L & U

2600 Kata
"Loh Dava." Dava segera menolehkan kepalanya saat seorang wanita terdengar menyapanya, Dava familiar dengan suara itu. "Kak Alisia." Dava segera berjalan kearah dimana Alisia, Kai, Stevania ada disana, termasuk Fani serta Evelyn yang hanya diam menunduk ketika Dava sampai di hadapan mereka. Kaki Dava yang tadi akan menaiki tangga Fakultas Bisnis Ia putar ke tempat para sahabatnya berada. "Lo ngapain ke sini?" Dava memutar matanya malas saat suara Kai seolah malas melihatnya ada disini. Dava ikut duduk di lingkaran meja itu, banyak Mahasiswa yang menghabiskan waktu di taman fakultas ilmu bisnis saat ini setelah atau sebelum jam kuliah mereka berlangsung. Mereka akan mempelajari materi yang akan dan yang sudah mereka dengarkan dari Dosen, termasuk mereka semua saat ini yang belajar ilmu bisnis. "Antar jadwal." Jawab Dava sekenanya, Kai menatap Dava tidak percaya. "Otak Lo juga perlu istirahat Dav, enggak usah maksa." Dava hanya diam, tidak menanggapi ucapan Kai. Karena akan seperti Dea tentunya, melarangnya untuk mengikuti kuliah tambahan dari Profesor ilmu bisnisnya. "Gue cukup istirahat." Alisia berdecak. "Bucin akut mah beda." nah kalau ini Dava bisa tertawa. "Lo tahu Gue, Kak." Alisia menepuk-nepuk bahu Dava dengan bangga, toh Dava sudah dekat dengan Alisia. "Gue juga mau sih punya suami kaya Elo." Celetuk Stevania, Kai terkekeh dengan pertanyaan yang melantur. "Gue enggak cukup ya buat Lo aja?" Stevania memutar mata malas dengan memukul kepala Kai dengan buku materinya. "Lo mah bukan bucin lagi, Lo kaya micin tahu enggak. Rela mati perlahan demi si Stevania, kaya efect MSG." semua orang tertawa termasuk Dava atas ucapan Alisia, bahkan Kai yang di ejek pun ikut tertawa. Entah urat malu dan juga lainnya yang ada pada diri Kai hilang kemana. "Tuh, Alisia saja tahu bagaimana Aku padamu.". "Gila!" Stev berteriak di depan wajah Kai yang semakin tertawa terbahak. Berbeda dengan mereka yang tertawa, Fani dan Evelyn hanya diam tanpa menimpali ucapan semua temannya. "Oh iya Dav, bagaimana keadaan Dea? Terus baby Lo?" kini Kai bertanya antusias. Dava terkekeh, Ia mengeluarkan ponselnya. Mengotak-atiknya sebentar lalu dengan senyumnya menunjukkan layar ponselnya yang menyala pada semua sahabatnya itu. "Itu baby Gue." Alisia menutup mulutnya. "Astaga gembulnya baby Lo." ucap Alisia dengan sangat antusias, bahkan Alisia dengan cepat merebut ponsel Dava dari tangan sang pemiliknya saat galeri ponsel Dava menunjukkan potrait gembul sang Puteri tunggal sahabatnya itu. Namun Alisia menatap Dava dan foto bayi itu bergantian. "Aneh deh Dav, Lo kok enggak ada mirip-miripnya ya?" kekehan Kai terdengar begitu mengejek Dava, membuat Dava menggeram tertahan. Dia tahu jika babynya begitu berbeda dengannya, lebih mirip dengan Dea membuat Dava sering kali protes pada isterinya itu. "Lo bisa diem enggak sih?" ketus Dava pada Kai, Kai yang melihat wajah menyeramkan Dava dengan cepat menahan tawanya. Meski sangat sulit untuk Kai tahan dan pada akhirnya juga lolos dari bibir tebal Kai. Alisia dan Stevania yang ikut tertawa juga diam, terlebih Dava bukan tipikal orang yang akan terhibur dengan candaan mereka yang biasa saja. "Terus foto Dea mana?" dan mata tajam Dava sebagai hadiah pertanyaan dari Kai itu. Enak saja pria itu menanyakan isterinya, mau Ia kuliti rupanya. "Ini si Dea kan Dav?" Dava melotot saat Alisia menslide galerinya yang berisi foto Dea setelah melahirkan. Dava akan merebut ponselnya, namun masih kalah cepat dengan gerakan tangan Kai yang sudah menatap layar ponselnya. Dava dengan cepat merebut ponselnya saat Kai menelan ludahnya, dengan mata yang tidak berkedip sama sekali. Terakhir kali mereka melihat Dea ketika Dea hamil tujuh bulan dan harus pulang kembali ke Indonesia. Mata Dava melotot menakutkan saat melihat layar ponselnya, menampilkan wajah Dea yang saat itu diam-diam Ia potret saat setelah menyusui Vandra. "Gila, Dea tambah cantik dan errr seksi." tawa Alisia dan Stevania meledak, apalagi melihat wajah Dava yang merah padam menahan kesal pada Kai karena telah lancang melihat foto Dea. "Gue belum selesai Kai, awas Lo!" Dava akan menarik kerah baju Kai mendadak mengurungkan niatnya karena ponselnya bergetar. Dava melihat siapa penelfonnya di pagi ini, senyum Dava merekah saat tahu siapa yang menghubunginya. "Iya Sayang." Dava dengan sengaja menekan kata Sayang nya agar Kai menatapnya, bukannya Kai kesal. Tapi malah memutar matanya malas dengan ekspresi Dava yang berubah total ketika yang menghubunginya adalah Dea. Mereka yakin bahwa itu Dea karena Dava berubah menjadi gula yang di lumerkan. "Kamu sedang apa?" tanya Dea diseberang. "Aku mau kasih jadwal ke Profesor Yang, Kamu sendiri?" tanya Dava balik, di seberang sana Dava dapat mendengar juga suara Mama nya yang sedang berteriak-teriak menyebut nama Sean dan Dea yang juga tertawa. Entah apa yang diributkan keluarganya, namun Dava masih mendengar apa yang mereka rebutkan. "Yang, kok ramai sekali? Ada apa sih?" Dea mungkin menghentikan tawanya di seberang sana. "Itu tuh Yang, si Mama sama Kak Sean lagi berebut Vandra." Dava kembali mendengar suara Dea yang tertawa, di iringi teriakan Mama nya lagi. "Sean, jangan kurang ajar sama Mama. Balikin cucu Mama!" Dava ikut terkekeh membayangkan betapa geramnya Mama nya dan seberapa bahagia wajah Sean saat mampu menggoda Mama nya. Jarang sekali mereka bisa mengalahkan Mama nya, wanita itu menang dalam segala hal. Ucapan dan kehebohan Sabrina selalu meramaikan rumah, namun sifat Mama nya itu tidak ada yang menurun pada kedua puteranya sama sekali. "Ih seru pasti, terus Vandra bagaimana?" Dea mengaduh yang membuat Dava gelagapan, merasa khawatir telah terjadi sesuatu pada isterinya. "Yang, ada apa?" lalu suara Dea terdengar dengan tawanya, begitu juga dengan suara Sean yang meneriaki Mama nya. "Mama! Sakit telinga Sean, Ma." Dava yakin itu suara penderitaan Sean, Dava malah senang mendengar suara kesakitan Sean saat ini. "Kamu kurang ajar sama Mama, ampun enggak Kamu?" Dava tertawa mendengar bagaimana tersiksanya Sean disana, apalagi mendengar suara Mama nya yang sudah begitu geram. "Bilangin ke Mama Yang, hajar aja lagi Kak Sean. Masa cuma di jewer aja." Dava berseru dengan bahagia, mungkin melihat Kakak nya yang sedang tersiksa adalah kesenangan tersendiri untuknya. Karena Kakak nya itu juga tidak tanggung-tanggung jika sudah menggoda dirinya, bahkan mengambil kesempatan dalam kesempitan juga. Kadang peluk Dea, cium Dea bahkan kadang Sean sengaja mengiriminya foto yang berpose layaknya suami siaga untuk Dea. "Kamu kok gitu sih, Yang?" tanya Dea, Dava terkekeh. "Habis Kak Sean juga suka modus sama Kamu, biar Mama yang bantu Aku bales Dia." Dea terkekeh di seberang sana. "Belum tambah Aku di rumah Yang, jika sudah ada Aku. Lihat saja, baby Vandra mau Aku monopoli sendiri." Dea lagi-lagi tertawa mendengar penuturan sang suami, itu yang Dea harapkan. Keluarganya utuh dan dapat berkumpul kembali. "Terserah Kamu saja deh Yang, baby Kamu juga-.". "Termasuk Ibu nya, mau Aku monopoli untuk Aku sendiri." setelah ucapan itu, semua orang yang ada di meja Dava tertawa. Sumpah ya, mereka tidak habis pikir dengan rasa cinta Dava pada Dea seberapa besar. Tapi pria dingin itu benar-benar menjadi manis saat di hadapkan dengan Dea nya. "Iya Yang Aku tahu, oh ya. Kamu sama siapa saja?" Dava melihat ke arah Alisia dengan senyumnya, lalu pada Kai dengan bibir yang mencebik dan pada Stevania dengan senyum juga. Pada Fani dan Evelyn juga, walau Dava sangat malas. "Ada Kak Alisia, Kail, Stevania, Fani dan Evelyn juga." Dea mendadak diam saat Dava menyebut kedua wanita itu. "Aku cuma antar jadwal terus ketemu Kak Alisia di taman Fakultas." Dava tahu Ia membuat suasana hati Dea tidak baik setelah menyebut nama Fani dan Evelyn, tapi bukankah Dea yang meminta Papa nya untuk sedikit berbaik hati pada kedua wanita itu. Dea meminta Ferdy untuk tetap membiarkan keduanya berada di Berlin, menuntaskan pendidikan mereka walau keluarga mereka telah di hancurkan oleh Ferdy. "Kail siapa sih, Yang?" Dea tahu Dava, suaminya. Ia sebenarnya tidak begitu masalah dengan kedua wanita yang disebutkan Dava barusan. Ia hanya memikirkan nama Kail yang disebutkan oleh suaminya itu. Tawa Dava meledak, Ia menatap Kai yang sudah menatap tajam padanya. "Kailendra, Yang." jelas Dava pada Dea, Dea terkekeh. "Jangan gitu dong Yang, kasian Kak Kai nya.". "Iya Yang, mau bicara sama Kak Alisia? Aku mau tinggal ke Profesor dulu buat kasih jadwal." Dea mengiyakan usulan Dava. "Nanti Aku telfon lagi ya Yang, jangan abaikan telfon dariku. Atau Aku akan pesan tiket dan tiba-tiba memelukmu." Dea malah tertawa dengan ancaman Dava, walau mungkin saja benar ancaman itu Dava lakukan kapan saja. "Aku tunggu deh Kamu peluk Aku." Dava juga tertawa. "Kamu nakal ya? Ok, bye isteriku yang manis, imut dan miliknya Dava, L.". "Iya Yang, U." setelah mendapatkan balasan cintanya dari Dea, Dava memberikan ponselnya pada seluruh sahabatnya lalu Ia beranjak guna menemui Profesornya. Hanya seperti ini saja dan Dava sudah begitu bahagia memiliki Dea serta Vandra dalam hidupnya. "Hai De." Sapa semua orang saat sambungan telfon Dava, Alisia alihkan ke panggilan video. "Hai Kak Al, Kak Kai dan Kak Stev." Sapa balik Dea saat melihat ketiga orang itu yang saling menghimpit dalam melakukan panggilan video, terutama Kai yang ingin menguasai ponsel milik Dava. "Lama Kita enggak ketemu De." Dea tersenyum manis lalu mengangguk. "Iya Kak, Dea harap bisa ketemu sama kalian." Nada suara Dea begitu lembut, Dea juga tersenyum. Inilah kenapa semua orang menyakini jika Dava dapat bertekuk lutut mencintai Dea, wanita bernama Dea itu begitu baik dan penyayang tanpa syarat. "Pasti, Kakak juga mau bertemu dengan baby Vandra." Dea tersenyum lalu menoleh ke belakang, dimana disana ada dua orang yang sedang sibuk merawat seseorang bayi. "Nanti Aku kasih lihat Vandra ke kalian, tapi untuk saat ini Dia lagi di monopoli sama Nenek dan Om nya." Dea menjelaskan keadaan Vandra, mereka semua dapat mengintip bagaimana seorang paruh baya yang sibuk memberikan mainan pada seorang bayi dan seorang pria sedang menggoda. "Siapa Dia, De?" Stevania bertanya saat matanya menatap pria di belakang Dea, Dea menatap belakangnya kembali. "Kak, sini." Dea memanggil Sean, pria yang kini memakai kaos longgar bergaris itu mendongakkan kepalanya kearah Dea. "Kenapa De?" Tanya Sean, namun kakinya juga tetap melangkah kearah Dea yang memanggilnya. Sean tepat berada di belakang kursi yang Dea duduki lalu tersenyum kearah ponsel Dea setelah membungkukkan badannya, tahu apa yang dilakukan oleh adik iparnya itu. "Teman-teman kuliah Dava, Kak." Sean tersenyum lalu menyapa mereka yang terlihat di ponsel Dea. "Hallo semua, Saya Sean. Kakak Dava dan Dea." Sapa Sean, Stevania yang melihat dan mendengar sapaan Sean tiba-tiba merasakan pipinya memerah. Dea yang menyadari itu terkekeh lalu berbisik pada Sean. "Jangan bikin anak orang baper Kak, nanti di minta tanggung jawab." Sean yang tahu arah pembicaraan Dea malah tersenyum dengan begitu manis, lalu menepuk kepala Dea dengan lembut. "Hallo Kak Sean." Balas Kai dan Alisia bersamaan. "Dimana bocah es itu?" Tanya Sean saat tidak melihat keberadaan sang adik, Alisia yang menjawab pertanyaan Sean. "Oh, Dia sedang antar jadwal dan tugas kuliahnya ke Profesor, Kak." Jawab Alisia dengan senyumannya, Sean menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu kalian lanjutkan, Kakak mau godain Mama lagi." Pamit Sean pada semua teman Dava dan juga pada Dea dengan senyumnya, tidak lupa juga Sean menepuk kepala Dea dengan lembut. Tidak ada adiknya untuk Ia goda sehingga Sean memilih untuk menggoda Mama nya saja. "Jangan terlalu berlebihan Kak, nanti Mama ngamuk baru tahu rasa." Peringat Dea, Sean bukannya menuruti peringatan Dea tapi malah tersenyum misterius. Membuat Dea nampak berpikir namun kemudian menggeleng, tidak ingin ambil pusing dengan kelakuan Sean lagi. Sean kemudian beranjak dari belakang Dea dengan jalannya yang benar-benar seperti pria gantle, tinggi badan yang lebih tinggi dari Dava dan otot-otot keras yang sudah terbentuk dan sangat tegak saat berjalan membuat semua wanita harusnya dengan cepat mengantre di belakang Sean, namun anehnya sampai saat ini Sean malah terus asik menjomblo. "Itu Kakak Dava, De?" Tanya Kai setelah tidak melihat Sean di belakang Dea, Dea mengangguk dengan pandangan kembali mengarah pada semua sahabat Dava. "Iya Kak, Dia satu-satunya Kakak Dava dan Aku." Kai menggeleng dramatis. "Ya Tuhan, engkau menyempurnakan yang sudah begitu sempurna." Alisia dan Stev menatap Kai yang menengadahkan tangannya seperti orang berdoa dengan nada yang benar-benar luar biasa memelas. "Lo kenapa deh?" Tanya Stev pada tingkah laku Kai, Kai menggeleng lalu membuang nafas. "Hidup Lo menderita banget ya Bambang." Dea hanya mampu tersenyum mendengar ledekan Alisia pada Kai. "Gila, Dava aja udah kaya makhluk sempurna dan sekarang Gue lihat cerminan Dava yang ada pada Kak Sean.". "Bukan hanya cerminan, tapi itu kaya Dava versi dewasanya. Yang ganteng mah memang tetap ganteng, itupun satu keluarga kenapa kaya sempurna banget sih hidupnya." Tambah Kai, Dea tersenyum. "Enggak ada hidup orang yang sempurna Kak." Sangkal Dea, memang itulah hidup. Jika Kita selalu menatap hidup orang terlihat sempurna, namun bagaimana orang yang menjalaninya?. "Hidup Kamu sama Dava, De. Kamu memiliki segalanya, keluarga, secara finansial Kamu tidak perlu mencarinya dan juga cinta." Dea tersenyum namun mengerti akan bagaimana orang melihat hidupnya. "Lalu kenapa Aku dan Dava harus terpisah Kak? Jika hidup Kita begitu sempurna? Aku di Indonesia dan Dava di Berlin menempuh pendidikan." Mereka semua diam saat pertanyaan Dea begitu mengena di hati mereka. "Kalau semua sudah sempurna, untuk apa kami memilih jalan seperti ini?" Pertanyaan Dea tidak ada yang bisa menjawabnya, itulah manusia dan Dea paham akan pandangan orang. "Maaf Dea." Ucap Kai, Dea menggeleng dan tersenyum. "Dea paham maksud Kakak, Dea memang sensitif saat Dea harus kembali mengingat jika Dea sedang jauh dari Dava." Alisia tersenyum saat mendengar ucapan Dea. "Kamu harus kuat Dea, bukan hanya Kamu yang sedang jauh dari suami. Ada Aku, Kita mengalami kesepian yang sama. Aku tahu bagaimana rasanya itu, ingin memeluk namun tidak bisa, ingin menatap namun jauh dan ingin mengeluarkan rindu namun tertahan." Dea mengangguk, tahukah mereka jika saat ini Dava sudah berada di jarak yang mampu mendengar semua ucapan mereka. Ucapan yang mengatakan jika tidak ada hidup manusia yang sempurna meski terlihat seperti itu. Dava membuang nafas sebelum kakinya kembali melangkah kearah semua sahabatnya berada. "Iya Kak, Aku masih beruntung karena memiliki keluarga dari suamiku yang begitu menyayangiku. Aku tidak akan takut jika kesepian, tidak takut jika Aku mengeluarkan rindu, Aku bisa memeluk mereka dan mereka akan memelukku dengan kedua tangan terbuka untuk masuk dalam kehidupan mereka. Aku percaya pada Dava dan Dia juga sudah memberiku cinta yang tidak kurang." Kai akhirnya bisa bernafas lega saat Dea adalah wanita yang begitu kuat dan tidak akan menyerah akan cinta. "K-.". "Pada ngomongin apa?" Tanya Dava yang tiba-tiba memotong ucapan Kai yang belum sempat terucap, Dava tidak akan membiarkan Dea merasa sedih ataupun memikirkan dirinya berlebihan, Dava tersenyum dengan alis dinaikkan satu. Lalu Dava menatap pada layar ponselnya yang menampilkan Dea, Dava yakin jika Dea habis mengusap ujung matanya. Hati Dava terasa tercubit namun Dava tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa Ia lakukan adalah seolah tidak melihat dan mendengar apapun. "Kok diam?" Tanya Dava saat semua sahabat dan isterinya juga diam, Dea yang tahu kondisi langsung tersenyum. "Enggak kok, Yang. Mereka tadi buat lelucon dan Aku sampai mengeluarkan air mata." Dea adalah juara umum dalam angkatannya, kecepatannya berpikir tentu tidak dapat diragukan lagi. Dava mengangguk lalu tersenyum. "Aku mau kembali ke Fakultas kedokteran, jadi untuk sementara kalian sampai sini dulu ya ngobrolnya." Dava merebut ponselnya yang ada di tangan Alisia lalu mengarahkan layar ponselnya pada dirinya sendiri. Alisia tahu, Dava adalah pria yang tidak polos. Sedangkan Kai mencoba memprotes tindakan Dava yang mengambil ponselnya begitu saja. "Dav, Kita belum selesai ngobrol sama Dea." Protes Kau, Alisia hanya bisa membuang nafas pasrah dengan ketidak pekaan sahabat satunya itu. "Gue mau kembali ke Fakultas kedokteran, Lo diem-diem disini." Ucap Dava tajam pada Kai, Kai mendengus. "Sialan Lo, memang Lo kira Gue selalu kelayapan?". "Kak, Gue cabut." Dava pamit pada Alisia yang diangguki oleh Alisia, Dava kembali kembali fokus pada Dea saat Ia berjalan menjauhi Fakultas ilmu Bisnis. "Yang." Dava dapat melihat Dea yang tersenyum, Dava melihat sekitar saat Ia sudah menjauh dari taman Fakultas. "Hm?" Jawab Dea dengan deheman. "Jangan lupa hubungi Aku nanti, Aku masih ada kelas sekali lagi." Dea mengangguk. "Iya Yang, Aku akan hubungi Kamu nanti." Dava tersenyum. "L.". "U." ★★★★ Jangan lupa Loves ?, Readers.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN