Idola Kampus

2592 Kata
Dava memakai kemeja berwarna putih yang kancingnya sengaja tidak dikancingkan sampai atas, memperlihatkan dadanya yang sangat bagus dan atletis. Dengan berpaduan celana jeans berwarna biru muda pudar lalu juga dipadukan dengan sepatu Loafer berwarna coklat. Dava juga sengaja memasukkan kemeja putihnya namun tidak begitu rapi, seperti biasa. Rambut hitam dan lebatnya juga dibiarkan acak-acakan, kesan itulah yang membuat Dava menjadi Mahasiswa asal Indonesia yang sangat mencolok. Dari segi manapun, Dava memiliki wajah blasteran yang sangat pas dan enak untuk dilihat. Seperti saat ini, Dava berjalan di halaman kampus untuk menuju ke kelas paginya. Namun setiap langkah yang Dava ambil selalu menjadi bahan pembicaraan yang tidak ada habisnya, padahal sikap Dava di lingkungan kampus sudah terkenal dengan sikap dingin dan angkuhnya. Namun hal itu tidak membuat para Mahasiswi begitu saja lari dari mengidolakan Dava, Dava juga terkenal dengan otaknya yang cemerlang. Dan hal itulah yang menjadi bukti bahwa Dava patut menyandang gelar pria paling di idolakan di Fakultas kedokteran dan menerima predikat Mahasiswa akselarasi Indonesia paling berbakat. Dava memiliki kemampuan dalam semua bidang, yang paling menonjol adalah bidang olahraga. Dava memang menyukai olahraga, dan saat mengingat hal itu. Dava juga mengingat pengalamannya saat menjadi guru olahraga saat SMA bersama kedua sahabatnya, untuk rasa tanggung jawabnya menjadi suami Dea. Dava rela menghabiskan waktu sorenya untuk memberikan pelajaran tambahan olahraga bagi murid-murid SD dan SMP yang menggemari olahraga basket. Penghasilan Dava tidak seberapa karena semacam les private, namun Dava bahagia saat menjalaninya dan membayangkan wajah Dea ketika Dia pulang dari rasa lelah itu. Dava terus melangkahkan kakinya kearah kelas paginya, Dava mengernyit saat melihat Randu yang bersandar pada tembok di depan kelas. "Lo ngapain jadi patung disitu?" Tanya Dava setelah kakinya mendekat kearah sahabat barunya itu. "CK, mulut Lo Dav. Lebih lembut dikit bisa kan?" Tanya Randu dengan wajah kesal. "Muka Lo nabrak apa tadi?" Mata Randu langsung membulat dengan pertanyaan Dava padanya, Randu menggelengkan kepalanya. Seolah Ia terkena musibah memiliki sahabat Dava yang mulutnya sama sekali tidak berfilter ini, dan Dava bertanya dengan terus melangkah kan kakinya. Pria itu bahkan masuk ke dalam kelas, Randu yang memang dari awal menunggu Dava hanya mampu mengikuti. "Gue nunggu Lo loh Dav, dan Lo malah ninggalin Gue." Dava tidak menggubris ucapan Randu, Dava duduk di kursi barisan paling depan yang belum ada peminatnya sama sekali. Padahal kursi barisan ketiga sampai belakang sudah begitu penuh, pada dasarnya mereka juga sama seperti murid SD dan SMP. Takut dengan kursi paling depan dan memilih kursi yang tidak terlihat dari jangkuan para Dosen. Dan biasanya kursi paling depan diisi oleh mahasiswa yang memakai kaca mata dengan tumpukan buku paling banyak. "Kejam Lo ke Gue." Dava melirik Randu yang masih memprotes tindakannya. "Salah Lo bukan salah Gue." Randu hanya bisa mengelus d**a. "Lo dikasih makan apa sih sama isteri Lo? Segitunya banget." Tanya Randu ingin tahu, Dava menatap Randu. "Sono married biar tahu." Jawab Dava dengan senyum manis, hal itu membuat Randu hanya bisa membuka mulutnya tidak percaya. "Married? Gue?" Gumam Randu, entah apa yang ada dalam pikiran Randu soal menikah di usia mereka saat ini. Yang jelas hal itu bukan sesuatu yang menguntungkan bagi pria yang lahir di Jakarta itu. ★★★★ Dava dan Randu memasukkan alat perangnya, sejenis buku materi dan juga alat-alat tulisnya. Sudah berjam-jam mereka semua yang dalam kelas Dava mengikuti materi kuliah, sampai-sampai p****t mereka rasanya begitu panas. Ada juga yang baru bangun dari tidurnya saat Dosen keluar setelah menutup materi dengan tugas baru. "Lo ke kantin?" Tanya Randu, Dava mengangguk sebagai jawaban. Dava dan Randu beranjak dari duduknya setelah selesai membereskan alat belajarnya, Dava dan Randu berjalan beriringan membuat seluruh koridor kampus mendadak bising. Dava memainkan ponselnya, begitupun Randu. Mereka berdua malas untuk melihat wajah-wajah wanita yang terus mengagumi mereka berdua, terlebih Dava. Pria berstatus Ayah satu anak itu lebih senang membalas pesan dari isterinya yang menanyakan apa kuliahnya sudah selesai? Tentu Dava akan menjawabnya dengan emot tersenyum dengan tanda love untuk Dea. Senyum Dava menjadi teriakan untuk mereka para Mahasiswi yang melihat hal itu, Dava mendongak saat mendengar suara bising itu. "Kenapa?" Tanya Dava saat Randu melihatnya juga. "Lo barusan kasih senyum ke mereka." Dava terlihat cuek. "Gue enggak senyum." Randu mengedikkan bahunya, terserah Dava mau apalah ya. Randu dan Dava tetap berjalan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku, mereka sudah menyimpan ponsel mereka. Gerakan kaki mereka diikuti oleh Mahasiswi lain di belakang mereka yang ingin ke kantin juga. Aroma parfum Dava membuat bisik-bisik di belakang mereka. "Bukankah ini aroma parfum wanita?" Tanya salah satu wanita yang tepat berada di belakang Dava, wanita satunya mencoba menghirupnya dan memang benar. Mereka menghirup aroma parfum wanita dari udara yang di lewati Dava, wanita itu menoleh ke belakang dan saat itulah kepala wanita itu menubruk punggung Dava. Dava berhenti, membuang nafas lalu kembali bergerak kearah meja kantin yang kosong. Seperti biasa, kantin selalu bising dengan banyaknya Mahasiswa lainnya. Dava hanya mengikuti Randu, Dava dan Randu berhenti untuk melihat meja kantin yang kosong. Karena kantin begitu luas dan penuh, jadi harus teliti dalam mencari tempat. Biasanya Dava dan Randu akan mencari tempat terpencil yang dihuni oleh teman Mahasiswa yang suka bikin rusuh, kenapa demikian? Agar Dava dan Randu tidak menjadi incaran para wanita yang menggilai wajah pria tampan. Foto keduanya sudah sering di ungguh di akun pribadi para wanita dan di group-group yang sengaja mereka buat untuk mengagumi sosok tampan di Fakultas kedokteran ini. Toh memang dari semua Fakultas yang ada di Humboldt ini, Mahasiswa dari Fakultas kedokteran lah yang paling menonjol. Secara berpakaian, pendidikan yang tinggi dan juga Mahasiswa serta Mahasiswi nya memiliki wajah yang tidak diragukan lagi. Dava dan Randu mengantre untuk mengambil makanannya, tubuh mereka juga tidak kalah tinggi dari orang-orang yang memang berasal dari negara daratan Eropa. Dava dan Randu berjalan maju saat antrean semakin dekat dengan koki kantin, seorang koki yang berumur sekitar 37 tahun tersenyum pada Dava. Dava membalas senyum sang koki lalu berkata. "Bonus für Sie, Sie bringen sie zum Essen in die Kantine zurück, was hygienischer und gesünder ist." Dava tersenyum, padahal Dia tidak melakukan apapun untuk membuat mereka yang sedang ikut mengantre untuk makan di kantin. Dava melihat menu yang Ia dapat dalam nampan makannya, dua potong daging tambahan. Lalu makanan vegan, mulai tahun ini. Universitas yang ada di Berlin mengurangi emisi karbon yang mempengaruhi iklim dengan mengurangi pengolahan daging sebagai makanan pokok mereka pada awalnya. Hewan ternak menyumbang sekitar 20 persen emisi gas rumah kaca global, padahal juga tidak mudah dilakukan di negara Jerman ini. Karena makanan khas disini selalu memakai daging sebagai bahan dasarnya, sehingga pihak Universitas juga menerapkan hal itu guna membantu menekan emisi karbon yang terjadi saat ini dengan menyediakan makanan vegan, setidaknya 2 kali dalam satu minggu. Tidak mudah juga menghilangkan kebiasaan mengkonsumsi olahan daging, dan target itu bisa terpenuhi pada tahun 2030 mendatang. "Danke sehr." Sang koki mengangguk dengan tersenyum, Dava juga pergi kearah tempat duduknya. Hanya ada Randu dan juga Dava di jajaran kursi dengan meja yang saling terhubung itu. Ponsel dalam saku Dava bergetar, Dava membuka ponselnya saat sebuah pesan masuk ke dalam notifikasi chat miliknya. 'Menu makanmu apa, Yang?' Dava memotret menu makan siangnya lalu mengirimkan menu dalam bentuk gambar pada layar ponselnya itu untuk Ia kirim pada isterinya. 'Kamu dapat daging?' Dava tersenyum dengan mulai memakan makanannya. 'Iya, namun masih enak makanan yang Kamu siapkan, Yang.' jawab Dava dengan jarinya yang lincah mengetikkan balasan untuk sang isteri, mulutnya mengunyah makanan. Namun pikiran Dava fokus pada membalas pesan dari Dea, Randu menggeleng dengan kelakuan sahabatnya itu. "Kau tidak ingin makan inikan?" Tanya Randu, Dava yang fokus pada ponsel mendongak. Melihat tangan Randu yang sudah terjulur kearah nampan makan siangnya dengan sumpit yang sudah mencapit salah satu potongan daging miliknya, Dava memutar matanya lalu berkata. "Jika Kau ingin, ambil saja." Randu yang mendapat rambu izin langsung menyupit daging Dava yang merupakan daging bonus dari sang koki. "Ah, enaknya." Randu adalah pecinta makanan berbahan khas daging, dan Randu memang selalu suka dengan kuliner asli negara Jerman. Dan Dava berpikir jika Randu adalah salah satu penyebab emisi karbon berlebih itu, Randu menatap Dava yang melirik kearahnya dengan bahu terangkat. "Kenapa?" Tanya Randu pada tingkah Dava yang menatapnya, seolah menilai lalu ingin menelannya. "Tidak." Randu tidak peduli dengan Dava, Ia menikmati dagingnya dengan lahap. Dava kembali pada acara makannya, kini sendok Dava beralih pada menu vegannya. Terdapat sayuran, kacang-kacangan dan juga beberapa jenis jamur. Dava mencecap rasanya, seperti ada bumbu saus tiram. Udangnya juga terasa di mulutnya, Dava mengangguk-anggukan kepalanya saat menu ini juga cocok di lidahnya. Dava beralih ke sumpitnya, lalu menyumpit dagingnya yang berupa steak. Dava menggigit daging itu, dan rasanya begitu enak serta dagingnya yang lembut. Tidak heran jika koki kantin di Fakultasnya memiliki citra yang baik, karena Dia juga seorang koki yang pintar mencari menu yang pas untuk lidah para Mahasiswa Fakultas kedokteran. Setidaknya dalam satu bulan, ada 3-4 pergantian menu utama. Jadi mereka yang seperti Dava tidak akan menolak untuk makan di kantin, namun bagi mereka yang merasa makanan tidak cocok dengan lidah mereka. Mereka akan membeli makanan lain dari kantin utama, Dava dan Randu merasa sayang dengan uang yang sudah seharusnya untuk membayar menu di kantin yang sudah terhitung dalam uang satu semesternya. "Dav." Dava mendongak saat suara seorang wanita menyerukan namanya. Dava melihat Michaela yang sedang berdiri di seberang meja kantin, Dava hanya sebentar melihat kearah Michaela sebelum Dia kembali pada makanannya. "Ada apa?" Tanya Randu, melihat Dava yang diam saja seolah Randu mengerti. "Gue masih belum ngerti sama poin yang ini." Michaela lantas menarik kursi kantin yang kebetulan sudah kosong tepat dihadapan Dava, lalu Michaela memberikan lembaran artikel dengan tanda lingkaran di poin itu. Michaela menunggu Randu yang melihat poin yang Ia lingkari dengan terus menatap Dava yang sedang makan, pemandangan itu tentu adalah pemandangan yang tidak akan disiakan oleh siapapun termasuk Michaela. "Lo dengerin penjelasan Gue enggak sih Mich?" Dava melirik kearah Randu lalu kepala Dava mendongak pada Michaela yang tetap menatap kearahnya. "Kalau materi dasar saja Dia enggak ngerti, bagaimana sama materi yang lebih sulit lainnya?" Michaela yang mendengar suara Dava terpaksa ditarik ke dunia nyata, Michaela gelagapan dengan ucapan Dava yang sekali ucap dan sangat menusuknya. "Lo enggak butuh Kita jelasin inikan? Kalau gitu Lo enggak usah ganggu acara makan Kita." Michaela yang baru sadar dengan tingkahnya langsung menatap Dava tidak percaya dengan ucapan Dava yang tajam padanya. "Tapi Dav, Gue beneran enggak ngerti soal ini." Dava menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kantin lalu bersidekap d**a menatap Michaela dengan tatapan meremehkan khas dirinya. "Gue mungkin terlalu mentorerir kesalahan Lo, tapi Gue enggak akan diam sampai kelompok yang di bawah kepemimpinan Gue harus ngulang dalam presentasi 3 hari lagi.". "Lo lihat?" Dava menunjuk lingkaran merah yang ada di point yang dimaksud oleh Michaela dengan jari telunjuknya dan penuh dengan penekanan disana. "Gue bukan Randu yang mau bersusah payah jelasin masalah kecil kaya gini ke Lo. Lo lingkarin ini point saat Lo masuk ke dalam kantin." 'jleb' dan seperti pisau yang menusuk tepat di lingkaran matanya, seperti lingkaran merah yang Ia gunakan untuk mengurung satu pointnya itu. Ucapan Dava sepertinya tepat sasaran kali ini, Dava tersenyum miring begitupun dengan Randu. "Gue belum jelasin apapun sama Lo." Dan seperti tertampar ribuan kali, Randu juga ikut berbicara. Michaela menunduk dalam, di kantin masih banyak Mahasiswa dan Mahasiswi yang belum menghabiskan makanan mereka. Walau mereka menggunakan bahasa Indonesia, namun tingkah ketiganya dapat dipastikan jika Michaela sedang membuat kesalahan pada kedua pria yang merupakan pria paling di idolakan itu. Memang Randu belum menjelaskan apapun mengenai point yang ternyata menjelaskan dasar dari isi SKS terakhir dari semester empat mereka, mereka bukan anak SMA yang harus caper dengan hal bodoh. Dalam situasi sekarang ini, khususnya mereka yang Mahasiswa akselarasi sudah dikejar banyak SKS yang harus diselesaikan dalam waktu satu tahun. Bukan perkara mudah dalam satu tahun mereka sudah mendapatkan semester keempat tanpa kerja keras, dan Mahasiswa yang bekerja keras seperti mereka apa mungkin memikirkan hal bodoh seperti yang dilakukan Michaela saat ini? Satu tahun bisa empat semester dan juga satu semester yang lebih dari 50 SKS harus mereka selesaikan dengan minimal nilai baik. Satu tahun yang berharga dan Michaela seperti membuang-buang waktu Dava secara percuma, kemarahan Dava tentu bisa saja tidak terkendali. Sama saat kasus Evelyn itu terjadi, siapa yang tidak tahu kejadian itu? Mungkin saat itu Dava sedang ada di Fakultas Bisnis, namun kejadian itu sudah menyebar hingga seluruh kampus dan banyak Fakultas bagaimana tempramennya Dava. Randu hanya ingin tahu, sebelum Ia menjelaskan. Kemana arah fokus sang penanya, dan sepertinya itu hanya alibi Michaela untuk bisa berbincang dengan Dava. "Kita sudah semester empat Mich, jangan kaya bocah. Sebentar lagi Kita melatih profesionalisme Kita dengan peforma Kita dengan tugas akhir semester." Randu juga ikut berbicara, memberi pengertian pada Michaela untuk berhenti bertingkah seolah semua masalah hanya Dava yang bisa menanganinya. Dan tujuan Michaela sudah sangat jelas disini, siapapun tidak buta. Apalagi status Dava saat ini yang bukan seorang pria lajang lagi, jelas juga Michaela tahu. Mereka kemarin bertemu dengan isteri Dava, dan wanita sejenis Michaela perlu untuk diantisipasi kehadirannya. Toh Randu juga masih sedikit bersimpati dengan pendidikan Michaela jika wanita itu terus mengejar sesuatu yang sudah pasti jawabannya tidak bisa untuk wanita itu raih. Dava beranjak dengan membawa nampannya, Dava menggeser kursi yang Ia duduki dengan tangan satunya. Tas yang semula ada di atas meja Ia tarik begitu saja dengan Ia naikkan keatas bahunya. "Gue udah selesai makan." Ucap Dava lalu berlalu begitu saja tanpa peduli ataupun melirik Michaela. Randu membuang nafas lalu kembali menatap Michaela dengan tersenyum. "Ini yang terakhir Mich, agar Lo tetep bisa lihat Dava disekitar Lo. Lo harus bisa menahan diri Lo sendiri." Randu ikut beranjak lalu mengambil nampannya, Randu mengejar Dava yang sudah selesai dengan mengembalikan nampan pada tempatnya. "Enggak apa-apakan?" Dava menaikkan satu alisnya dengan pertanyaan Randu. "Memang Lo pikir Gue kenapa?" Bukannya menjawab, Dava memberikan pertanyaan pada Randu. "Gue enggak bisa buat Dia jauhin Lo, hanya memperingati Dia untuk tetap diam biar Dia bisa lihat Lo terus." Ucap Randu menjelaskan, Dava menatap Randu dengan bersidekap d**a. "Lo suka sama Dia?" Tanya Dava, Randu melebarkan matanya. "Lo cari mati ya?" Tanya Randu mendadak marah dengan ucapan Dava. "Loh, Gue seneng kalau itu benar." Ucapan Dava dihadiahi Randu dengan memiting kepala Dava di bawah ketiak Randu. "Lepasin kepala Gue!" Pinta Dava, Randu semakin menguatkan pitingannya lalu berucap. "Tarik ucapan Lo!" Dava menepuk-nepuk lengan Randu yang ada dikepalanya. "Tarik yang mana woy?" Dava sudah hampir pusing dengan kuatnya Randu memiting kepalanya. "Kepala Gue, Woy!" Randu tidak melepaskan kepala Dava meski berulang kali Dava memprotesnya. Hal itu membuat semua orang tentu heran, pasalnya mereka selalu tampil cool dan hari ini mereka seperti bocah seperti usia mereka. "Tarik dulu ucapan Lo." Kali ini Randu benar-benar berniat menyakiti kepala pintar Dava, telinga Dava sudah begitu merah seperti kepiting dan Randu masih enggan melepaskan kepala Dava. "Ucapan yang mana?" Untuk menyelamatkan kepalanya, Dava harus sengera mengalah. "Yang Lo bilang Gue suka sama Michaela." Dava berdecak. "Kalau enggak ya sudah, kenapa Lo marah sih?" Dan seperti tertampar, Randu melepaskan kepala Dava dari bawah ketiaknya. "Ishh, kepala Gue!" Dava mendesis, merasa panas dibagian tepi kepalanya. Dava juga merasakan panas di telinganya, sial benar! Dava menatap Randu dengan tatapan tajam. "Baru sadar?" Tanya Dava yang melihat keterdiaman Randu. "Gue lagi mikir Dav." Dava terkekeh. "Lo bisa mikir juga? Emang Lo ada otak?" Setelah bertanya dengan nada mencemooh, Dava berlari. Randu yang sadar dengan ucapan Dava langsung mengejar Dava dengan kekesalan luar biasa. "Heh ! Apa maksud Lo hah?" Keduanya menjadi pusat perhatian, dan mereka seolah tidak peduli dengan tingkah mereka yang terlihat konyol. Dava tertawa saat Randu terus mengejarnya, kalori yang Ia makan biar terbakar sekalian. "Berhenti Lo Dav!". ★★★★ Jangan lupa Loves, ? Readers.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN