Moment

1982 Kata
Dava memeluk Dea dari belakang, hari ini Ia pulang tepat pukul 20:00. Menyelesaikan tugasnya mengikuti Dokter yang dengan suka rela membiarkannya melihat bagaimana Koas awal. Tidak setiap hari memang, namun setidaknya Dia akan menjadi peserta Koas dari channel yang dimiliki Papa mertuanya lebih awal setidaknya dua hari dalam seminggu. Dava harus berterima kasih dalam hal ini pada Papa mertuanya karena ikut serta memadatkan kegiatannya di kampus agar tidak kesepian, dan gusar saat Dea ke Berlin seperti sekarang ini tanpa persiapan apapun. "Yang." Suara serak nan lembut Dea terdengar, Dava menyembunyikan kepalanya di belakang kepala Dea. Menghirup dalam aroma shampo yang sangat menenangkan, seolah menghilangkan rasa lelahnya dari aktivitas padatnya hari ini. "Hm." Jawab Dava dengan deheman, mata Dava terpejam namun mata Dea terbuka. Dea melihat jam dinding kamarnya, matanya menyipit saat melihat jam yang menunjukkan pukul 20:00 malam. "Baru pulang? Sudah makan?" Tanya Dea pada suaminya itu, Dea akan membalikkan badannya namun tangan Dava yang memeluknya menahan pergerakan Dea. "Begini saja sebentar ya, Yang?" Dea pasrah dengan kemanjaan suaminya itu. "Baiklah, tapi sudah makan?" Dea merasakan anggukan kecil di belakang kepalanya, telapak tangan Dea juga mengusap lembut lengan Dava yang melingkar di pinggangnya. Dea membiarkan Dava memeluknya hingga Dea merasakan nafas teratur dari Dava di sela-sela rambutnya hingga ke kulit lehernya. Dea tersenyum, tahu akan lelahnya sang suami meski Dea tidak tahu akan sepadat ini jadwal kuliah suaminya. Dea sedikit mengangkat lengan Dava lalu Dea dengan cepat membalikkan badan, dan baru saja tindakan itu di lakukan Dava sudah memeluknya begitu posesif. Seolah Dava tahu jika Dea akan pergi jika Dava tidak memeluknya sekencang ini, hidung Dea menyentuh hidung Dava yang mancung. Dea tersenyum, masih terasa mimpi yang menjadi kenyataan dapat melihat Dava dengan jarak seperti sekarang ini. Tangan Dea terangkat, menyikap rambut Dava yang menutupi kening pria yang merupakan Ayah dari Puteri kecilnya. Dea membelai kening Dava yang lebar, kerutan tercetak saat Dava terusik di dalam tidurnya. Dea melihat wajah tampan suaminya sama sekali tidak berubah meski Ia pandangi berulang kali, dan Dea bahagia karena itu. "Kamu boleh pandangi Aku sampai Kamu puas." Tangan Dea terhenti saat suara Dava menginterupsinya, Dea melihat mata Dava yang masih tertutup itu. "Mau Aku siapkan air hangat?" Mata Dava perlahan terbuka saat Dea menanyakan hal itu, mata Dava fokus menatap mata Dea hingga Dea hanya mampu tersenyum. "Enggak, Aku masih ingin merasakan isteriku ini mengagumi wajahku." Dea terkekeh namun akhirnya mengangguk. "Tahu sekali kalau Aku sedang mengagumi wajahmu, Yang?" Dava menatap Dea intens. "Terlihat di matamu saat ini." Dahi Dea mengerut. "Masa? Kamu gombal ya?" Dava tersenyum. "Lalu siapa yang Kamu kagumi selain Aku?" Ide jahil terlintas di kepala cantik Dea. "Kak Sean." Mata Dava melebar, dengan segera Dava membalikkan tubuhnya dan berada di atas tubuh Dea. "Katakan sekali lagi?" Perintah Dava pada Dea, Dea menggeleng. "Enggak." Dea menolehkan kepalanya ke samping, Dava tidak akan melepaskan Dea malam ini. "Lihat Aku, siapa yang Kamu lihat dengan menghadap kesana?" Dava juga ikut menolehkan kepalanya kearah pandang Dea saat ini. "Enggak, Yang." Dava tersenyum. "Baik." Dava mulai melakukan kegiatan yang membuat Dea segera menatap suaminya dan 'cup'. Sebuah benda kenyal nan hangat tepat pada bibir Dea yang kecil nan hangat juga, mata Dea melebar. Namun bukan hanya itu, Dava melakukan push up dan kembali mencium bibir Dea. Dea memalingkan wajahnya, dan otomatis Dava mencium pipi Dea. Dea tetap berusaha memalingkan wajahnya dan Dava dapat mencium telinga Dea. Berulang kali dibagikan telinga, Dava tersenyum dengan tingkah isterinya itu. Dava ingin tahu, sampai kapan Dea akan tahan dengan hembusan nafasnya yang menggebu ini. Push up di tempat yang tidak sedatar di lantai juga membuat stamina seseorang menjadi keluar berlebih, tentu nafas juga menjadi tidak teratur dan semakin hangat. "Yang." Telinga Dea mulai memerah, Dea menahan diri agar tidak kembali menatap suaminya. Dava tidak berhenti, tetap melakukan push up diatas tubuh Dea. "Katakan sekali lagi, siapa yang ingin Kamu lihat dalam pandanganmu." Dea meneguk ludah susah payah. "K-kamu." Ucap Dea gugup, antara menahan diri untuk tidak menoleh pada Dava dan juga mengontrol detak jantungnya yang bisa saja terdengar oleh suaminya. "Enggak jelas, Yang. Siapa?" Tanya Dava penuh penekanan namun juga tidak memburu Dea menjawabnya. Mungkin moment inilah yang sangat diinginkan Dava, menikmati waktunya dengan menggoda Dea. "Kamu, Yang. Suamiku Davanas Abigael." Dea merasa geram karena merasa geli di telinganya dan tanpa sadar menolehkan wajahnya tepat saat bibir Dava mendarat di bibirnya dengan sempurna. Dava menahan tubuh dengan sikunya agar tidak benar-benar menekan tubuh Dea. Dava mencium bibir Dea dengan lembut namun menuntut, Dava seperti haus akan semua yang ada pada diri isterinya itu. Belum begitu lama setelah saat terakhir mereka bertemu sebulan yang lalu dan Dava sudah begitu kehausan. Dea menerima ciuman Dava, mengalungkan kedua lengannya pada ceruk leher Dava. Dea juga tidak akan membiarkan Dava melepaskan, Dea lebih senang pasrah pada segala kehausan yang Dava miliki. Sentuhan lembut Dava semakin membuai Dea, Dea benar-benar tidak bisa menolak kelembutan dan kasih sayang yang ditujukan Dava padanya. Otak Dea hanya merangsang nama Dava hingga meluncur keluar dari bibirnya yang begitu manis untuk Dava lewatkan, bibir yang juga hanya mengeluarkan kata-kata ajaib yang mampu memikat Dava hingga seperti ini. "Dav." Dava menghentikan kegiatannya sebentar lalu tersenyum begitu hangat bercampur godaan, Dea meneguk ludahnya. Merasa tidak tahan namun juga penasaran pada perlakuan yang akan Dava berikan padanya. "Sebut namaku, Yang. Hanya sebut namaku di setiap detiknya." Nafas hangat menerpa kulit wajah Dea hingga membuat pipi Dea bersemu tanpa blush on. "Hanya boleh sebut namaku." Dea akhirnya mengangguk saat Dava terlihat tidak akan melepaskannya jika Dia tidak patuh akan keinginan pria yang lebih suka dominan terhadapnya itu. "Aku melakukannya Dav, Aku akan menyebut namamu." Suara Dea semakin hilang bersamaan dengan kecupan hangat di bibirnya, Dava yang mendominasi. ★★★★ Dava mengecup tulang bahu bagian belakang Dea berkali-kali, selimut masih menutupi bagian tubuh keduanya. Meski kegiatan mereka harus terhenti oleh tangisan Puteri mereka karena haus, namun mereka akhirnya dapat menuntaskannya hingga Dava meyakini jika saat ini Dea sangat kelelahan. Dava menciumi tempat yang sama itu dengan senyumnya, Dava sudah bangun dari setengah jam yang lalu namun Dia sama sekali tidak ingin beranjak dari tempatnya. Tubuhnya yang hangat masih ingin terasa hangat saat kulitnya bersentuhan dengan kulit hangat milik Dea. Sekarang masih pukul 04:00 pagi, masih sangat pagi dan suasana pagi yang begitu mendukung untuk saling menghangatkan satu sama lainnya. Tangan Dava tetap melingkar di pinggang ramping Dea tanpa mau terlepas sedikitpun. Jika Ia dan Dea adalah pasangan biasa yang menikah pada usianya, Dava tidak sungkan untuk membuat Dea hamil anak keduanya. Dan Dava paham jika Dea datang ke Berlin memiliki tujuan khusus, tidak mungkin juga Dea yang baru berpisah darinya selama sebulan dan terbang kemari disaat Vandra masih begitu kecil. Namun Dava tidak boleh memaksa Dea, Dava akan menunggu Dea untuk bicara padanya dengan sendirinya. Dava melepaskan pelukannya dari Dea, dua hari lagi weekend dan Dava harus memiliki planning untuk membawa Dea berkeliling Berlin. Dava dengan hati-hati mengambil ponselnya yang ada di nakas, lalu kembali melihat kearah Dea. Melihat apakah Dea terusik dengan gerakannya atau tidak, lalu Dava mensearch tempat dan mereservasinya mulai hari ini, Ia akan menghabiskan waktu untuk Dea dan puterinya satu hari itu. Dava terus menscroll ponsel pintarnya lagi hingga ke pencariannya yang Ia inginkan, lalu mengisi data saat Dia yakin ingin mengunjungi tempat tersebut. Dava tersenyum saat tugas yang Dia inginkan untuk sang isteri dan Puterinya sudah terpenuhi, Dava kembali memeluk Dea di bawah selimut lalu memejamkan matanya. Kuliahnya akan dimulai pukul 08:00 pagi dan pulang pukul 17:00, lebih awal dari biasanya. Dan Dava bersyukur akan hal itu, Dava mencium belakang kepala Dea dengan memejamkan matanya. Setelah 30 menit Dea mulai membuka matanya perlahan, Dea menatap jam yang ada di nakasnya lalu tersenyum. Badannya yang sudah bersih namun masih tidak memakai apapun itu terasa kaku sekali, selain itu Dea merasakan tangan hangat melingkar di pinggang hingga ke perutnya. Dea menggeliat kecil lalu menyikap selimutnya, Dea tersenyum saat tangan Dava yang menciptakan rasa hangat itu. Seperti masih berhalusinasi bagi Dea bisa bersama Dava kembali seperti sekarang ini, rasanya Dea ingin kembali pada waktu dimana Dia masih menjadi wanita yang beruntung menjadi isteri Dava saat Dava sudah menerima cintanya. Dea membalikkan tubuhnya perlahan dengan sedikit mengangkat tangan suaminya itu, Dea melihat wajah tampan Dea. Seperti sudah kegiatan rutin bagi Dea jika di pagi hari tiba dan Ia bahagia bisa melihat wajah tampan Dava. Alis yang tebal dan terbentuk begitu indah, bibir tebal dan merona. Ya, Dava memiliki bibir merah alami karena Dava tidak merokok ataupun minum minuman bersoda. Saat pertama kali melihat isi lemari pendingin Dava setelah sekian lama, pria itu lebih suka jus jeruk dengan s**u murni sebagai pengganti minuman bersoda yang biasa pria seumuran Dava minum. Dea mendekatkan wajahnya perlahan dan mencium bibir tebal Dava, hanya sebentar dan Dea sudah harus bangun untuk menyiapkan makanan untuk Dava. Dea beranjak setelah memastikan Dava menyelimuti diri dengan benar, Dea menatap Dava sebentar sebelum memunguti pakaian yang berserakan di lantai setelah memakai kimono yang sudah Dava siapkan di nakas sebelah jam mejanya. Dea berjalan ke kamar mandi lalu membasuh wajahnya dengan air, menghilangkan rasa kantuknya dan juga menggosok giginya. Dea kemudian menyiapkan air hangatnya lalu mandi dengan sedikit berendam untuk menghilangkan kekakuan dalam tubuhnya. Dea hanya berendam sebentar lalu segera mandi, Dea mengganti kimononya dengan pakaian bersih khas rumahan. Mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas, Dea berjalan keluar kamar mandi kearah tempat riasnya. Mengambil hairdryer, Dea mengambil mukenanya dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim pukul 05:13 waktu subuh untuk kota Berlin hari ini. Pukul 05:28 Dea sudah mulai memasuki dapur setelah memastikan Vandra masih tertidur lelap di keranjang bayinya, disana Kamila sudah memulai acara masaknya. "Mbak." Sapa Dea, Kamila menoleh lalu tersenyum. "Ya, Nona." Dea melihat apa yang akan di masak oleh Kamila dengan bahan yang sudah disiapkan diatas kitchen set. "Mau buat steak ya Mbak?" Tanya Dea saat melihat irisan daging yang sudah siap untuk di panggang, Kamila melihat dagingnya dan mengangguk. "Iya Non." Dea mengambil apron miliknya di salah satu laci kitchen set miliknya lalu memakainya. Dea mulai mengambil panggangan dan akan memulai membuat steak dengan bahan yang sudah disiapkan oleh Kamila. Dea menyelesaikan masakannya dengan serius dan cepat, lalu Dea berjalan kearah lemari pendinginnya dan mengambil buah segar untuk membuat jus untuk dirinya dan Dava. Dava tidak biasa minum kopi ataupun teh di pagi hari, pria itu lebih sering minum s**u dan juga jus. Kebiasaan itu juga berlaku karena Dea lebih menekankan nilai kesehatan untuk keluarganya, memilih s**u dan jus buah adalah pilihan yang tepat. Dea mulai menatap sarapannya dengan Dava nanti lalu setelahnya Dea melepas apronnya dan kembali berjalan kearah kamar saat Dea mendengar suara Vandra yang menangis. "Mbak, tolong ya." Kamila tersenyum. "Iya Non, sisanya biar Saya yang urus." Dea menaiki tangga dengan tidak sabaran, tidak ingin puterinya menangis terlalu lama. Saat tangan Dea akan membuka pintu kamar, pintu kamar itu sudah lebih dulu terbuka dengan Vandra yang ada dalam gendongan Dava yang half naked. "Kebangun ya, Yang?" Tanya Dea pada Dava yang terlihat memaksakan matanya untuk terbuka, Dava menampilkan senyumnya. "Aku senang, Vandra jadi alarm buat Aku." Dea terkekeh lalu mengambil alih Vandra ke dalam gendongannya. "Kamu bersih-bersih dulu gih, Aku mau kasih Vandra minum." Dava mencekal pinggang Dea dengan kedua tangannya saat Dea akan membalikkan badannya. Dava mengarahkan Dea berhadapan dengannya lalu Dava sedikit mencondongkan tubuhnya lalu berbisik disamping telinga Dea. "Nutrisi pagiku belum, Yang. Jangan kabur." Setelah mengatakan itu, Dava mengecup bibir Dea dan Dea refleks menutup mata Vandra yang entah terbuka atau masih tertutup, karena bayi dua bulan itu akan diam setelah kulit Dava menyentuh badannya. "Sudah." Ucap Dava lalu begitu saja membalikkan badan menuju ke dalam kamar, meninggalkan Dea yang terbengong-bengong dengan kelakuan Dava padanya. Dea tersenyum kecil lalu membalikkan badannya untuk kembali menuruni tangga, tangannya yang menutup mata Vandra Ia buka dan menampakkan mata Vandra yang sama dengannya. Dea seperti bercermin saat ini, dan Dea hanya mampu bergumam kecil mengingat tingkah Dava tadi. "Ibu yakin Ayahmu begitu malu tadi.". ★★★★ Jangan lupa Loves ?, Readers.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN