteri, Dava kembali menatap kearah Vandra. Tidak ingin menatap kearah Dea, tentu hal itu juga membuat Dea menjadi heran . "Kenapa kegiatanmu banyak sekali, Yang?" Tanya Dea, Dava masih tidak menatap isterinya dan menyibukkan diri dengan menoel pipi Vandra. Dea mematikan kompor saat opornya juga sudah mendidih, Dea mencuci tangannya lalu mendekati Dava saat Dava juga tidak bersuara. "Yang." Dea mengusap bahu Dava, Dava akhirnya menoleh. Dea bukan tidak tahu jika Dava juga mengikuti kuliah kilat ilmu bisnis, namun melihat kegiatan Dava yang begitu padat. Seolah Dava memang bekerja keras mengenai hal itu, Dava juga terlihat memaksakan dirinya. Dava membalikkan badannya saat tangan lembut itu berada di bahunya, matanya entah kenapa tidak berani menatap mata tajam nan lembut milik isterinya. Biasanya mata itu adalah mata yang bisa membuatnya merasa damai dan tidak bisa membuat Dava berbuat apa-apa. Dan sepertinya saat ini Dia memang telah menjatuhkan diri hingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyangkal apapun yang akan terjadi, mata Dea juga mampu membaca apapun yang Dia lakukan walau mulutnya terkunci rapat. "Yang, coba lihat Aku." Suara Dea begitu lembut hingga mata Dava refleks menatap kearah manik mata Dea, Mbak Kamila yang tahu situasi menyingkir dari sana sebentar. "Maaf." Dea diam saat ucapan maaf terlontar dari mulut Dava, Dea akhirnya tersenyum setelah sekian lama hanya diam. Apa Dea begitu menakuti Dava? Batin Dea. "Kenapa minta maaf?" Tanya Dea pada suaminya itu, Dava meraih tangan Dea yang ada di wajahnya saat bertanya hal itu. "Karena Aku menyembunyikan banyak hal padamu." Dea mengangguk, ingin tahu bagaimana Dava akan menjelaskan padanya. "Saat itu Aku sudah berunding dengan Papa mengenai kuliahku sebelum Aku berangkat ke Berlin, terlebih saat Kamu hamil. Aku memang memutuskan untuk menjadi Dokter setelah melihat Kamu mengalami trauma De, sungguh. Pindahku Fakultas bukan karena Kamu yang ingin menjadi Dokter, terlebih dari pada itu. Aku ingin menjadi suami yang dapat menjaga dan menyembuhkan luka saat isteriku sendiri terluka.". "Sekarang ada Vandra juga ditengah keluarga kecil Kita, Aku ingin melakukan apa yang bisa Aku lakukan sendiri untuk keluargaku.". "Saat tes itupun Aku sudah memutuskan untuk mengikuti tes Fakultas kedokteran, bukan ilmu bisnis." Dea akhirnya mengerti, jadi memang Dava melakukan ini karena memang pada awalnya Dava memiliki tujuan, bukan karena dirinya dan itu melegakan untuk Dea. "Lalu kenapa Kamu membuat cerita seolah Kamu pindah Fakultas? Itu terdengar konyol loh Dav, terlebih Kamu kuliah di Berlin dengan penyeleksian begitu ketat pada Mahasiswa asing." Dava tersenyum. "Menutupi tujuanku, Yang." Jawab Dava dengan senyumnya, Dea menggeleng kecil lalu tersenyum. "Kamu malu ya mengakui tujuanmu sebenarnya dan malah membuatku merasa bersalah?" Dava menggeleng. "Aku ingin Kamu tidak terlalu berpikir, namun sepertinya Kamu memang tidak mudah untuk ditipu." Jelas Dava. "Itu jawaban yang sudah jelas, Yang. Di negara Kita saja itu hal yang sulit, apalagi di Negera yang ketat pendidikan seperti Berlin ini. Jadi pada awalnya Kamu memang ingin menjadi Dokter kan?" Dava mengangguk. "Kamu tahukan riwayat keluargaku semuanya Dokter? Mama juga pernah jadi perawat namun berhenti saat hamil Kak Sean." Dea mengangguk mengiyakan, Dea tahu jika Mama mertuanya itu adalah mantan perawat di rumah sakit Papa mertuanya. Namun Dea belum pernah mendengar cerita lengkap dari Mama mertuanya itu sendiri, mungkin Dea akan tanya ke Sabrina tentang perjalanannya saat menjadi perawat. "Iya Aku tahu." Jawab Dea, Dava mengarahkan Dea dalam pelukannya. "Menjadi Dokter karena pilihanku De, Aku ingin belajar ilmu bisnis juga karena keinginanku dan di dukung oleh Papa." Dea menaikkan sebelah alisnya. "Papa Fandy?" Dava menggeleng. "Tentu bukan, Papa Ferdy." Dea menukikkan dahinya. "Kamu dipaksa Papa?" Tanya Dea mulai curiga dengan jawaban Dava, Dava tersenyum. "Kamu curiga pada Papa atau padaku?" Tanya Dava, Dea berdecak. "Kalian berdua, sepertinya kalian menyembunyikan hal lain dariku." Dava menggelengkan kepalanya kecil dengan tingkah Dea yang menggemaskan kali ini. "Papa tahu kalau Kamu tidak mungkin menjadi wanita karir, lalu siapa yang akan menjalankan bisnis Papa?" Dea menatap Dava intens. "Maksudmu adalah, Kamu memaksakan diri belajar bisnis karena hal itu?" Dava menghadapkan Dea kearahnya lalu tersenyum, Dava mengusap puncak kepala Dea dengan lembut. "Jangan berpikir lebih, Yang.". "Kamu tahu kenapa Papa butuh Aku?" Dea hanya menatap mata Dava tanpa menjawab pertanyaan Dava. "Karena Papa tidak memiliki anak lain selain Kamu, Yang. Dan Papa hanya memiliki Aku yang sudah Ia anggap sebagai Puteranya saat Puterinya yang cantik ini sudah menikah denganku, dan Dia juga ingin menjadi Dokter.". "Kamu lupa seberapa besar dan berat perjuangan Papa dan Mama Kamu agar sampai pada tahap perusahaan Navela seperti sekarang ini?". "Aku yang tidak rela jika perjuangan mereka menjadi sia-sia, mereka menyiapkan semua ini untuk Kamu. Untuk Puteri dan cucu-cucunya nanti." Dava memegang kedua bahu Dea dengan lembut. "Papa percaya sama Kamu, Kamu adalah wanita yang akan memerankan peranmu sebagai isteri dan Ibu untuk anak Kita. Papa tidak menghalangi Kamu dan memaklumi pilihan Kamu itu, Yang. Namun terlebih dari itu, Papa telah menyiapkan semua hal untuk Kamu dan keluarga keturunan Navela.". "Apa Kamu berpikir untuk melepaskan apa yang mereka perjuangkan?" Tanya Dava, Dea yang mendengar itu entah kenapa meneteskan air mata. Dava membawa Dea dalam pelukannya dengan mengusap punggung Dea dengan lembut. "Papa tidak pernah mengatakan apapun padaku." Aku Dea pada semua ucapan Dava, selama ini Papa nya tidak mengeluhkan apapun yang Dea inginkan. "Kamu pasti tahu bagaimana mereka, Yang. Mereka hanya ingin kebahagiaanmu dan menghormati keputusanmu." Jelas Dava, Dea mengeratkan pelukannya pada Dava. "Apa saja yang Papa katakan padamu?" Tanya Dea, Dea ingin tahu apa yang Papa nya ucapkan pada suaminya dan tidak pernah Ferdy ungkapkan padanya. "Tidak banyak Dea, hanya sebatas mereka tidak akan menghalangi cita-citamu dan akan terus mendukungmu. Papa dan Mama maklum dengan Kamu yang lebih memilih memerankan peranmu sebagai isteri dan Ibu bagi Puteri kecil Kita saat ini." Dea mendongak menatap Dava yang juga menatapnya, entah kenapa Dea melihat bahwa Dava begitu senang dan bahagia. "Kenapa Kamu bahagia karena hal itu?" Dava mencium puncak hidung Dea karena gemasnya. "Kenapa tidak, Yang? Kamu lebih peduli pada keutuhan keluarga kecil Kita dengan keputusanmu itu, memang apa yang diharapkan oleh seorang suami? Seorang isteri yang bekerja pagi sampai malam? Tentu tidak. Apa seorang isteri yang akan pulang ketika suami juga pulang kerja? Tentu tidak. Apa seorang isteri yang berpenghasilan sama dengan suami? Tentu tidak.". "Aku lebih mengharapkan Kamu yang ketika Aku pulang kerja dan lelah, Kamu sudah siap menyambutku dengan hangat. Aku lebih mengharapkan Kamu yang menggendong Vandra dengan senyum manis dengan menyambut kedatanganku. Aku mengharapkan Kamu yang menyiapkan makanan setiap hari di rumah, walau tidak berpenghasilan. Bukankah itu memang tugas suami? Mencari nafkah untuk keluarganya". "Aku tidak menyangkal jika sekarang banyak wanita memiliki karir yang mumpuni, namun ketika Kamu sudah mendapatkan semuanya. Apapun yang sulit tidak akan Kamu jalani De, Kamu akan memilih jalan lama dan mudah. Bukankah itu kodrat isteri ketika suami sudah dapat melakukannya untuk keluarga?" Dea tersenyum, lalu memeluk Dava. Dea membenarkan ucapan Dava, Dia terlahir dari keluarga yang mapan. Apapun dapat Ia beli dengan mudah, apapun bisa Ia lakukan di rumah tanpa susah payah. Tapi apakah Dava tidak akan mengizinkannya untuk kembali berkuliah? Tapi Dava juga mengatakan jika Papa nya ingin Dia mencapai tujuannya, menjadi seorang Dokter. "Yang.". "Hm?" Dava tetap memeluk Dea walau Dea memanggilnya. "Apa Kamu akan marah?" Dava menundukkan kepalanya. "Marah untuk?" Tanya Dava, kulit Dava yang half naked membuat pipi Dea merasa hangat. Ditambah lagi dengan keraguan Dea menambah kehangatan itu karena adrenalin Dea yang meningkat, hanya telapak tangan Dea yang terasa dingin saat ingin mengatakan hal ini. "Apa Kamu akan marah kalau Aku-." Ucapan Dea terpotong oleh tangisan Vandra, Dava dan Dea menatap bayinya itu lalu keduanya saling pandang dan tersenyum. Dea yang akan bertanya mendadak hanya bisa membuang nafas, terlebih saat Dava langsung melepaskan pelukannya dan menggendong Vandra. "Pagi Puteri Ayah." Sapa Dava saat Vandra sudah ada dalam dekapan hangatnya, bayi berusia dua bulan itu langsung diam mendengar suara Dava. "Kamu haus?" Tanya Dava saat mulut Vandra terbuka dan kepala bayi itu seolah mencari sumber makanannya. "Sini Yang, Kamu mandi gih. Tuh jamnya sudah mepet." Dea memperingati Dava dengan mengedikkan kepalanya kearah jam dinding, Dava melihat jamnya dan membuang nafas ketika waktunya untuk bersama Vandra harus terhambat dengan jadwal kuliah paginya. "Kamu lama sih Nak bangunnya, Ayah jadi enggak bisa main-main sama Kamu." Dava mengomel namun wajahnya menampilkan senyum melihat mata Vandra yang menurun seratus persen dari isterinya. Dava dengan hati-hati memberikan Vandra pada Dea, setelahnya Dava memeluk Dea dari belakang. Dava mencium kening Vandra dari tubuhnya yang mencondong ke samping tubuh Dea, seolah Dava memeluk Dea sekaligus ikut menggendong Vandra. "Nanti Kita bicara lagi, Yang. Aku mau ngobrol banyak sama Kamu, tapi jadwal kuliahku sangat padat." Wajah Dava begitu menyesal karena tidak bisa menemani Dea, padahal ini hari pertama Dea ada di Berlin dan Dava malah harus seharian berada di kampus. Dea tersenyum lalu mengangguk, Dea juga harus menyiapkan kata-kata untuk mengobrolkan hal penting ini dengan Dava. "Iya Yang, mandi sana." Jawab Dea lalu meminta Dava untuk segera bersiap. Dava mencium pipi kiri Dea lalu menoel pipi sang Puteri yang terus mencari sumber makanan utamanya. "Ayah mandi dulu ya Nak, Kamu minum ASI dulu sama Ibu." Dava sekali lagi mencium kening puterinya sebelum beranjak dari dapur, Dea membuang nafas. Merasa gugup dan bingung akan berbicara dengan Dava nantinya mengenai kuliahnya. Padahal saat ini Dea tidak bisa mundur lagi, kuliahnya sudah memasuki proses Ospek sebentar lagi dan Dia hanya belum mengantongi izin dari Dava saja. Dea berjalan kearah kursi makan, menggeret kursi dengan satu tangannya yang bebas lalu mendudukkan dirinya disana. "Kamu haus ya Nak?" Tanya Dea pada Vandra, Dea mengambil kain yang ada diatas meja makan. Kain tipis yang Dea gunakan untuk menutup kepala Puterinya ketika meminum ASI, Dea selalu melakukannya. Dea tersenyum saat tangan kecil Puterinya menggenggam salah satu jari tangannya, tangan hangat nan mungil itu selalu dapat membuat suasana hati Dea kembali membaik. Dea menepuk-nepuk pelan p****t Vandra saat Vandra meminum ASI, Vandra selalu diam saat minum. Seolah bayi itu memang menikmati acara minumnya, Dea melihat Mbak Kamila yang kembali masuk ke dalam dapur. "Maaf ya Mbak." Mbak Kamila menatap sang Nona muda lalu tersenyum. "Tidak apa-apa kok Non, lebih baik segera di bicarakan." Dea tersenyum namun juga memikirkan kalimat terakhir yang diucapkan Mbak Kamila. Dea membiarkan Mbak Kamila mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai, yaitu menyiapkan sarapan untuk Dava dan menatanya di meja makan. ★★★★ Jangan lupa Loves ?, Readers.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN