Indonesia (Dea)

1541 Kata
Dea terbangun saat jam masih menunjukkan pukul 03:00 pagi, ini sudah seminggu sejak Dava berangkat lagi ke Berlin. Sejak hari pertama Dava yang tanpa kabar yang membuat Dea begitu khawatir, kini Dea merasa baik-baik saja tanpa Dava disampingnya. Dea merasa tidak apa-apa karena Ia sedikit teralih dengan adanya Vandra di kehidupannya, Ia malah mengkhawatirkan Dava yang jauh darinya juga baby mereka. Rasa rindu sering Dava ungkapkan ketika mengirim pesan atau pun berbicara langsung dengannya melalui sambungan telfon. Dan karena itu Dea kadang susah tidur, memikirkan suaminya yang manis itu menahan rindu pada Dea dan juga Vandra. Dea adalah wanita lembut dengan otaknya yang selalu memikirkan suaminya dari pada dirinya sendiri, dan Dava juga sering khawatir mengenai isterinya itu. Mungkin memang benar pikiran Dea, dan terdengar masuk akal juga. Walau Dava bertemu dengan banyak orang di Kampus, tapi percayalah. Ketika sendiri, seseorang yang jauh akan merasakan kesepian itu. Merindu namun tidak bisa menyapa bahkan memeluk orang yang di rindukan, itu begitu menyiksa. Dea juga merasa begitu, ketika Vandra sudah tidur. Dea selalu merasa kesepian tanpa Dava, senyumnya dan segala perlakuan manis pria tampan itu. Siapa yang tidak akan rindu dengan suami sebaik dan selembut Dava? Memprioritaskan keluarga dari pada menghabiskan waktu berjalan-jalan bersama teman-temannya, sejak dulu dan sejak Dava menerima Dea dalam hidupnya. Dea menatap babynya yang selalu tidur seranjang dengannya itu dengan senyumnya, Ia masih belum percaya jika Ia sudah menjadi Ibu di usia yang sangat muda. Usia yang harusnya berkumpul dengan teman kuliah dan nongkrong-nongkrong cantik di usianya yang baru 19 tahun ini. Tapi Dea bahagia menjadi Ibu, sungguh Dea benar-benar bahagia dan bangga akan statusnya sekarang. Dea membenahi tidur Vandra yang begitu cantik dan manis. Dea menyadari jika Vandra benar-benar mirip dengannya, dan hal itulah yang selalu Dava protes tiap kali melihat Vandra. Dea terkekeh mengingat ucapan Dava kala itu, bahkan Dava menuduhnya tidak membatin Dava atau pun memikirkan Dava saat hamil. Ingatkah Dava jika saat hamil Dea juga harus jauh dari Dava? Bagaimana Dea tidak membatin atau memikirkan Dava saat itu? Ingin sekali Dea protes, namun melihat wajah cemberut Dava saat protes itu begitu lucu dan Dea malah ingin menggoda suaminya itu. Dea mencium kedua pipi dan kening Vandra sebelum Ia beranjak dari ranjang. Memastikan babynya tidur nyaman lalu melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Mencuci wajah dan menggosok giginya, Ia sudah mendengar suara bising dari dapur rumah Mama mertuanya ini. Dea yakin bahwa Sabrina sudah bangun di jam 04:00 pagi ini. Dea keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih fresh, lalu Ia melangkahkan kakinya ke meja riasnya. Dea mencari ikat rambutnya, Dea menyanggul rambut panjangnya tinggi. Kakinya kemudian melangkah untuk menuruni tangga, setelah melahirkan Ia tinggal di rumah mertuanya dan menempati kamar Dava. Dea melihat punggung Sabrina yang sibuk dengan alat masak dan juga sayuran. Di bantu dengan satu ART dan satu lagi seseorang yang khusus membantu untuk menjaga Vandra. "Pagi Ma." sapa Dea. Sabrina membalikkan badannya. "Pagi Sayang, loh kenapa bangun jam segini? Apa cucu Mama sudah bangun?" Dea tersenyum. "Belum Ma, Dea bangun karena Dea udah enggak bisa tidur lagi." jawab Dea sekenanya, Sabrina tersenyum lalu mengusap puncak kepala Dea sayang. "Segitu rindunya ya?" tanya Sabrina dengan kekehan kecil dan nada menggoda. "Ma." protes Dea, Ia begitu malu karena ketahuan. Diantara kedua wanita itu, tidak ada rasa canggung antara menantu dan mertua. Mertua seperti Sabrina begitu mengerti Dea dalam segala hal, seperti saat Dea marah pada Dava. Sabrina lah yang membuat Dea sadar bahwa Dava begitu takut jauh dan kehilangannya. Dea juga bersyukur bahwa Sabrina bukanlah Ibu mertua yang galak dan jahat seperti yang ada di dalam n****+, Sabrina adalah Ibu mertua layaknya Ibu sendiri bagi Dea. "Ok, Mama diam kok." Sabrina kembali melanjutkan kegiatannya, Ia memilih berhenti menggoda menantunya karena tidak ingin Dea merasa semakin rindu pada putera dinginnya itu. Mengingat seberapa dingin Dava dulu membuat Sabrina berdecak tanpa sadar. "Apa yang bisa Dea bantu, Ma?" Sabrina tersenyum mendengar pertanyaan Dea. "Kamu duduk saja." Suruh Sabrina pada Dea, Dea menggeleng. "Aku mau bantu Mama dulu sekarang, lagian masih pagi kok, Ma." Sabrina mengangguk, lalu memberikan sebagian sayuran yang belum Ia potong pada Dea. Sebelum membantu Dea terlebih dahulu memakai apron yang masih tersimpan di dalam laci salah satu lemari disana. "Ma." Sabrina menatap Dea yang memanggilnya namun Dea masih memotong sayurannya. "Menurut Mama, jika Dea kuliah saat ini. Apa Dava setuju?" Sabrina kini benar-benar menatap menantunya saat pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut menantunya, gerakan tangannya yang memotong sayuran juga otomatis terhenti. "Apa Kamu yakin Sayang?" Dea menatap Sabrina dengan senyumnya, Dea mengangguk sebagai jawaban. "Ya Ma, bukankah ketika Vandra berusia 3 bulan adalah waktu yang pas pendaftaran untuk Mahasiswa baru?" Sabrina membawa Dea duduk di meja makan dengan lembut, meninggalkan kegiatan dapur mereka yang baru mereka mulai. "Sayang dengar ya, Kamu enggak harus memaksa diri dulu untuk kuliah. Tapi Mama juga enggak bisa larang Kamu buat lanjutin studi Kamu, karena urusan Vandra. Mama bisa tangani sama Bi Lani. Mama enggak mau Kamu merasa terbebani, Mama juga ingin lihat Kamu kumpul sama teman Kamu. Tapi Sayang, Kamu bicarakan ini baik-baik sama Dava ya? Yang paling susah buat izinin Kamu kembali melanjutkan studi adalah suami Kamu sendiri. Mama minta Kamu bicara sama Dava dengan kepala dingin." Ucap Sabrina menasehati, tahu betul dengan sifat putera keduanya itu. "Kamu pasti lebih mengenal Dava yang sekarang dari pada Mama." Dea mengangguk atas ucapan Sabrina yang benar adanya. Yang paling sulit dari rencana Dea untuk kuliah lagi adalah Dava, bukan Dava mencegahnya. Namun Dea yakin suaminya itu begitu khawatir akan dirinya, sudah menjadi ciri khas Dava sekali setelah Dava benar-benar menerima Dea dalam hidup pria itu. Semua hal harus dilakukan Dea setelah memikirkannya dengan matang, tidak bisa menyusahkan diri sendiri dan juga jangan sampai mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang Ibu. "Kalau Mama pribadi bakal izini Kamu kuliah Dea, tapi Mama enggak mungkin izini Kamu kuliah di luar Jakarta. Mama bakal kesepian kalau enggak ada cucu Mama.". "Mama mungkin egois karena melarang Kamu yang mungkin niat kuliah sama Dava tapi-." Dea segera meraih tangan Mama mertuanya dengan lembut lalu tersenyum. "Ma, Aku enggak niat kuliah di luar negeri kok. Tenang ya? Dea bakal kuliah di Jakarta, Vandra tetap di rumah ini sama Aku dan Mama juga. Aku mau kuliah saat pihak kampus hubungi Aku lagi, beasiswaku ternyata masih bisa Aku ambil Ma. Asalkan Aku bisa melewati tes dan hasil yang Aku dapat tidak menurun dari hasil rapor serta ujian akhirku saat masih SMA." Sabrina menaikkan sebelah alisnya. "Jadi-" Dea mengangguk meyakinkan Mama mertuanya itu, Dea paham bagaimana perasaan Sabrina. Mama mertuanya itu sudah terbiasa dengan adanya Vandra dan tangis baby gembul itu. Dan setiap harinya Vandra juga selalu bersama Sabrina, Dea paham itu. Memisahkan Sabrina juga tidak mungkin, bahkan kuliah bersama Dava juga tidak mungkin, siapa yang akan menjaga Vandra disana? Dea tidak yakin dengan jasa pengasuh bayi. Dea butuh orang terpercaya untuk puteri cantiknya itu dan mencari orang tidaklah mudah, apalagi di luar negeri. "Dea bakal disini sama Mama Papa dan Kak Sean, Dea enggak bakal kuliah di luar negeri. Dea kuliah di Jakarta, lagian dari dulu Dea sudah berniat kuliah di Jakarta saja." Sabrina mengangguk, akhirnya senyum lega itu hadir di wajah paruh baya Mama mertuanya. "Maafkan Mama ya Dea, Mama egois tapi Mama benar-benar tidak tega jika Vandra harus dibawa ke sana nanti, jauh dari Mama." Dea mengangguk dengan senyumnya. "Ih kok Mama nangis sih?" Dea mengusap pipi Sabrina yang melelehkan air mata disana, Sabrina menangis walau hanya membayangkan Vandra dan Dea jauh darinya. "Mama terharu, Mama bahagia, Mama bersyukur karena Kamu yang jadi menantu Mama, Dea. Menantu idaman dan juga isteri yang mampu membuat putera Mama yang dingin itu berubah menjadi seperti gulali manisnya." Dea terkekeh saat Sabrina menyinggung sifat Dava. "Aku enggak melakukan apa-apa Ma, itu kemauan Dava untuk berubah. Dea yang patut berterima kasih karena Mama begitu baik, Sayang Dea dan juga menerima Dea yang pernah mengalami trauma ini dengan kedua tangan terbuka." Sabrina dan Dea tertawa. "Kenapa sepagi ini Kita melow sekali ya De?" Dea mengusap sedikit pelupuk matanya yang sedikit berair juga, tahukah jika Dea begitu bahagia sekarang. Di sekelilingnya banyak orang baik dan begitu menyayanginya, Ia tidak masalah jika orang tuanya jarang di rumah untuk bersama dengannya. Sudah cukup mengerti Dea akan bagaimana sibuknya kedua orang tuanya, Dea sudah punya orang tua dari suaminya yang juga menyayanginya sama seperti orang tuanya sendiri. "Iya ya Ma, kemarin-kemarin Dava yang bilang melow banget. Sampai Dea bingung bagaimana harus menenangkannya." Sabrina terkekeh. "Mama tahu jika Dia begitu rindu padamu, namun tidak dapat melakukan apapun. Salahkan dirinya sendiri karena begitu saja membuat keputusan tanpa pertimbangan dari Kamu." Entah, ini anak kandung Sabrina, Dea atau Dava. Namun dari nada Sabrina saat ini, Sabrina sedang mengejek keputusan Dava untuk berkuliah di Berlin. "Dia pasti berat Ma, Dea hanya harus mendukung keputusan beratnya itu." Sabrina mengangguk mengiyakan jawaban dari Dea. "Kamu benar De, Mama salut sama kalian. Kalian harus bisa melewati segalanya dengan baik, ingatlah perjuangan Kamu saat mengambil hatinya. Pria itu juga harus diberi pelajaran agar dapat memahaminya, wanita hanya butuh di mengerti. Kalian sudah tidak perlu memikirkan finansial, hanya harus menjaga keutuhan keluarga kecil kalian. Mama percaya jika cinta kalian akan semakin kuat dengan adanya rasa percaya dan saling mengerti." Dea tersenyum dan mengangguk. "Iya Ma, Dea begitu mencintai Dava.". ★★★★ Mohon tinggalkan Loves ?, Readers.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN