BCP- 9

2200 Kata
Happy Reading, jangan lupa komentar ya :) *** Tara pastikan pintu mobil di kendarai Tyas sudah tertutup rapat, dia melambaikan tangan pada Clarie dan Aileen, sementara adiknya itu menatap dengan sengit. Masih kentara kesal karena di pertemukan dengan Rian, lelaki yang hampir di jodohkan dengannya. Kemudian Tara berbalik menemukan temannya masih berdiri di depan resto, dua tangannya di masukan ke saku celana sementara kepalanya bergerak mengikuti arah mobil Tyas. Sebagai orang yang telah lama mengenal Rian, Tara mudah baca arti tatapan mata lelaki itu yang masih sisakan rasa pada sang adik. Cinta tidak harus memiliki. Cinta harus merelakan. Cinta asal dia yang tersayang bahagia. Tara pernah dengar kata-kata tentang cinta yang satu pihak begitu, dan realitas satu-satunya yang Tara lihat terjadi pada Rian. Dulu, dia pikir Rian hanya sekedar penasaran pada Tyas. Melihatnya sekarang, Tara yakin Rian benar-benar menaruh hati pada Tyas.  Tara setuju-setuju saja jika akhirnya Tyas menikah dengan Rian, Tara kenal Rian sebagai laki-laki pemegang teguh prinsipnya. Tyas pasti akan terjaga ketika bersama Rian. Itu semua harapan Tara, dan akhirnya tulisan takdir Tyas bersama Dhito. Laki-laki yang bisa buktikan pada keluarga bahwa dia pun bisa menjaga Tyas. Terpenting bagi Tara, mau Tyas dengan siapa pun yang penting adiknya itu temukan definisi bahagia. Melihat kehidupan pernikahan Tyas dan suaminya, Tara yakin pilihan Papi saat percayakan Tyas pada Dhito pun tepat. “Lo sengaja minta gue jemput ke sini?” todong Rian begitu Tara berhenti di depannya. Tara tersenyum kecil, “Katanya jalin silaturahmi bisa bikin kita panjang umur, lo belum pernah dengarnya?” “Ha-ha-ha! Termasuk silaturahmi dengan mantan?” Rian ikut tanggapi gurauan temannya itu, mereka melangkah bersama menuju mobil Rian, membuka pintu masing-masing. Rian di kemudi, dan Tara duduk santai di sisinya. "Adik gue belum sampai jadian sama lo, kan? Bukan mantan berarti." Ledek Tara. "Ya, sayang gue kalah cepat dan kalah pesona sama lelaki lain." Rian mengakui karena yang di bicarakan Tara adalah fakta. Dia kalah saat baru mulai. "Tapi, Tara. Gue serius bahwa jaga silaturahmi sama mantan itu bagus juga." “Tentu, asal pasangan mantan lo yang baru bukan tipe posesif dan agresif, terlebih dia tukang pukul, jangan sampai bukan panjang umur malah sebaliknya karena lo di anggap sebagai rival dari masa lalu.” Jawab Tara ketika sudah duduk dan mobil mulai meninggalkan area tersebut. Rian tertawa mendengar perkataan Tara. “By the way Tyas terlihat makin cantik walau sudah punya satu anak. Hm... gue rasa mulai menyesal—“ “Damn you! hapus pikiran lo itu!” Tara menatap serius. Rian tertawa lepas, berhasil kerjai balik Tara. “oh come on! I’m just kidding. Gue nggak segila itu merebut milik orang lain.” "Jangan macam-macam Rian, banyak perempuan cantik lain yang bebas lo miliki dengan status jelas bukan milik lelaki lain." Tara masih mengingatkan Rian, padahal Rian bergurau. Bukan tanpa sebab karena jaman sekarang ini ada saja orang yang tidak rasional apalagi menyangkut soal hati, hingga bertindak menutupi nuraninya sendiri, halalkan berbagai cara untuk bisa bersama orang yang dicintai. Bahkan di tempatnya sering temui kasus-kasus tak rasional karena cinta. Terutama draf pengajuan perceraian rata-rata karena muncul orang ketiga. Rian kembali tertawa, "Dalam urusan jatuh cinta gue masih pakai akal kok." Katanya dengan santai. "Cinta itu harus di nikmati, kalau awalnya saja sudah salah gimana mau bahagia, iya nggak?" "Iya, syukurlah." Ujarnya lega. Keduanya lalu mulai bahas pekerjaan selama perjalanan. Membicarakan kasus yang masih di tangani Rian soal perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga menimpa klien yang merupakan seorang artis muda. *** Menjelang sore, mereka baru kembali ke kantor Rashid, Papi minta keduanya untuk ke ruangan kembali diskusi sampai waktu tak terasa. “Ayo pulang Tara, kamu masih ada pekerjaan?” tanya Papi begitu menyusul anak sulungnya ke ruangan pribadinya, sementara Rian kembali keluar untuk bertemu klien dan tampaknya tidak kembali lagi ke kantor. “Papi nggak di jemput sopir?” sudah setahun belakangan ini, Papi pilih menggunakan sopir di banding harus menyetir sendiri. “Sudah.” Jawab Papi. “Papi duluan saja, Tara harus baca berkas-berkas kasus sengketa ini.” Tara sibuk dengan berkas, sementara mata lelaki paruh baya itu menelisik pada ruangan Tara. dia berdiri di depan meja kerja, tangannya terulur mengambil bingkai—foto Clarisa, mendiang menantunya—tidak hanya di sini, kamar pribadi putranya itu juga masih banyak terdapat foto-foto Clarisa juga barang-barang yang punya kenangan kebersamaan mereka maupun Clarisa. Seakan cincin yang masih di pakai Tara saja tak cukup menandakan betapa putranya itu masih belum menerima kenyataan, belum merelakan semua yang terjadi, masih mencintai istrinya. “Tara, mau sampai kapan seperti ini?” Pertanyaan Papi yang tiba-tiba membuat Tara mendongak. Mau sampai kapan? Apa memang dia yang seperti ini saja tidak bisa buat orang-orang di sekitarnya percaya kalau Tara baik-baik saja? benaknya. *** Pertanyaan selalu menyita pikiran Tara, mengapa orang-orang menilainya prihatin? Tara masih waras, dia masih menjalani hari-harinya, tak mengurung diri sampai kehilangan akal lantas punya pikiran pendek untuk menyusul istrinya pergi dari dunia yang fana ini. Semua itu tidak terjadi padanya. Semua orang ingin dia lupakan Clarisa, dan itu tidak akan pernah Tara lakukan. Setiap pembicaraan itu, Tara akan pilih menghindar dari keluarganya untuk menenangkan diri. Menyetir tak tahu arah, ke sana-kemari sampai mobilnya masuk ke wilayah bukit Dago. Sudah sejauh itu dia menyetir dan perutnya terasa lapar. Tara ingat kalau salah teman Tyas tinggal di sini, menikah dengan pemilik resto. Sacred Lotus resto begitu menemukan tulisan besar beserta tempatnya yang paling mencolok dengan bangunan besar dan lampu-lampu indah yang menyalah, belum lagi masuk dan keluarnya mobil dari sana, Tara putuskan untuk membelokkan setir dan makan di sana. Memilih outdoor dengan menikmati semilir angin sejuk dan pemandangan kota Bandung malam hari. Dia hanya seorang diri, menunggu makan malam yang sudah di pesannya datang. Padahal waktu sudah jam sembilan malam, tapi yang makan di resto ini masih banyak. “Sop buntut dan nasi, ice lemon tea. Sudah semua, mau pesan tambahan pak?” tanya pelayan wanita resto dengan sopan. Tara tersenyum kecil, “Tidak, terima kasih.” Pelayan itu mengangguk, dan pergi. Dia sengaja memesan makanan berkuah dan hangat, semenjak kembali tinggal di Indonesia Tara jadi biasa makan nasi lagi, ketika di London menggantinya dengan sumber karbo lain seperti kentang, roti gandum dan banyak variasi lagi. Mulai makan, Tara mendesah puas ketika merasakan kuah sop buntut yang di pesannya benar-benar terasa enak. Pantas resto ini paling ramai. Menatap kerlip lampu malam hari dengan suasana tenang membuat Tara bisa merasa lebih tenang dari sebelumnya. Meski di dalam kepalanya terus memikirkan perkataan demi perkataan orang sekitarnya. Ponselnya bergetar di atas meja, membuat layarnya menyala perlihatkan walpaper foto Clarisa yang diambil sedang mengandung Clarie tujuh bulan.  