Chapters 5 [Gebetan]

1800 Kata
Yula keluar dari rumahnya dengan langkah gontai, merasa malas untuk pergi ke sekolah hari ini. Pikirannya dipenuhi oleh rasa kesal yang memuncak, dan wajahnya menunjukkan ekspresi jengkel. Ia tahu hari ini ia pasti akan bertemu dengan seseorang yang sudah membuatnya marah hingga ingin meledak. "Aduh, males banget gue hari ini." gumamnya pelan sambil menendang kerikil di jalan depan rumah. Ia melirik jam di ponselnya. Sudah agak siang, dan dia harus cepat-cepat kalau tidak ingin terlambat. Yula berniat berjalan ke rumah sahabat-sahabatnya, Hikmah, Kinan, dan Rabiatul. Mereka tinggal satu kompleks, tapi rumah mereka cukup berjauhan, terutama rumah Hikmah yang berada di ujung. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, sebuah suara terdengar dari belakangnya. Arsen, tetangganya sekaligus teman sekelasnya, keluar dari halaman rumah dengan sepedanya. Melihat kesempatan untuk menghemat waktu, Yula berlari kecil mendekati Arsen. "Sen! Gue nebeng ya hari ini ke sekolah, plis banget!" pintanya dengan nada memelas. Arsen mengangkat kedua alisnya sambil menghentikan laju sepedanya. "Gak biasanya lo mau ikut gue. Jangan-jangan lo udah putus sama Arya terus berantem sama temen lo, dan sekarang gue jadi pelarian, ya?" tanyanya, separuh menggoda sambil menyipitkan matanya. Yula mendengus kesal. "Gue gak berantem sama mereka, tapi soal Arya… lo liat aja nanti di sekolah. Gue bakal balas dendam sama tuh cowok. Bayangin aja, selingkuh di belakang gue, dan ceweknya? Ih, sumpah gue jauh lebih cantik dari dia. Apa dia buta, apa gimana sih?" Yula mengepalkan tangannya saat mengingat kejadian malam tadi yang membuat emosinya meluap. Arsen tertawa kecil. "Emang Arya ngapain, sampai lo segitunya?" "Ih, lo itu ya, gue udah bilang tunggu aja di sekolah nanti! Udah, berangkat sekarang, cepet!" Yula mengibaskan tangannya, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Arsen hanya mengangkat bahunya, lalu mulai mengayuh sepedanya. Tanpa peringatan, ia melaju lebih cepat, membuat Yula terkejut dan berpegangan pada bajunya. "Lo tuh kalau mau ngebut kasih tahu dulu dong! Gue bisa jatuh, tau!" "Kalau lo jatuh, itu urusan lo." jawab Arsen santai sambil terus mengayuh. "Jahat lo!" protes Yula, tapi Arsen hanya mengangkat bahu lagi, tak peduli. Sambil berpegangan erat, Yula mengambil ponselnya dari saku dan mengirim pesan singkat ke grup chat dengan Hikmah, Kinan, dan Rabiatul. “Sorry, gue udah berangkat duluan bareng Arsen.” Pesan itu langsung dikirim dan dibaca oleh ketiga temannya. *** BRUG! PLAK! TAK! "Lo bertiga apaan sih? Datang-datang mukul meja, terus ngelempar sepatu sama kaos kaki, ngejitak kepala gue. Kepala gue salah apaan sampai lo jitak? Kesel tau nggak, pagi-pagi udah ngajak berantem aja!" suara Yula yang penuh protes terdengar jelas, wajahnya memerah menahan marah. Tapi sebelum Yula bisa menyelesaikan kalimatnya, suara keras meledak dari mulut Kinan, disusul Rabiatul dan Hikmah. "Lo tuh yang ngajak berantem duluan!" suara Kinan meledak seperti petir di pagi hari. Seisi kelas, termasuk Yula, otomatis menutup telinga karena volume teriakan mereka yang seolah bisa membuat gendang telinga pecah. "Ya Allah, kuatkanlah pertahanan telingaku, Ya Allah." Yula merintih pelan, melepaskan tangan dari telinganya dengan ekspresi yang sangat memelas. Mata bulatnya menatap ke arah Rabiatul dengan tatapan penuh keputusasaan. Rabiatul yang melihat Yula menirunya dengan gaya merintih makin tersulut emosi. "Yula, itu kan kosa kata aku! Berani-beraninya kamu niru gaya aku, ya?!" Yula hanya tersenyum licik. "Serah gue, lah. Gue juga punya hak buat ngomong apapun, gimana gue suka." Rabiatul mendengus. "Tapi nggak usah niru-niru gaya aku segala!" "Lo kenapa sih sensi banget hari ini? Lagi PMS ya?" Yula mengangkat alis, menyindir. "Sok tau kamu!" Rabiatul langsung duduk di kursinya dengan kesal, menekuk wajahnya seolah dunia sedang melawannya. Yula menggelengkan kepala dengan tatapan bingung, lalu menoleh ke arah Kinan dan Hikmah yang masih berdiri. "Nan, Mah. Rabiatul kenapa sih?" Kinan hanya mengangkat bahu dengan santai. "Gak tau." Hikmah pun ikut mengangkat bahu sambil berjalan santai menuju kursi mereka, mengikuti Rabiatul. Yula mendesah. "Lo bertiga marah sama gue, ya? Iyakan?" tanyanya dengan nada bingung. Kinan memutar bola matanya dan menjawab sinis. "Cih, baru peka sekarang. Padahal kita tadi udah pake toa sama speaker loh." "Dasar talilut." Hikmah menimpali dengan nada tajam. Yula mengernyit, bingung dengan kata baru yang keluar dari mulut Hikmah. "Talilut? Apaan tuh artinya, Mah?" Hikmah berbalik menatap Yula dengan ekspresi datar. "Cari aja di kamus, pasti gak bakal ketemu." ia lalu membalikkan badan kembali ke arah papan tulis. Yula hanya bisa mendesah panjang. Pagi itu rasanya penuh drama, dan Yula makin kesal pada teman-temannya yang sepertinya kompak marah tanpa alasan jelas. Saat ia hendak membalas lagi, suara bel sekolah berbunyi. TING TING TING Suara bel membuat seluruh murid yang sebelumnya berkeliaran di luar kelas bergegas masuk. Mereka semua kembali ke bangku masing-masing, menunggu guru masuk. Suasana kelas tiba-tiba hening saat Pak Adit, guru Bahasa Indonesia yang terkenal tampan dan humoris, memasuki kelas dengan senyuman manis. Hampir seperempat murid perempuan di kelas itu langsung terlihat terpesona. "Pagi, anak-anak." sapa Pak Adit sambil memperlihatkan senyumnya yang secerah mentari. "Pagi, Pak!" semua murid serempak menyahut, penuh semangat. Pak Adit menaruh buku-buku yang dibawanya ke meja guru. "Sebelum kita mulai pelajaran, Bapak akan memperkenalkan diri dulu. Nama Bapak Adit Satriya. Jadi, apa ada yang mau kalian tanyakan?" Yula dengan cepat mengangkat tangannya. Ia menatap ke arah Kinan dengan tatapan penuh kepuasan, karena berhasil mendahului temannya. "Ya, kamu ada yang ingin ditanyakan?" Pak Adit menunjuk Yula sambil tersenyum. Yula berdiri dengan senyum manis yang tak disangka-sangka, membuat murid lain terkejut. "Pak, saya merasa nggak tenang tuh, Pak." ucap Yula dengan penuh percaya diri, membuat seluruh kelas menatapnya dengan heran. Apa lagi yang ingin Yula lakukan kali ini? Pak Adit mengernyit, kebingungan. "Kamu kenapa nggak tenang?" tanyanya penasaran. Yula tersenyum semakin lebar, membuat suasana semakin aneh. "Soalnya, Pak, bapak terus aja muncul di otak cantik saya, bikin saya nggak bisa tenang, resah, galau, gulana." Seluruh kelas mendadak terdiam, lalu seketika meledak dalam sorakan dan tawa. Kalimat Yula yang penuh gombalan itu membuat semua murid kaget, termasuk Arya yang kebetulan berjalan di luar kelas. Dia berhenti di depan pintu, mendengar ucapan Yula yang tak disangka-sangka. Arya, yang tadinya hendak ke toilet, tertegun. Ia mengintip dari luar, melihat Yula dengan tingkahnya yang aneh. Tidak seperti biasanya. Bahkan saat mereka masih pacaran, Yula tidak pernah bertingkah seberani ini. Pak Adit tersenyum lebar namun tampak tak terpengaruh. "Kamu ini, saya sudah punya istri, loh. Jadi gombalan kayak gitu udah nggak mempan lagi." Seluruh kelas kembali heboh, menyoraki Yula dengan tawa dan ejekan yang semakin ramai. Yula, yang sebelumnya terlihat percaya diri, kini langsung menundukkan kepala sambil menutupi wajahnya dengan buku, malu setengah mati. "Huuuuu...!" suara ejekan dari teman-teman sekelasnya semakin membuat Yula ingin bersembunyi. Kinan yang duduk di bangku belakang tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Rasain lo, La! Siapa suruh ngegombal di depan kelas. Makanya, kalau mau ngegombal, lihat tempat, waktu, dan orang!" Wajah Yula sudah semerah tomat, tapi Kinan terus saja menertawakan kejadian itu. Yula hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menahan malu yang membara di wajahnya. "Sudah, sudah." Pak Adit menenangkan suasana kelas yang masih ramai. "Sebaiknya kita mulai pelajaran hari ini. Ketua kelas bisa bantu ambil buku di perpustakaan, ambil sesuai jumlah teman-teman di sini." Wando, sebagai ketua kelas mengangguk, dia lalu berdiri keluar kelas. *** "Gue lelah." Yula menjatuhkan kepalanya di atas meja kantin dengan suara nyaring, membuat perhatian beberapa teman sekelasnya beralih ke arah mereka. "Aku lemes." Rabiatul menambahkannya dengan nada yang sama, mengikuti jejak Yula. "Gue meleleh! Gara-gara calon pacar. Ngeliat dia aja, gue udah kenyang." kata Hikmah sambil menatap ke arah Rayden, yang sedang duduk bersama teman-temannya dengan senyum menawan. "Matamu mah dijaga. Nanti kepleset, baru tau rasa. Hati-hati, godaan setan memang menggiurkan." Rabiatul memperingatkan sambil menutup kedua mata Hikmah, yang kebetulan duduk di sebelahnya. Hikmah melepaskan tangan Rabiatul dengan wajah kesal. "Lo benar-benar minta gue ceburin di Antartika, rupanya." katanya. "Berisik lo berdua. Ganggu gue aja, tau gak? Gue lagi asik ngeliatin calon gebetan yang ganteng." Kinan menyela, tampak kesal dengan kegaduhan yang diciptakan oleh teman-temannya itu. "Lo paling yang gak jelas. Calon gebetan lo itu yang mana sebenarnya? Gue pusing, tau gak, mikirin ini!" sahut Yula, menatap Kinan dengan penuh keheranan. "Siapa yang nyuruh lo mikirin? Gue gak ada tuh nyuruh lo mikirin gebetan gue yang mana. Yang mana aja boleh." jawab Kinan santai. "Ah, gitu ya? Gue kira lo nyuruh gue mikirin salah satu gebetan lo. Soalnya, lo pernah nawarin gue, tuh." Yula mengangkat kepalanya dari meja, lalu menarik minuman yang dipesan Kinan tadi. "Enak banget lo ngembat minuman gue, ya. Sana pesan sendiri!" Kinan menarik kembali minumannya dengan nada marah. "Gue lupa bawa duit tadi pagi. Jadi, gue pinjam uang lo dulu, ya. Boleh kan?" Yula berkata dengan nada penuh harap. Kinan menaikkan alisnya, menunjukkan ketidakpuasan. "Uang gue habis, pinjam Hikmah atau Rabiatul, sana." Yula menatap ke arah Rabiatul dan Hikmah, yang kini sibuk mengalihkan pandangan. "Lo berdua…" "Gak ada!" seru Hikmah dan Rabiatul bersamaan, membuat Yula mengerucutkan bibirnya kesal. "Pelit lo bertiga!" Yula berdiri dan menatap ketiga sahabatnya dengan tatapan marah. "Kalau gak pelit, gak hidup." ucap Hikmah mengejek, membuat rasa kesal Yula. "Pelit itu harus." tambah Rabiatul dengan angkuh. "Jaman sekarang gak pelit? Mimpi aja kamu!" Yula semakin dibuat kesal oleh obrolan mereka yang tak ada habisnya, dan emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Sementara itu, keributan mereka menarik perhatian seluruh murid yang ada di kantin, termasuk para cowok yang mereka sukai. "Ngeselin lo bertiga!!" Yula berteriak, suaranya menggema di dalam kantin. "Lo juga ngeselin hari ini, pakai banget malah ngeselin-nya. Kita bertiga malah pengen ngulitin lo sekarang juga!" Kinan menjadi perwakilan dari Hikmah dan Rabiatul, menantang Yula. "Tega banget lo bertiga." Yula mendengus. "Emang." jawab mereka bertiga bersamaan, mengejek Yula lebih lanjut. Dengan nada yang marah, Yula mulai berjalan meninggalkan kantin sambil menghentakkan kakinya. Namun, di depan pintu, ia berhenti sejenak, membuat Kinan, Hikmah, dan Rabiatul terkejut. Mereka menatap Yula yang tampak bertekad, dan suasana hening seketika. "Wah, bentar lagi bakal terjadi perang nih, kayaknya." ucap Kinan, meramalkan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Rabi! Beli popcorn buru! Bentar lagi film baru bakal tayang. Judulnya, Ku Putuskan Pacarku Karena Selingkuhannya." Rabiatul menimpali dengan antusias, lalu bergegas pergi untuk membeli popcorn. "Wohh... ini bukan mimpi kan?" Hikmah melongo saat melihat sesuatu di depan mereka. Apa yang dilakukan Yula di luar pemikiran mereka bertiga. "Kok bisa sih? Padahal gue udah siapin batin ngeliat dia bakal perang." Kinan menyusul menatap ke arah depan, merasa terkejut melihat Yula berinteraksi dengan seseorang. "Astaghfirullah Al’azim. Itu benaran Yula, kan?" Rabiatul kembali dan memberikan popcorn kepada Kinan. Mereka semua terperangah melihat Yula yang tampaknya berbicara dengan seorang cowok yang baru saja muncul di kantin. "Bukan, kayaknya. Kalau nggak salah, itu sisi jeleknya Yula. Nggak kenal gue itu siapa." jawab Kinan, Hikmah serta Rabiatul mengangguk serentak, terperangah melihat situasi yang tak terduga ini. Ternyata, Yula tidak hanya berjalan pergi, tetapi juga berjalan menuju seorang cowok yang selama ini dicintainya. Suasana di kantin mulai menghangat, menunggu momen selanjutnya. Apakah ini akan berujung pada pertikaian atau justru pengakuan cinta? Seluruh murid menahan napas, menunggu film drama nyata yang baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN