Chapter 1

1580 Kata
Shiva membuka matanya berat terganggu suara memekakan telinganya, gedoran dan teriakan kakaknya sungguh membuatnya pusing. Matanya melirik jam, ini masih pagi kenapa kakaknya mengganggunya? "Shiva! Cepat keluar!" Shiva Aurel Shafire, ya, gadis itu mengacak rambutnya dengan kesal. Kakaknya sungguh menyebalkan. ceklek Shiva menatap datar Dio yang sudah menunjukkan cengiran konyolnya, "Kenapa?" "Kamu nggak mau sekolah? Ini udah siang, nanti terlambat.” “Sekolah?” Dio mengacak rambutnya gemas, “Iya sayang, kamu kan sekolah hari ini” Shiva masih menunjukkan wajah bingungnya, sekolah? Sejak kapan dia sekolah? “Aku nggak sekolah kak, sejak kapan aku sekolah?” Dio tersenyum, “Mulai sekarang kamu sekolah bareng kakak” “Apa?” “Kamu belum bersiap?” sahut Aldo mendekati kembaran dan juga adiknya. “Apaan sih?! Udah ah aku mau lanjut tidur!” Aldo menahan pintu kamarnya, “Apa lagi?!” Shiva menatap galak ketiga kakak kembarnya ini, matanya masih mengantuk dan dia tidak ingin diganggu sekarang. “Kamu dipanggil bunda” ujar Aldo membuat mata Shiva kembali seger. Tanpa mandi atau cuci muka dia langsung turun menemui bundanya, menuruni anak tangga dengan cepat. Ketiga kakaknya mengikuti langkahnya. Di meja makan sudah ada bunda dan juga ayahnya begitu pula kedua abang kembarnya, sampai sekarang Shiva masih berfikir bagaimana bundanya bisa melahirkan double seperti itu. Shiva menggeret kursinya hingga perhatian mereka teralihkan, “Kenapa bun?” “Kamu belum bersiap?” Shiva meneguk air minumnya, “Mau kemana?” “Mulai sekarang kamu sekolah umum dengan kakakmu” Shiva meletakkan gelasnya kasar, “Umum?!” “Kenapa dengan home schoolingnya?” Bunda menghela nafasnya, “Kamu ga bisa terus-terusan mengurung diri Shiva.” “Kamu bisa punya banyak teman di sana. Kakak juga akan melindungi kamu” jelas Arsenal anak sulung dari keluarga ini. Shiva mendengarkan dengan tidak semangat, bunda menyentuh tangan Shiva. “Kamu akan baik-baik aja.” “Apakah harus?” Bunda mengangguk, “Kamu tidak bosan belajar sendirian di rumah?” Shiva menggeleng, dia senang hanya tinggal di rumah saja. Dia tidak suka menjadi sorotan semua orang, itu membuatnya terganggu. Ayah tersenyum dari tempat duduknya, “Fikirkan lagi sayang, sekolah umum lebih seru. Kamu punya banyak teman dan melihat hal-hal yang belum pernah kamu lihat. Pertimbangkan hal ini sayang, demi kebaikanmu.” Shiva menghela nafas lalu mengangguk, “Aku tidak akan sekolah hari ini.” “Okay, kamu bisa memikirkannya” Semuanya menatap Shiva yang berdiri, “Mau kemana?” Tanya Arsenio kembaran Arsenal. “Mandi. Aku nggak mau makan sebelum mandi.” Ujarnya berjalan meninggalkan mereka dan kembali ke kamarnya. Shiva sangat memperhatikan kebersihan tubuhnya dan dia akan terganggu jika seseorang mendekati dirinya jika belum bersih dari keringat. Bunda menghela nafasnya menatap punggung Shiva yang menjauh, dirinya juga khawatir membiarkan Shiva keluar dari pengawasannya namun putrinya harus mengenal dunia. Beberapa tahun ini gadis itu mengurung diri di rumah dan tidak bepergian kemana pun. Ayah menggenggam tangan bunda meyakinkan, istrinya masih belum yakin dengan pilihannya. “Ini demi kebaikannya bunda” Bunda mengangguk, “Kalian cepat berangkat! Ini sudah siang” Ketiganya mengangguk dan berpamitan, “Shiva! Kakak berangkat” teriak Dio. Shiva membuka pintu kamarnya, “Kakak jangan lupa pesananku!” seru Shiva. Dio menengok, “Kakak lupa, kamu beli sendiri saja. Kakak males beliinnya” Shiva cemberut menuruni tangga, “nyebelin” cibirnya melengos melewati Dio yang tersenyum. Shiva menghentakkan kakinya kesal lalu duduk di samping bundanya, “mau beli apa?” “Kalung. Punya Shiva putus” “Putus?” Shiva mengangguk, “Kok bisa?” Shiva mengangkat bahunya, “Mungkin udah lama Shiva pakai jadi putus” “Nggak. Kalung itu ga akan putus berapa tahun kamu pakai, Shiva. Kamu apain?” Bunda menatap putrinya yang sudah sibuk dengan makanannya, ini aneh. Shiva akan menjaga benda kesayangannya dengan sangat hati-hati. “Shiva nggak tau bunda, kemarin aku liat kalungnya putus” “Nanti beli sama abang” sahut Senal memberikan senyumannya. “Abang aja yang beli, aku nggak ikut” tolak Shiva halus. Senal menggeleng, “Abang nggak mau kalo kamu nggak ikut.” “Abang!” seru Shiva kesal. “Apa?” Shiva menghela nafasnya, “Kalungnya mau aku pake abang” “Itu bukan urusan abang, kalo mau beli ayo sama abang. Kamu nggak boleh titip, abang nggak tau kesukaan kamu seperti apa” Mata Shiva memicing, mana mungkin abangnya tidak tau kesukaannya. “Ya udah nggak usah beli, aku pake kalung mainan aja” “Jangan dong! Jelek!” “Abang nggak mau beliin ya udah” “Abang mau beliin kalo kamu juga ikut sama abang.” “Nggak mau!” “Ya udah abang akan buang semua kalung aksesoris kamu” Mata Shiva melebar mendengar ancaman abangnya, senyuman miring Senal terlihat. Adiknya tidak akan menolak untuk kali ini. “Ikut aja sayang” ujar bunda. “Iya, kamu bisa ngabisin uang abang” ujar Seno menyetujuinya. Shiva menatap ayahnya yang hanya mengangguk. "Ah! Kalian nyebelin!” serunya pergi ke kamar. Senal tersenyum puas melihatnya, adiknya akan keluar bersamanya. “Ayah, aku batalin pergi keluar kota hari ini.” Ayah mengangguk, “Aku yang gantiin kamu” sahut Seno. “Kamu?” Seno mengangguk. “Kenapa? Kamu ga percaya?” Senal menggeleng tidak setuju, “Aku hanya bingung, sejak kapan kamu mau mengurusi pekerjaanku?” “Sejak kamu mengajak Shiva keluar rumah” Senal tersenyum mengangguk. Suara langkah kaki terdengar mengalihkan semua perhatian. Shiva menutup wajahnya dengan syal dan kacamata hitamnnya, “Kamu jadi buronan ya?” Shiva berdecak, “Udah ayo!” Senal menggeleng melihatnya, merampas syal dan kacamata yang dipakai Shiva dan melemparnya kearah kembarannya. “Abang!” “Abang nggam mau jadi pusat perhatian Shiva. Kamu berpakaian kayak tadi menarik perhatian semua orang, mereka pikir kamu aneh.” Shiva menggerutu, “Itu bukan urusan mereka” “Tetep aja itu urusan abang.” Senal menangkup wajah Shiva dan tersenyum. “Abang nggak mau kamu jadi pusat perhatian. Kamu nggak dandan pun abang yakin mereka pasti merhatiin kamu.” “Dimana kepercayaan diri kamu Shiva? Abang ga suka kamu jadi begini, abang sedih ngeliatnya” Senal menatap dalam mata Shiva yang membalasnya, gadis ini cukup menderita. Senal ingin adiknya ini kembali ceria dan tidak takut pada hal apapun. Dengan ragu Shiva mengangguk, semuanya tersenyum melihatnya, “Bersenang-senanglah Shiva” Shiva melirik abang kembarannya ini kesal, “Abang seno ga mau ikut?” Seno menggeleng, “abang punya kerjaan.” “Cih! Sok sibuk!” Seno tersenyum mendengarnya, “Abang akan ajak kamu kalo abang bebas.” “Shiva nolak.” Jawab Shiva menarik tangan Senal yang sudah tertawa mendengar penolakan Shiva. “Sabar ya” ujar bunda ikut tertawa. “Bunda” tegur ayah melihat wajah musam Seno. “Maaf” Seno menghela nafasnya, Shiva menyebalkan bukan? *** Senal mengeratkan genggamannya saat Shiva bersembunyi di belakangnya. “it’s okay Shiva. Abang ada di sini” Senal menarik Shiva ke sampingnya. Shiva meringkuk ketakutan melihat semua orang yang berlalu lalang di depan dan belakangnya. Shiva menghela nafasnya menenangkan fikirannya dan juga jantungnya yang berdetak cepat. Tangannya membalas genggaman abangnya, dia pasti bisa melewati semuanya. Senal masih menatap Shiva, dia akan menghabiskan waktu untuk hari ini bersama Shiva. Dia akan menunjukkan hal menyenangkan hingga adiknya bisa terlepas dari traumanya. Shiva menatap Senal yang mengangguk meyakinkan dirinya. Shiva melepaskan tautan tangannya dan berjalan lebih dulu. Shiva menghentikan langkahnya saat seseorang berjalan kearahnya, matanya melirik orang itu yang tidak melakukan apapun kepadanya. Senyumannya terlihat menatap Senal yang juga ikut tersenyum. Lega rasanya melihat Shiva kembali tersenyum lebar seperti ini. Senal sungguh tidak pernah melihat senyuman Shiva selebar ini. Shiva melangkahkan kakinya riang, melihat semua barang jualan yang telah dipajang sedemikian rupa. Memasuki toko secara acak, melihat aksesoris dan keluar kembali membuat Senal pusing sendiri. Gadis ini seperti baru keluar dari penjara bertahun-tahun. Shiva menghentikan langkahnya saat melihat anak kecil menangis di depannya, matanya melirik Sena sejenak alu menghampiri gadis kecil itu. “Kamu kenapa?” “Mama” “Mama? Mama kamu kemana?” Kepalanya menggeleng, Shiva memberikan senyumannya jemarinya menghapus air mata gadis itu. “Jangan takut, kakak temenin ya. Kamu jangan nangis, mama lagi ke toilet sebentar kok” ujar Shiva menenangkannya. Senal tersenyum melihatnya, Shiva sudah bisa berinteraksi dengan seseorang. Senal menengok kesana kemari mencari ibu dari anak ini. “Nama kamu siapa sayang?” Tanya Senal berlutut menyamakan tingginya. “Popi” “Oke Popi, kamu tau nomor telfon mama?” Popi menunjukkan jam tangannya, Senal memeriksanya dan di situ ada informasi kontak dari anak ini. Senal langsung menghubunginya dan langsung tersambung, “Anda kehilangan anak anda” “Cepat kemari, dia ketakutan” Senal memutuskan sambungannya, Senal tidak bisa menyalahkan orang tuanya karena Senal tau bagaimana kehilangan anak sekecil ini saat Shiva menghilang. “Popi!” “Mama!” Shiva tersenyum melihat senyuman lega dari ibu sang anak, dia mendekati keduanya dengan rasa senang. “Makasih ya nak” ibu itu bersalaman dengan Shiva dengan cepat dan meninggalkannya. Shiva menatap tangannya, orang itu menyentuhnya dan dia tidak kenapa-napa. Shiva kembali menatap Senal, matanya berkaca-kaca. Senal mengacak rambutnya gemas, “Lihat kan? Ga ada apapun yang terjadi selama kamu bersama abang” Shiva menganggukan kepalanya tersenyum lebar, “Abang aku boros buat satu hari ya, dan itu uang abang” Senal mengangguk, kapan lagi Shiva bisa menghabiskan uangnya. *** “Shiva mana?” Tanya Dio panic ketika tidak melihat adiknya di kamar. “Dia belum pulang bun?” Tanya Seno. Bunda menggeleng, “Kemana?” “Shiva lagi menjelajahi dunianya” jawab bunda. Ketiga pirang itu menegakkan tubuhnya, “Shiva shopping?” Bunda mengangguk dengan senyumannya, “Semoga ga ada yang dikhawatirkan” “Bunda!” teriak Shiva kencang. Serentak semua orang terkejut mendengarnya, “Kenapa sayang? Kamu ngagetin bunda” “Bunda, abang genit!” adu Shiva mengingat kejadian tadi. Ayah dan anak-anaknya mengusap dadanya lega melihat Shiva baik-baik saja. “Jangan teriak-teriak Shiva, kakak kaget” “Kakak tau nggak?! Abang genit!” “Sama siapa?” Tanya Dio antusias ingin mendengar gosip dari Shiva yang baru saja keuar rumah. “Abang genit sama kasir. Dia pandang-pandangan sama si kasir” “Itu wajar sayang” “Ih nggak! Abang pegang tangan si kasir” Dio menggeleng kepalanya melihat Shiva menceritakan hal yang wajar dari si kasir dan juga pembeli. Senal mengacak rambut Shiva, “Udah abang bilang kan itu hal wajar” Shiva mencibir, “Shiva tau mana yang wajar dan bukan. Kasir itu terpikat sama abang, jadi abang sok ganteng dan sok dingin.” Celoteh Shiva meletakkan belanjaannya di atas meja. Aldo dan Aldi mengintip isi belanjaan Shiva dan semuanya pakaian juga aksesoris. “Kamu nggam beli kalungnya?” “Beli. Ini” Shiva menunjuk kearah lehernya. Hening, semuanya diam dengan fikiran masing-masing hingga Shiva mengucapkan hal yang membahagiakan. “Bunda aku mau sekolah umum.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN