Ketika Mami tidak pernah ungkit soal perjodohan lagi, harusnya Tara curiga, tak langsung percaya begitu saja jika Mami benar-benar sudah menerima pilihannya. Bisa jadi dinner dan undangan yang Mami bilang hanya cara terselubung untuk membuat Tara berkenalan dengan seorang anak kenalannya.
Tara ingin menolak untuk ikut, atau dengan cara pintas kabur begitu saja dari rumah. Lebih mudah minta maaf dari pada berkata jujur pada Mami. Pada akhirnya Tara tidak lakukan karena merasa sudah tidak pantas larikan diri seperti anak remaja begitu.
Hadapi dan Tara sedang melakukan ketika setuju untuk ikut.
“Mami bilang kamu cukuran, kenapa nggak?” tegur Mami yang kesal lihat Tara masih dengan rambut-rambut halus menutupi rahangnya. Tara sengaja memeliharanya, dia merasa cocok-cocok saja dan terlihat lebih Manly.
“Begini saja Mi, Tara tetap keren kok.”
Mami mendelik kesal, sementara Tyas yang sedang menyuapi Aileen dan Clarie sudah tertawa puas.
“Happy ya, lihat kita tukar posisi?!”
Tyas menaik turunkan alisnya, “Happy lah, selamat menikmati Ka! ingat tandanya Mami sayang kamu.” Tara pernah mengatakan itu ketika Tyas dulu selalu mengeluh akan aturan-aturan Mami. Kata-kata itu menyerang balik dirinya sekarang.
Tara berdecak, “Kamu nggak ikut?”
“Nggak dong, aku sudah terbebas dari acara-acara kayak gitu.” Jawabnya sambil mengedipkan mata membuat Tara semakin curiga.
“Perasaan aku kok jadi nggak enak!”
“Nggak enak mau ketemu perempuan-perempuan cantik.” Celetuknya.
“Perempuan cantik?” Tara menatap adiknya dengan serius.
Tyas mengalihkan tatapan pada anak-anak, sok sibukkan diri. “Ya kan, hm teman-teman Mami dan Papi anaknya banyak yang cantik.”
“Astaga, aku belum apa-apa sudah mual bayangkan Mami mengobralku pada teman-teman—“
“Mengobral? “
“Iya—“
“Ehem!” Mami berdehem kencang, membuat Tara tidak menyelesaikan kalimatnya. “Halo anak-anak Mami, orang yang kalian bicarakan ada di sini.” Tegurnya, sejak tadi Mami mendengarkan percakapan anak-anaknya itu.
“Sori, Mami. Ka Tara yang mulai duluan bukan aku.” Tyas selamatkan dirinya sendiri.
Tara memutar bola matanya malas, "Selalu lempar batu sembunyi tangan."
Tyas tertawa dan tara melangkah hampiri Clarie.
“Jangan tidur malam-malam, right?” Clarie mengangguk, Tara mencium puncak kepala anaknya dengan sayang lalu gantian mencium Aileen.
“Nanti cerita ya, ka!”
Tara mengedikan bahu “Malas, mau apa yang di ceritakan?!”
“Perempuan cantik mana yang bikin ka Tara terpukau.”
“Ada-ada saja! nggak usah menunggu aku pulang hanya untuk dengar hal itu, keinginan kamu nggak akan pernah terjadi. Never!”
“Oh ya, kita lihat saja. Seharusnya kalau kaka masih normal melihat perempuan cantik pasti akan tertarik--“
“Tyas, shut up!”
“Hahaha...” Tyas tertawa kembali, tawa yang lebih keras lalu menatap kakaknya itu berjalan keluar di ikuti Mami dan Papi yang juga sudah rapi.
Tara pakai batik berwarna abu-abu dan celana bahan hitam, terlihat formal dan tampan. Mungkin Tara tidak akan tertarik sama anak-anak teman Mami yang cantik-cantik, tapi, biasanya perempuan yang akan tertarik, apalagi kakaknya punya keduanya, rupawan dan berkarisma. Pikir Tyas tersenyum perhatikan Tara keluar dari rumah.
***
Sepanjang jalan Tara berusaha fokus pada jalan di depannya, sementara Papi duduk santai di sampingnya dan Mami di belakang. Kalau pergi bertiga, Tara tak pernah pakai sopir, dia sendiri yang akan menyetir.
Empat ban mobil berputar, melaju di aspal basah setelah sore tadi Bandung sempat di guyur hujan deras. Tadi Tara bahkan berharap agar hujan tidak mereda, mungkin saja acaranya di batalkan.
Lagi dan lagi semua hanya tinggal harapan semu. Waktu tetap berjalan, Tara sudah duduk menuju tempat acara.
Sepanjang jalan Tara dan Papi bertukar pendapat seputar pekerjaan, beberapa kasus yang sedang jadi berita atau politik terbaru. Papi sempat akan bergabung dengan salah satu partai besar, tetap banyak pertimbangan papi ambil serta permintaan Mami yang ingin setelah ini Papi tidak terlalu sibuk di luar, ingin menikmati masa tua bersama keluarga terlebih sudah punya cucu membuat Papi mengurungkan niatnya.
Tara bersyukur, Papi tidak jadi anggota dari politisi mana pun. Bukan apa-apa, dia yakin keluarganya akan semakin di sorot. Papi sudah bekerja terlalu keras sejak dulu, Tara juga ingin di masa tua Papi dan Mami tenang. Ya, walau kenyataan dirinya sendiri menjadi pikiran orang tuanya.
Mobil masuk ke area hotel bintang lima. Tara tidak tahu acara penting apa.
“Ulang tahun pernikahan teman Mami dan Papi.” beritahu Mami setelah Tara bertanya acara apa yang akan mereka hadiri. Pantas Mami membawa sebuah kado, Tara tidak ingin tahu isinya apa.
“Perayaannya pasti besar.” komentar Tara lalu mobil berhenti di lobi, Mami dan Papi turun, Tara juga lalu berikan kunci mobil pada petugas valet.
Sepanjang depan hotel ada beberapa karangan bunga bentuk ucapan turut berbahagia.
“Ayo, Tara!” ajak Mami membuat Tara belum sempat membaca untuk tahu nama teman orang tuanya yang jadi tuan rumah malam ini.
Langkah kaki mereka masuki ballroom hotel, suasana sangat elegant dan mahal. Kehadiran mereka dapat atensi para tamu lain. sejak lewati pintu ballroom, sejak itu juga orang tuanya tidak berhenti dapat sapaan.
Orang tuanya mengarahkan langkah sampai dekat pasangan berbahagia.
“Tara, ucapkan selamat ulang tahun pernikahan untuk tante Jasmine dan om Fadli Dirgantara.”
Tara tersenyum ramah, dia menyalami sepasang paruh baya yang sedang berbahagia tersebut.
“Happy Anniversary pernikahan, om dan tante. Sehat selalu dan bahagia.” Doa Tara dengan tulus.
"Terima kasih atas doa kamu juga sudah luangkan waktu berharga untuk datang ke acara sederhana kami."
Jika yang bicara bukan orang yang Tara segani, dia sudah terbahak. Sederhana? Yang seperti ini di bilang sederhana? Atau standar mewah kalangan atas lebih dari ini.
Meski begitu Tara tetap sopan dan tidak mengatakan isi hatinya, jangan sampai ada luka timbul akibat ucapan sembarangan. Tara memegang teguh prinsip itu dalam menghadapi situasi di mana pun.
Fadli Dirgantara, mantan panglima jenderal yang terkenal di Indonesia, dia juga jadi pendiri dan petinggi salah satu partai. Baru tadi Tara membahas soal politik dan salah satu orang yang dibicarakan ada di depan mereka, sementara Jasmine Swatamita adalah seorang penyanyi senior bahkan di nobatkan menjadi Diva di jamannya, pantas acara pesta mereka di adakan sebesar ini, belum lagi ada beberapa media di luar yang menunggu.
“Adam nggak tertarik bergabung dengan saya di politik, mungkin kamu Artara Rashid yang akan ikut terjun ke politik.” Suara tegas teman Papi membuat Tara yakin siapa pun yang bicara dengannya nyalinya akan ciut.
Bukan hanya berwibawa tapi juga bisa menggetarkan lawan bicaranya, Tapi Adam Rashid jelas bisa mengimbangi.
Tara tersenyum sopan, “Nanti mungkin, om. Untuk saat ini belum terpikir sampai ke sana.” Padahal di dalam hatinya Tara sama sekali tak berminat terjun ke dunia politik, mau di Indonesia atau di luar sekalipun dunia politik itu keras dan butuh mental kuat.
"Negara ini butuh anak muda seperti kamu." Kata om Fadli lagi.
"Sekarang pun Tara sudah berhasil jadi anak muda yang membangakan untuk negara ini." Ujar Tante Jasmine, dia menatap Tara dengan rasa kagum dan hangat.
"Terima kasih tante." Balas Tara.
“Putri cantiknya ko nggak diajak, Tara?” tanya tante Jasmine lagi, membuat Tara bisa menyimpulkan bahwa Mami cukup dekat dengan wanita itu.
“Mau di ajak cuman sebentar lagi waktunya tidur malah nanti mengajak pulang.” Mami yang menjawab.
Orang tua masih terlibat pembicaraan, Tara sesekali ikut menimpali sampai ada kesempatan dia pilih menepi sejenak dari sana. Melangkah menuju makanan yang berjajar, Tara mengambil minuman biasa tanpa alkohol, dan menyesap perlahan sambil menatap pada semua orang di sini. Saling berlomba dengan pakaian dan perlengkapan terbaik, termewah. Lalu pembicaraan tidak jauh dari hal-hal duniawi. Saling unjuk gigi atas Tahta dan harta yang di miliki.
Tara merasa bosan, akan pergi namun dia menatap sejenak pada panggung ketika lagu-lagu lawas yang tadi terdengar berhenti, seorang pembawa acara memanggil seseorang yang Tara tidak begitu mendengarkan siapa namanya. Dia hanya bisa melihat sosoknya merupakan seorang wanita memakai gaun malam biru dengan lengan panjang dan berkerah sabrina naik ke sana. Tara hanya bisa melihat dari bagian belakang, wanita itu di minta untuk menghadap depan.
“Tara!” panggil suara Mami membuat Tara langsung menoleh pada sumber suara orang tuanya.
“Mami cari, kamu di sini. Ayo kita ke meja, Papi menunggu.” Mami menarik tangan Tara.
Dia bergabung dengan Papi. Meja bundar di depan mereka ada lilin dan beberapa bunga mawar merah yang segar menjadi latar belakang dinner di pesta malam ini, jadikan acara begitu terlihat mewah.
Pelayan datang menyajikan menu-menu seperti di resto bintang lima.
Tara mulai mengangkat sendok untuk makan menu pembuka tetapi gerakan terhenti tepat sebuah suara dari alat musik biola terdengar. Lelaki itu langsung menatap ke panggung dan terpaku akan apa yang di dapati.
“Wanita yang sedang main biola itu anaknya tante Jasmine dan om Fadli. Anak bungsunya, seorang musisi biola” beritahu Mami menangkap tatapan Tara terpaku pada panggung.
“Tara sepertinya pernah bertemu.”
“Oh, ya? Di mana? Dia cantik sekali, kan?” pertanyaan antusiasme Mami sadarkan Tara untuk segera menarik pernyataan tadi, sebab Mami terlihat tertarik sekali.
Tara benar-benar menyesal.
***
“Mami kecewa, nggak sempat perkenalkan kamu sama anaknya Jasmine.” Keluh Mami ketika mereka sudah di perjalanan pulang. Tara bersyukur sekali lagi pada sang kuasa sebab itu tidak terjadi.
“Memang Mami nggak puas seret Tara ke sana ke mari tadi, di kenalkan ke hampir semua anak teman Mami?” tanya Papi, Tara terkekeh ternyata Papi perhatikan.
“Gimana mau puas, anak sulung kamu ini terlihat membosankan dan nggak minat ketika di kenalkan tadi. Kalau kamu seperti ini, mana ada yang mau sama kamu, Tara.”
“Mami bicara begitu seakan Tara belum pernah menikah saja.”
“Tapi, kamu lajang sekarang.” Mami berusaha keras membuat Tara kesal. “Mami rasa, kita bisa atur makan malam lebih privasi dengan keluarga Dirgantara. Bagaimana Papi?” lanjut Mami dengan semangat.
“Mami, aku nggak akan ikut.”
“Oh ya? Yakin sekali kamu?” Mami menatap tajam lalu kembali pada ponselnya, Tara melihat itu semua dari kaca tengah mobilnya, lalu dia melirik Papi.
“Turuti permintaan Mami sekali, kalau kamu mau berhenti di tuntut untuk melakukannya.” Kata Papi, membuat Tara tetap menggeleng, karena jika ada satu pertemuan, perkenalan maka Mami akan menuntut untuk proses lebih lanjut.
Apalagi Mami terlihat serius kali ini. Seberapa pun dia berusaha untuk menghindar jika akhirnya Tara harus menuruti Mami, rasanya menolak selama ini hanya berakhir sia-sia.
***
Dua hari kemudian...
Bukan Mami namanya kalau tidak buat rencana kejutan untuk anak-anaknya, dua malam setelah hadiri pesta tersebut rumah Rashid terlihat sibuk, bunga segar bahkan menghiasi beberapa pas kristal koleksi Mami dan Tara yang mulai hadapi perasaan tak enak, ketika baru pulang dari kerja langsung di paksa segara naik ke kamar, lalu kemeja dan celana bahan sudah di siapkan Mami di atas ranjang.
“Ada apa lagi sih Mami?”
Mami tidak pernah pilihkan pakaian untuknya, sudah sejak lama bahkan dari Tara mulai hidup mandiri di London.
“Nggak usah banyak tanya, kamu mandi biar segar terus berpakaian dan turun. Kita akan kedatangan tamu.”
“Tamu?”
“Iya, Mami lihat untuk pertama kali malam itu kamu tertarik menatap perempuan lebih lama. Itu Mami anggap sebagai persetujuan kamu untuk kenalan dengan anak tante Jasmine.” Katanya tanpa peduli Tara langsung ternganga dengan informasi tersebut.
"Tara nggak pernah setuju." Tara akan berjuang sampai detik terakhir, siapa tahu masih punya kesempatan untuk mengubah pikiran Mami. Lagi pula Tara terpaku bukan karena tertarik tapi karena alasan lain.
"Kenalan saja dulu, Mami yakin kamu akan berubah pikiran. Si bungsu dari keluarga Dirgantara ini pasti cocok sama kamu." Kata Mami sangat yakin.
Bisa-bisanya hanya karena menatap lebih lama seorang wanita, di anggap sebagai persetujuan. Tunggu, apa memang malam itu juga sebenarnya sudah dari bagian rencana Mami? Pikir Tara.
Kepala Tara di penuhi kalimat-kalimat tanya ingin di pertanyakan langsung pada Mami tapi dia tidak punya kesempatan itu ketika Mami sudah tidak di temukan lagi ada di kamarnya.
“Astaga!” desahnya, Tara bahkan sampai terduduk lemas di ranjang dengan tatapan lurus pada bingkai besar pernikahannya.
“Kenapa nggak ada yang mengerti kalau kamu nggak akan pernah tergantikan oleh siapa pun, Clarisa? Aku harus bagaimana?”
Perasaan Tara saat ini bagai terimpit menimbulkan sesak, dia ingin semua orang mengerti dirinya. Kalau pun suatu hari nanti Tara akan mulai hidup baru dengan penganti Clarisa, dia ingin lakukan itu bukan karena tuntutan orang lain tapi karena Tara sendiri yang ingin melakukannya. Dia hanya takut salah langkah, lalu timbulkan luka lain.
Tapi, kapan semua akan terjadi?
Dia sendiri pun belum menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Seperti yang selalu di katakan, jika memang bisa hidup sendiri seperti sekarang, Tara merasa lebih baik begitu.
[to be continued]
Dari awal aku sudah bilang kalau cerita ini akan beda dari cerita Una sebelumnya, dari awal kalian akan di buat berpikir, penasaran terus tebak-tebakan. Wkwkwk.
Baca sampai akhir dan ikuti alurnya aja. Baca jangan di jadikan beban, buat diri kalian menikmati di sela-sela waktu luang. Terima kasih untuk yang selalu kasih komentar seru.
Thank you :)