Dia tersenyum getir, ternyata ketika itu adalah hari-hari terakhir mereka untuk bersama. Tara terbuai oleh rasa bahagia, sampai lupa bahwa rasa itu bisa terganti dengan duka kapan saja. “Hahh!” Tara kembali menghela napas panjang, makanan di depannya sudah habis pindah ke dalam perutnya. Dia sebenarnya masih ingin menikmati pemandangan di sana tapi, udara semakin dingin, selain itu orang rumah pasti akan cemas kalau sampai tengah malam dirinya belum pulang sedangkan orang keamanan di kantor Rashid sudah mengabari Papi kalau Tara dari beberapa jam yang lalu sudah meninggalkan kantor. Tara beranjak untuk membayar ke kasir, dan pulang ke rumah. Kaki-kaki jenjangnya melangkah pasti menuju mobilnya berada. Kreek! Bunyi patah dari sesuatu yang di injak membuat Tara berhenti dan mundur satu langkah. Tara menunduk, ternyata tak sengaja menginjak sebuah gelang wanita Golden dengan bunga berwarna putih berjumlah tujuh, Tara tidak mengenali jenis bunganya. Di gelang itu ada juga mutiara kecil berwarna sama, rantai panjang di ujung yang terpisah. Bunyi barusan pasti membuat rantenya putus. Gelang yang cantik. “Cantik, siapa pemiliknya?” gumam Tara dia mencari sekitarnya tapi tak menemukan orang yang sedang mencari keberadaan gelang di tangannya itu. “Apa seseorang yang mobilnya terparkir di sini?” Tara ingat betul kalau ada mobil audi white tepat di sebelah mobilnya. Tara sebenarnya bisa saja mencari tahu melalui CCTV resto, dia kenal pemiliknya yang teman Tyas. Namun, gelang itu rusak karena injakan tak sengajanya. Dia memasukkan ke saku kemeja, berpikir untuk dia benarkan lebih dulu baru kembali ke resto ini atau minta bantuan Tyas untuk hubungi temannya si pemilik resto dan jika suatu hari ada yang datang mencari gelang ini, bisa memberitahu kalau Tara telah menemukan. Tapi, melihat bagaimana gelang ini tergeletak di sana. Pasti pemiliknya tak menyadari telah kehilangan gelang ini. “Ya sudahlah, bagaimana nanti saja.” Tara tak ingin terpaku di sana memikirkan yang tak pasti. Tara sampai rumah pukul sebelas malam, bersyukur semua orang sepertinya sudah tertidur. Dia mandi lebih dulu barulah masuk ke kamar putrinya melalui pintu penghubung. Papa mana yang tak akan tersenyum lebar melihat posisi tidur anaknya yang mengemaskan, jadi energi tersendiri membuat Tara sadar kalau ada Clarie, dia harus kuat demi putrinya, permata hatinya. “Semua orang takut kamu nggak bahagia, Bunny. Mereka sangat mencemaskan masa depan kamu. Mereka pikir Papa nggak memikirkan kamu, percayalah Clarie dari semua yang telah terjadi, Papa memikirkan kamu maka dari itu Papa kuat melewati semuanya. Papa sangat mencintaimu, Cla. Sangat.”  “Meski hanya punya Papa, kamu akan bahagia.” Lanjutnya. Tara lalu memutuskan untuk tidur dengan Clarie lagi malam ini. Berharap dengan memeluk Clarie, Tara mendapat tidur tenang dari mimpi-mimpi yang kerap mengganggu juga membuat semua beban di pikirkan ini sejenak terasa ringan. *** Mimpinya terganggu dengan gerakan berirama, hingga tubuhnya ikut terguncang. Tara mengerang, “ARGH!” Lalu mengaduh kencang ketika perutnya merasa tertimpa sesuatu yang berat dan membuatnya sesak. Matanya otomatis terbuka lebar, dan dua wajah anak kecil ada di depannya sambil tertawa-tawa. “Cla... Ai! Papa nggak bisa napas! Kalian berat sekali.” keluh Tara tapi dua gadis cilik itu tidak mau turun dari perutnya. “Dah becal, pa!” protes Clarie. “Kalian memang sudah besar.” dengan sekuat tenaga Tara merengkuh keduanya lalu berguling, dia duduk dan gantian menggelitik perut mereka sampai tawa riang dan teriakan minta Tara berhenti terdengar keluar, karena pintu kamar Clarie memang di buka. “Apun Pa Tala!” “Heumm, ctopp Pa!” Tara tertawa, “Okay, tapi boleh Papa dapat Sweet Kiss dari kalian.” Wajahnya sengaja di majukan ke arah dua anak tersebut. “Muah!” Tara mendapatkan kecupan manis di masing-masing pipinya. “Siapa yang minta kalian bangunkan Papa?” tanya Tara selanjutnya dengan penasaran. “Oma!” ternyata Maminya. “Ini sudah siang Artara, kamu nggak turun-turun, makanya Mami minta Cla dan Ai banguni kamu.” Mami muncul di pintu, sudah rapi terlihat akan pergi. Tara menyugar rambutnya, dengan mata mencari tahu jam berapa dia bangun hari ini. 9 a.m. “Mami mau ke mana. Sabtu ini sudah rapi?” anak-anak sudah anteng main boneka. Tara bergerak untuk turun, meregangkan otot-otot leher dengan mengerakkan ke kanan-kiri, begitu pun dengan mengerakan tangan ke atas. “Rumah mentari sama Tyas.” “Anak-anak di ajak?” “Tentu, memang kamu mau jaga mereka berdua?” “Ya udah tinggal saja, ada Erin di rumah.” Mami menggelengkan kepala, dia mendekat pada anak-anak untuk bersiap pergi. “Mami lebih tenang awasi mereka langsung.” “Kamu nggak ada rencana keluar hari ini?” tanya Mami lagi. “Nggak, Tara di rumah.” Tara sudah akan kembali ke kamarnya. “Tara, sebaiknya kamu bercukur agar terlihat lebih muda.” Tara ternganga dengan ucapan jujur Mami. “Tara memang masih muda, Mami.” Dia menggeram sebal. “Kamu terlihat tak terurus, kamu butuh wan—“ “Mami, please stop. Masih terlalu pagi untuk kita berdebat.” Tara hafal kalimat itu berujung di mana. Ini terlalu Pagi untuk membuat Tara kesal sepanjang hari nanti sedangkan pekerjaan dia sedang banyak-banyaknya. Tara minta pengertian Mami, dia pun tak ingin membuat kesehatan Mami menurun seperti kemarin. Dia akan sangat merasa bersalah nantinya. Tidak ada anak yang ingin kesehatan orang tuanya terganggu terlebih penyebabnya memikirkan dirinya. Beruntung Mami juga menahan diri, mungkin teringat pesan dokter agar dirinya tidak terlalu banyak pikiran. Wanita yang sudah memiliki dua cucu itu pun akhirnya hanya bisa menghela napas sabar. “Mami juga minta kamu bersiap kalau nanti malam kita ada undangan dinner di luar.” “Tara nggak bisa.” “Kamu bisa, Mami yakin pekerjaan kamu sudah selesai. Papi juga setuju kamu ikut kita malam nanti.” Tambah Mami dan Tara tidak di beri kesempatan menolak lagi, begitu Mami sudah melangkah keluar kamar di ikuti cucu-cucunya. Lelaki itu tiba-tiba merasa tak ingin pergi nanti malam. Firasat mengatakan kalau nanti malam bukan hanya Dinner biasa, Tara malas jika bertemu banyak rekan dan kerabat Mami-Papi, karena artinya Tara harus siap menghadapi Mami yang akan mencari jodoh potensial untuknya. Tara, itu anaknya teman Mami, seorang dokter muda. Cantik, kan? Atau sama anak teman Mami yang itu, seorang model papan atas dan ber-pendidikkan tinggi. Damn! Baru memikirkan rentetan kalimat Mami dengan usaha mengenalkan Tara dengan anak dari teman-temannya saja sudah membuat Tara Badmood. Jangan pikir hal-hal nyeleneh ibu-ibu di acara pesta bertemu rekan-rekan seperti ini hanya terjadi pada ibu yang miliki anak gadis, karena ibu yang miliki anak bujangan pun akan lakukan hal sama. Di mana ada tempat cocok berburu menantu idaman, maka sebaiknya di hindari. Sayang, sepertinya Tara tak bisa larikan diri malam ini seperti malam-malam sebelumnya karena Papi ikut campur dengan persetujuannya. [to be continued]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN