Chapters 4 [Pasar Malam]

1825 Kata
Hikmah sedang duduk santai di ruang tamu ketika tiba-tiba pintu rumahnya dibuka dengan kasar. Ketiga sahabatnya, Kinan, Rabiatul, dan Yula, masuk dengan kondisi yang tak karuan. Hikmah menatap mereka dengan kening berkerut, melihat wajah Kinan yang penuh amarah, kepala Rabiatul yang benjol, dan kaki Yula yang sedikit pincang. "Kepala lo kenapa, Rabi? Kaki lo juga kenapa, La? Ini lagi, lo, Kin. Seram amat muka lo, kayak pengen makan orang hidup-hidup," tanya Hikmah penuh keheranan. Kinan hanya mendengus marah, lalu menjawab dengan suara rendah namun penuh dendam. "Kita harus buat rencana sekarang juga, biar para adik durhaka itu kapok dan nggak berani ganggu kita lagi." Hikmah semakin bingung, tetapi sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, Kinan sudah melanjutkan dengan wajah yang lebih menyeramkan dari sebelumnya, mirip buaya darat yang siap memangsa buruannya. "Gue pastiin rencana kali ini bakal sukses!" Rabiatul yang dari tadi memegangi kepalanya yang benjol akibat ulah adiknya, Rayba, hanya menghela napas panjang. "Tapi lo tau sendiri kan, setiap rencana yang kita buat pasti nggak pernah berhasil. Selalu gagal, dan kita yang kena batunya." Kinan menyeringai, seolah tak peduli dengan semua kegagalan mereka sebelumnya. "Kali ini beda. Gue udah mikirin matang-matang. Rencana kita kali ini nggak mungkin gagal." Yula yang masih menahan sakit di kakinya, penasaran. "Rencana apaan, Kin?" tanyanya sambil menatap Kinan serius. Kinan mengisyaratkan mereka bertiga untuk mendekat. Dengan suara berbisik, ia mulai menjelaskan rencananya yang terdengar penuh konspirasi. Ketiga sahabatnya mendengarkan dengan penuh perhatian, dan setelah Kinan selesai berbicara, mereka terdiam sejenak. "Oke, gue setuju. Tapi kita berangkatnya gimana? Malam ini naik apa?" tanya Rabiatul, sedikit ragu. "Naik odong-odong." jawab Kinan dengan nada sarkastis. Rabiatul menatap Hikmah dengan kebingungan. "Emang muat kita berdelapan naik odong-odong?" Hikmah yang mulai kesal dengan pertanyaan Rabiatul itu hanya melotot. "Isshh… Lo pikir aja sendiri. Muat nggak kalau berdelapan?" Rabiatul menatap Hikmah dengan ekspresi polos. "Ya, enggak muat lah." "Terus ngapain lo masih nanya!" teriak Hikmah, mulai kehilangan kesabaran. Suaranya yang tiba-tiba keras membuat telinga ketiga temannya berdengung. "Hikmah, nggak usah teriak. Kita bertiga nggak budek." kata Yula sambil menutup telinganya, sedikit kesal. "Kenapa gue yang disalahin? Harusnya Rabiatul tuh!" Hikmah membela diri, merasa tidak terima jadi target kemarahan. Rabiatul, dengan wajah polosnya, menimpali. "Aku nggak nyuruh kamu teriak, loh, Mah." Dia ikut-ikutan memajukan bibirnya seperti Yula. Kinan yang sedari tadi mengawasi perdebatan mereka, akhirnya bersuara. "Udah-udah. Kalau kalian terus debat, kapan kita mulai rencananya? Udah sore nih. Gue mau pulang dulu, nanti gue tunggu di depan rumah. Dan lo, Yula, jangan lupa bawa mobil. Kita berangkat pakai mobil lo." Mata Yula terbelalak, kaget dengan instruksi Kinan. "Kok pakai mobil gue? Kalau nanti ditilang gimana? Gue kan belum umur tujuh belas tahun!" Kinan menepuk jidatnya, frustasi. "Siapa juga yang nyuruh lo bawa mobil? Lo kan punya kakak, suruh kakak lo yang bawa mobilnya!" Yula langsung tersadar. "Oh iya juga ya. Kok gue bisa lupa kalau gue punya kakak." gumamnya pelan. Hikmah yang mendengar itu langsung menyambung dengan nada menggoda. "Lo terlalu banyak mikirin Arya, makanya lo jadi lupa punya kakak." Yula langsung membalas dengan ketus. "Cih, siapa juga yang mikirin Arya, si calon mantan itu. Mendingan gue mikirin Isung CNT daripada mikirin Arya." Kinan tertawa kecil mendengar itu. "La, mendingan lo mikirin yang dekat-dekat aja. Arsen, teman sekelas kita sekaligus tetangga lo, kan ganteng tuh." Mendengar nama Arsen, Rabiatul langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Astaghfirullah al-Azim, Kinan! Lo sekarang jadi pelakor ya? Nyebut, Kinan, nyebut!" ucapnya. Kinan langsung membela diri. "Astaghfirullah, Rabiatul! Sejak kapan gue jadi pelakor? Emang ada ciri-ciri di gue yang pengen deketin Arya? Mendingan gue deketin anak basket yang kemarin ngelempar bola ke kepala gue daripada deketin Arya!" "WOY, UDAH WOY!" bentak Hikmah, memotong perdebatan mereka. "Mending kalian bertiga pulang ke rumah masing-masing sebelum gue usir beneran." Ketiga sahabatnya menatap Hikmah dengan mata terbelalak, tak percaya. "Lo barusan ngusir kita, Mah!" teriak mereka serempak. Dengan kesal, mereka bertiga membalikkan badan dan berjalan keluar rumah Hikmah sambil membanting pintu keras-keras. BRAK! Hikmah hanya bisa mengelus d**a, melihat ketiga sahabatnya yang selalu bikin ribut. "Kok bisa ya, gue temenan sama istrinya singa, bininya buaya, dan selingkuhannya serigala. Mimpi apa gue semalam." gumamnya sambil menatap pintu yang masih bergetar akibat ulah mereka. *** Malam itu suasana rumah terasa tenang, hingga tiba-tiba terdengar suara Yula yang berteriak dari lantai bawah, memecah keheningan. "Yuna! Lo lama banget sih!" serunya dengan nada frustrasi, sambil terus menatap tangga. Dari ruang tamu, kakaknya, Yusna, hanya menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya. Yusna adalah sosok yang lebih tenang dan sabar dibanding Yula. "Yula, nggak usah teriak-teriak gitu. Lo bisa naik ke atas dan panggil Yuna buat turun." ujarnya dengan lembut, namun tegas, sambil menekan nada suaranya. Yula menoleh ke arah kakaknya dengan kesal. "Tapi ini udah hampir satu jam, Kak! Dia masih aja ada di kamarnya. Ngapain coba di sana?" Yula tak bisa menahan frustrasinya, jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme cepat. Yusna menatap adiknya sambil menarik napas panjang. "Kan tadi udah gue bilang, lo naik aja langsung ke kamarnya. Dari pada lo teriak-teriak gak jelas begini, Yula." Nada lembut Yusna justru semakin membuat Yula kesal. Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Yula mulai menaiki tangga. Kakinya menghentak-hentak di setiap anak tangga, seolah melampiaskan kekesalannya. Pintu kamar Yuna didobraknya, dan beberapa saat kemudian Yula muncul kembali di tangga, kali ini dengan Yuna yang tampak masih setengah sadar dari tidurnya. Yang paling mencolok adalah Yuna sedang dijewer oleh Yula sambil menyeretnya turun. "Kak, lepasin! Sakit, tau!" Yuna memelototi Yula sambil mencoba melepaskan tangan kakaknya dari telinganya yang kini memerah. Yusna hanya bisa memandang adik-adiknya dengan tatapan heran, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kesal, Yula akhirnya melepaskan cengkramannya, dan Yuna segera mengusap-usap telinganya yang masih terasa perih. Meskipun begitu, Yula belum selesai dengan amarahnya. Tatapan tajamnya masih terarah ke Yuna, yang kini mencoba menghindari pandangannya. Yusna, yang bingung dengan pemandangan di depannya, akhirnya bertanya. "Yula, kenapa lo ngejewer Yuna?" suaranya tetap tenang, tapi jelas ada nada khawatir di dalamnya. "Gimana gue nggak ngejewer, Kak. Ini adik durhaka udah bikin kita berdua nunggu hampir satu jam di bawah. Lo tau nggak yang dia lakuin di kamar? Bukan siap-siap, tapi malah bobok cantik kayak sapi yang pasrah di qurban, kan ngeselin banget!" Yula melontarkan kalimatnya dengan penuh emosi, sembari menunjuk-nunjuk Yuna. Yusna terperangah. "What? Yuna...!" serunya, tak percaya. Yuna, yang merasa disudutkan, tak mau kalah. Tanpa menunggu lebih lama, ia langsung berlari keluar rumah menuju mobil, seolah ingin kabur dari situasi yang memojokkannya. "Cih, tadi gue teriak dimarahin, sekarang dia sendiri teriak pake toa lagi." gerutu Yula, masih merasa kesal. Yusna hanya bisa menghela napas lagi, merasa lelah menghadapi drama adik-adiknya. "Yula, lo..." belum sempat Yusna menyelesaikan kalimatnya, Yula sudah berjalan cepat ke arah mobil untuk menyusul Yuna. Tak ada pilihan lain bagi Yusna selain ikut berjalan ke mobil, mencoba menghindari keributan lebih lanjut. Begitu masuk ke dalam mobil, Yuna sudah duduk di kursi belakang dengan wajah cemberut, sementara Yula duduk di depan sambil tetap melirik kesal ke kaca spion belakang, menatap Yuna. Yusna yang kini duduk di kursi pengemudi menghela napas panjang. "Lo berdua bisa diem gak? Kita mau jemput teman-teman kalian, dan gue nggak mau sepanjang perjalanan denger kalian berantem." Yula masih bergumam pelan, tapi akhirnya diam. Yuna hanya menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan diri. Mobil itu pun melaju keluar dari halaman rumah, menuju tempat teman-teman mereka yang menunggu. Di dalam mobil, Yusna hanya bisa berharap perjalanan ini tidak berakhir dengan kekacauan yang lebih besar. "Setiap hari ada aja dramanya." gumam Yusna pelan sambil mengemudi, berharap kesabaran dalam dirinya cukup untuk menghadapi kedua adiknya. *** Di sebuah pasar malam yang dipenuhi lampu kelap-kelip dan suara musik, suasana tampak riuh dengan orang-orang yang bersemangat menikmati berbagai wahana. Namun, di salah satu sudut, ketegangan mulai terasa antara kelompok kakak-beradik yang sudah lama menahan emosi. "Kita mulai rencananya sekarang." ucap Kinan dengan senyum licik di wajahnya, memperhatikan adik-adik mereka yang sedang terpukau dengan permainan di depan. Hikmah, Yula, Rabiatul, dan Kinan berjalan mendekati para adik mereka dengan langkah pasti. “Para adik durhaka.” ucap Kinan, membuat Agra, Kira, Yuna, dan Rayba serentak menoleh, memandang kakak-kakak mereka dengan tatapan kesal. “Apaan sih?” balas Agra tajam, diikuti tatapan serupa dari ketiga adiknya. “Kita semua bakal masuk ke wahana Rumah Hantu sekarang. Gak ada yang boleh nolak.” lanjut Hikmah dengan nada tegas, menantang. “Memangnya siapa yang mau nolak? Sorry aja, kita gak penakut.” sahut Kira lantang, tangannya melipat di d**a, memberi isyarat bahwa mereka tidak akan mundur. "Bagus, kalau gitu kita langsung ke sana." jawab Rabiatul, mulai melangkah menuju wahana Rumah Hantu yang berada tak jauh dari mereka. Namun, tiba-tiba langkah Yula terhenti saat melihat sepasang kekasih berfoto di depan wahana. Di sebelahnya, Kinan yang ikut berhenti memperhatikan wajah Yula, kemudian mengikuti arah pandangan Yula. Raut terkejut muncul di wajah Kinan ketika ia melihat siapa yang berdiri di sana. “Oy, lo berdua berhenti napa?” Kinan mengisyaratkan Hikmah dan Rabiatul untuk berhenti. “Kok berhenti?” Hikmah menoleh, bingung, tetapi segera terkejut saat melihat siapa yang ada di depan mereka. Di antara sepasang kekasih itu, berdirilah Arya, mantan pacar Yula, bersama seorang gadis lain. Wajah Arya kaget begitu melihat Yula berdiri tak jauh dari sana. “Buset dah tuh cowok.” gumam Rabiatul dengan nada sinis. Tanpa aba-aba, Yula maju ke depan dengan langkah cepat, membuat semua orang di sekitarnya terperangah. Tiba-tiba, Yula mengayunkan tangannya dan memukul Yuna yang kebetulan ada di dekatnya. PLAK! “Kak, kenapa lo mukul gue sih?” Yuna mengelus pipinya yang memerah, terkejut oleh tindakan kakaknya. Arya, yang tadinya bersama kekasih barunya, segera menyadari kehadiran Yula. “Yu...la.” ucap Arya, suaranya penuh keterkejutan. Tanpa menghiraukan tatapan Arya, Yula berbalik dan mulai berjalan menjauh dari tempat itu. Kinan, Hikmah, dan Rabiatul segera menyusul Yula. Arya, yang panik, juga bergegas mengejar Yula, meninggalkan kekasihnya yang kebingungan. "Ih, Arya kenapa lo ninggalin gue sih!" seru gadis itu kesal, menghentakkan kakinya ke tanah dengan marah. Kira yang berdiri tak jauh dari sana memutar bola matanya. "Makanya, banyak-banyakin istighfar. Tobat, mbak. Ingat sama yang di atas." kata Kira dengan nada sinis, membuat gadis itu semakin geram. “Apa lo bilang, anak kecil?” bentak gadis itu dengan mata menyala. "Sok ngatain kita anak kecil, padahal kelakuan lo sendiri kayak anak kecil," Yuna menimpali. "Dandan menor gitu gak ada cantiknya, malah kayak tante-tante. Tante girang lagi!" Gadis itu semakin kesal, wajahnya memerah. "Berani-beraninya lo ngatain gue tante!" Yuna tersenyum puas, sementara Rayba ikut menambahkan dengan nada mengejek. “Emang bener kan tante-tante. Coba ngaca deh, jadi gak usah ngelak.” Sementara itu, Agra yang diam-diam mendekati gadis tersebut dengan senyum licik, tanpa disadari memasukkan sesuatu ke dalam tas dan bajunya. “Eh, di dalam baju lo ada kecoa!” teriak Agra, membuat gadis itu langsung melompat ketakutan. “AH! Tolong! Mamah! Papah!” Gadis itu berlari terbirit-b***t menjauh, sementara keempat adik-adik tersebut tertawa terbahak-bahak menyaksikan kekacauan yang mereka buat. “Rasain lo. Makanya jangan main-main sama kita berempat.” ujar Kira sambil tertawa puas, diikuti semua teman-temannya yang juga tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN