A FACT

1115 Kata
Sudah tiga hari sejak Niko di kebumikan, Maura seperti tak b*******h untuk menjalani hidup. Bukan karena ia menganggap Niko sebagai belahan jiwanya, melainkan karena dengan kepergian Niko untuk selamanya, maka itu berarti Maura akan tetap mengandung tanpa seorang suami yang mendampinginya. Tanpa seorang ayah yang akan memberikan nama belakangnya untuk calon bayi yang akan dilahirkannya kelak. Membuat Maura tak hentinya menangis di tengah awan duka yang masih setia menyelimutinya. "Maura, makan dulu yuk! Udah waktunya kamu minum suplemen juga, Ra. Buka pintunya ya," ujar Indra yang juga sibuk mengetuk. Mencoba membujuk sang anak supaya ia tidak mengurung diri terus di dalam kamarnya. Telinga Maura bahkan masih berfungsi dan ia pun dengar ajakan yang dilontarkan oleh ayahnya. Tapi apalah daya? Maura sedang tidak selera makan sekarang ini. Untuk itu, Maura pun memilih tak menyahut dan biar saja ayahnya mengira Maura sudah terlelap tidur. "Aku tau kamu belum tidur, Ra. Jangan menyiksa diri hanya karena kematian lelaki yang bahkan sudah menorehkan banyak luka di hatimu! Biarlah dia dikubur di bawah tanah. Mulailah bangkit dan hiduplah sebagaimana semestinya, Ra. Hanya karena Niko sudah meninggal, bukan berarti kamu pun harus seterpuruk ini!" tandas Indra menasihati. Sementara itu, Maura hanya bisa memejamkan kedua matanya seiring dengan munculnya buliran bening yang mulai membasahi kedua belah pipinya. "Ayo, Ra. Sekarang kamu punya tanggungjawab yang lebih penting lagi untuk diutamakan. Kamu gak lagi sendiri, tapi ada benih yang harus kamu kembangkan sampai dia lahir nanti. Walau ayahnya sudah tiada, tapi jangan sampai kamu membiarkan calon anakmu pergi dengan sia-sia juga! Jadilah wanita bijak ketika kamu sudah menjadi calon ibu. Jalanilah hidupmu dengan apa adanya. Bukan malah dengan cara mengurung diri dan membiarkan perutmu kosong karena tak selera makan. Jangan egois, Maura! Kamu sedang berbadan dua sekarang ini," tutur Indra lagi tak henti mengingatkan. Sejak kematian Niko di hari itu, Indra bahkan sudah mulai menerima alur hidup yang harus dihadapi olehnya dan juga Maura. Mungkin, ada tujuan lain yang akan Tuhan beri di balik kematian Niko yang begitu cepat. Mengharuskan Indra lebih bisa berpikir jernih dan tak seharusnya ia terus menyalahkan keadaan karena semua itu sudah terjadi tanpa bisa diulang kembali. Namun sayangnya, pemikiran Maura justru tak serupa dengan Indra. Anaknya itu seperti masih belum bisa menerima kondisi dirinya sekarang. Mungkin wajar dan perlu dimaklum. Di usianya yang masih muda, ia harus memikul beban yang tidak semua orang alami. Dia mengandung tanpa suami dan harus menanggung beban yang amat besar. Tapi apa mau dikata! Nasi sudah menjadi bubur. Mau sampai kapan Maura menyalahkan takdir? Akan lebih baik jika dia cenderung merelakan dan mulai menerima apapun yang sedang Tuhan rencanakan. Siapa tahu, mungkin ada kisah manis yang akan dituai ketika Maura bersedia menjalani kehidupannya yang berat ini. Indra menghela napas. Tidak ada sahutan juga dari Maura. Mungkin, dia masih sibuk berkutat dengan keterpurukannya. Membuat Indra lantas mengalah, hingga kemudian ia pun memilih pergi menjauhi kamar sang anak dan mencoba mencari solusi agar dia bisa memberi jalan keluar bagi Maura yang entah akan sampai kapan mengurung diri terus di dalam kamarnya. *** Setelah memikirkan matang-matang mengenai keputusan yang akan diambilnya, Indra pun kembali mendatangi kamar Maura. Diketuknya lagi pintu kamar itu, meminta Maura agar membukanya kali ini. "Maura, buka pintunya, Nak! Ada yang harus kita bicarakan. Dan ini menyangkut keberlangsungan hidupmu. Kamu bisa buka pintunya sekarang kan, Ra?" lontar Indra terdengar serius. Kebetulan, Maura pun belum tidur meski malam sudah semakin larut. Lalu, ketika ia mendengar nada serius dari suara ayahnya, entah kenapa Maura pun mendadak ingin beranjak dan mulai berjalan ke arah pintu. Tidak lama kemudian, ia pun memutar kunci dan menarik pintu di hadapannya hingga terbuka sekaligus menampilkan sosok sang ayah yang sedang berdiri tegap di balik pintu. "Masuklah, Yah...." pinta Maura yang bergegas kembali ke arah tempat tidurnya. Sembari mendesah berat, Indra pun turut berjalan memasuki kamar Maura. Dilihatnya, gadis itu masih saja termenung lesu. Membuat Indra yang kontan bersedekap lantas langsung saja mengutarakan persoalan yang ingin disampaikannya. "Sebenarnya, aku ini bukan ayah kandungmu, Maura!" Seperti baru saja disambar oleh petir, Maura yang semula hanya tertunduk lemas di tempat duduknya pun lantas menoleh dengan cepat ke arah di mana ayahnya berdiri sekarang. Untuk sesaat, Maura pun menyorotkan tatapan terkejutnya pada sang ayah. Tidak habis pikir dengan apa yang baru saja pria itu lontarkan dari mulutnya. "A-apa maksud Ayah?" tanya Maura bergumam. Terus memandang Indra dengan matanya yang sesekali mengerjap. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam. Lalu ia embuskan secara perlahan sembari ia lirikkan kembali pandangannya pada Maura. "Tidak ada hubungan darah di antara kita, Maura." Indra lagi-lagi mengucapkan kalimat yang sama sekali tak dapat Maura mengerti walau ia berusaha keras untuk memahami. "Kamu hanya anak pungutku. Jadi berhentilah memanggilku ayah!" imbuh Indra menegaskan. Namun alih-alih mematuhi perkataan Indra, Maura justru mulai bangkit berdiri dan menghampiri pria yang selama ini selalu dipanggilnya ayah. "Ayah bicara apa? Kenapa mendadak gak mau mengakui bahwa aku adalah anakmu. Apa ayah mulai malu atas kondisi perutku yang semakin hari akan semakin bertambah besar? Gara-gara itukah ayah mengatakan bahwa kita sebenarnya gak sedarah?" lontar Maura menghujani Indra dengan tanya. Mengharuskan pria itu segera memberi penjelasan, sebelum Maura berpikir macam-macam mengenai dirinya. "Tidak seperti itu, Maura!" bantah Indra mendesah gusar. Menurunkan kedua tangannya ke bawah yang semula ia lipat di dadanya. "Lalu kenapa ayah mengatakan bahwa aku bukan anak ayah? Apa yang sebenarnya mau ayah katakan di kesempatan ini? Jika memang ayah malu karena aku kedapatan hamil di luar nikah, maka ya udah... Biar aku pergi aja dari sini. Dengan begitu, ayah gak harus malu lagi. Tapi tolong, jangan katakan kalimat yang menyakitkan itu lagi! Ayah tau? Aku sangat menyayangi ayah dan sungguh merasa bersalah karena udah memberikan aib besar kepada ayah. Hingga kemudian ayah meloloskan perkataan yang menyatakan bahwa aku bukanlah anak ayah, itu benar-benar menyakitkan. Hatiku patah berkeping melebihi putusnya hubungan dari seorang pacar!" tandas Maura bergetar. Tidak menyangka jika ayah yang selama ini selalu melindungi dan mengasihinya ternyata telah sampai pada titik lelah dan menyerahnya. Menyebabkan Indra menggeleng keras di tengah kedua tangannya yang bergerak meraih bahu Maura. "Aku tidak sedang berbicara mengada-ada apalagi bertujuan untuk memutuskan hubungan antara ayah dan anaknya. Enggak, Maura! Tapi apa yang aku bicarakan ini adalah sebuah fakta yang udah lama aku sembunyikan. Kamu dan aku bukanlah anak dan ayah yang sesungguhnya. Kamu hanya seorang anak yang aku asuh setelah aku temukan kamu di jalanan 17 tahun yang lalu. Ketahuilah ini, Maura! Kita gak ada hubungan darah layaknya anak dan ayah kandung pada umumnya. Oleh karena itu, menikahlah denganku! Maka akan kuberikan nama belakangku untuk bayi yang kamu lahirkan nanti," cetus Indra tanpa dinyana. Menciptakan kekagetan yang luar biasa hingga seketika pula membuat Maura langsung lemas. Andai Indra tak sedang memegang bahunya, maka mungkin Maura akan langsung jatuh terduduk di detik itu juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN