“Putuskan dari sekarang. Kalau kamu benar-benar cinta, kamu nggak perlu menyesal. Hidup susah di awal nggak apa-apa. Ke depannya juga akan membaik asal Keandra tanggung jawab. Daripada kalian lontang-lantung nggak jelas. Yang rugi kamu bukan orang lain termasuk Keandra.”
Episode 12 : Pilihan yang Sulit
Sandy baru memejamkan matanya ketika Benny yang tengah ia jaga, tiba-tiba menyebut nama “Sunny”. Nama yang dua hari terakhir kerap terucap dari bibir padat ayahnya.
Sandy berusaha tak acuh. Membiarkan papanya bernostalgia. Mengenai Sunny yang dikata sang papa mirip almarhumah mama Sandy. Jika disimpulkan dari cerita Benny, papanya itu mengagumi Sunny. Bahkan bagi Benny, Sunny ibarat wanita impian lelaki. Hal tersebut membuat Sandy berpikir papanya telanjur jatuh hati kepada Sunny. Atau malah, papanya kembali puber hanya karena kehadiran Sunny?
Meski terbilang tidak masuk akal, tapi jika melihat fisik sekaligus kepribadian Sunny, bagi Sandy penilaian Benny terhadap wanita itu tidak begitu salah. Sunny memang cantik, kalem dan santun meski jika diperhatikan, wanita muda itu begitu sungkan bahkan takut kepadanya. Entahlah ... tetapi bagi Sandy, Sunny memang takut kepadanya. Jangankan mengobrol, menatapnya saja, Sunny terlihat jelas ketakutan.
Meski berniat tak acuh, lama-lama Sandy yang tengah mencoba istirahat bahkan ingin tidur walau hanya sebentar setelah seharian penuh waktunya terkuras untuk bekerja, justru menjadi risi lantaran Benny terus membicarakan Sunny.
Sandy tidak masalah jika papanya terus membahas Sunny bahkan wanita lain. Yang membuat Sandy merasa terbebani, Sunny jauh lebih cocok menjadi anak Benny ketimbang menjadi kandidat mama baru untuknya. Sandy takut Benny hanya kecewa jika harus jatuh cinta pada wanita yang bahkan lebih cocok menjadi adik Sandy. Belum lagi, Sunny merupakan anak sahabat Benny. Lantas, kenapa papanya justru sembrono mencintai anak sahabatnya sendiri yang jelas jauh lebih muda? Atau mungkin, cara pikir Benny sudah kembali seperti anak kecil?
Sambil meringkuk membelakangi Benny, Sandy berkata, “Sunny terlalu muda kalau harus jadi mamaku, Pa. Cari yang lain saja kalau Papa memang ingin menikah lagi.”
Suara Sandy terdengar berat khas orang lelah yang juga telanjur sangat mengantuk.
Benny yang awalnya senyum-senyum sambil menatap langit-langit ruang rawatnya menjadi terdiam kebingungan. Kelopak matanya yang sudah disita keriput, bergerak-gerak karena mengerjap. Ia menatap bingung Sandy yang justru memberinya punggung.
“Sand ... Sand ... Papa belum beres cerita. Ayo dong jangan tidur dulu.”
Sandy yang masih bisa mendengar rengekan Benny, makin tak habis pikir. Ia yang masih muda saja tidak seheboh itu dalam membahas cinta, tetapi papanya yang sudah dimakan usia justru sangat menggelora.
“Sand ....”
Benny sampai menepuk-nepuk p****t sang anak yang kemudian membalasnya dengan bergumam.
“Tapi Sunny cantik, kan?”
“Mmm ....”
Setelah Sandy kembali berdeham sebagai balasnya, Benny tergelak di tengah kebahagiaan yang seolah meluap. Kebahagiaan yang tiba-tiba hadir semenjak Sunny datang menjenguknya dua hari lalu.
“Sunny memang cantik. Dia tumbuh menjadi wanita yang matang dan begitu santun. Iya, kan, Sand?”
Ya ampun, kayaknya papa masuk kriteria abege tua, deh ....
Sandy tidak bisa tidur lantaran tawa Benny sungguh membuat suasana berisik. Belum lagi tak lama setelah itu, Benny juga menjadi batuk-batuk. Hal tersebut membuat Sandy terjaga dan menenangkan Benny sebelum memberinya minum.
“Sudah, Pa, jangan ketawa terus. Nanti yang lain terganggu istirahatnya,” tegur Sandy. “Jangan bahas Sunny terus-menerus juga. Kasihan, nanti telinga Sunny panas!” lanjutnya.
***
Keesokan harinya tepatnya di sore hari ketika Sandy mendatangi hotel tempatnya akan menggelar resepsi pernikahan, ia tidak sengaja melihat Sunny berjalan keluar menuruni tangga beranda hotel. Kenyataan tersebut langsung mengingatkan Sandy pada Benny. Karenanya, senyum masam hadir begitu saja menarik sedikit ujung bibirnya. Bahkan tak lama setelah itu, Sandy yang masih berdiri membelakangi pintu kemudi mobilnya juga menjadi terkikik.
“Ya ampun, selera papa benar-benar tinggi. Apa memang papa yang nggak tahu diri?” gumam Sandy masih menganati Sunny, tetapi benaknya tiba-tiba membayangkan Sunny bersanding dengan Benny mengenakan pakaian pernikaha . Membayangkannya saja, seperti seorang ayah yang mengantar anaknya ke altar pernikahan.
Ketika Sandy berniat menyapa Sunny terlebih jarak mereka hanya sekitar sepuluh meter, pun mengenai kebaikan Sanny menjaga papanya yang sampai menjadi selalu berbunga-bunga selain baju hangat rajut merah yang wanita itu berikan padanya, Sunny justru berlari kecil menuruni anak tangga. Ada seorang pria muda, berdiri menunggu di depan sebuah motor matik warna hitam, untuk Sunny.
Sunny dan si pria terlihat sangat bahagia. Pandangan keduanya pun berseri-seri. Ekspresi yang sama saat Sunny menggandeng tangan seorang pria di rumah sakit ketika Sandy berniat menyusul Sunny. Dan sepertinya, pria itu juga masih pria yang sama. Pria tampan yang begitu hanyut menatap Sunny di antara senyumnya. Tak beda dengan pemandangan tunggal di wajah Benny ketika membahas Sunny.
Pria itu mengenakan helm pada Sunny dan tak lama kemudian keduanya meninggalkan hotel. Sandy memperhatikannya hingga kebersamaan keduanya benar-benar tidak terlihat di antara kendaraan yang memenuhi jalan sore ini.
“Wah parah. Saingan papa berat. Lagian Sunny juga kelihatan sayang banget sama pria itu. Tapi kalaupun Sunny masih belum punya calon, kemungkinan dia mau jadi mamaku juga mustahil, sih.” Lagi-lagi Sandy terkikik. Malang sekali nasib Sunny sampai ditaksir kakek-kakek—pikirnya yang kemudian mulai menaiki anak tangga memasuki hotel.
***
“Mama sama papa jadi ke Bandung?” tanya Keandra sambil terus memacu motornya di tengah jalanan yang sempit lantaran macet.
Beberapa sepeda motor yang menghuni jalan, berlomba-lomba mencari celah di antara jajaran mobil yang sama sekali tidak bisa geser dari posisinya, di tengah seruan kendaraan yang begitu memekakkan pendengaran.
Yang membuat Sunny terdiam, bukan panggilan Keandra terhadap orang tuanya yang tak lagi “Om dan Tante”. Panggilan yang berubah sepulang mereka dari rumah sakit, dua hari lalu. Sebab ketika kota Bandung terucap, yang ada di pikiran Sunny justru mutasi sekaligus kenaikan jabatan untuknya.
Apa jadinya jika Keandra tahu mengenai mutasi itu yang harus ia putuskan di hari Seninnya sementara sekarang sudah akhir Sabtu? Ia hanya memiliki sehari untuk menentukan masa depannya. Kesempatan langka yang belum tentu akan terulang. Juga, kesempatan langka yang bisa menjadi bumerang hubungannya dengan Keandra.
Keandra saja bisa melepas musik bahkan kesempatan emas, kenapa Sunny tidak? Terpikir oleh Sunny jika begitulah yang akan orang-orang katakan jika mengetahui keadaannya dan Keandra. Sunny, seorang pasangan yang tidak tahu diri bahkan egois!
“Sayang, kamu nggak tidur, kan?”
Keandra memastikan kedua tangan Sunny yang masih mendekap pinggangnya. Kedua tangan berjemari panjang lentik itu masih mendekapnya dengan kuat. Namun kenapa Sunny tidak menjawab pertanyaannya?
“Mungkin Sunny nggak dengar. Ini kenapa lagi suasananya sumuk banget?” gumam Keandra.
Kendati demikian, Keandra kembali menanyakannya ketika mereka sampai di depan gerbang rumah Sunny.
Sore ini langit dikuasai mendung sedangkan udaranya sangat panas tapi lembap. Tanda-tanda kuat jika dalam waktu dekat akan turun hujan atau setidaknya gerimis.
Sunny tidak langsung menjawab dan justru tertunduk dengan wajah yang begitu lesu tak bersemangat.
Keandra yang melihat kesedihan di wajah Sunny, berangsur melepaskan helm Sunny. “Kamu mau ke Bandung juga?”
Sunny berangsur mengangkat tatapannya dan menatap Keandra. Tatapan yang bergetar atas rahasia yang ia sembunyikan. “Kalau aku ke Bandung, bagaimana?”
Keandra tampak berpikir sambil mendongak sementara bibir tebalnya mengerucut.
“Kean ....?”
“Mmm?” Keandra hanya bergumam.
“Maaf, ya? Aku egois ....” Sunny mengatakannya dengan sangat menyesal. Ia merasa sangat bersalah kepada Keandra. Tak semata karena pria itu sampai mundur dari Singer Star melainkan kenaikan jabatan yang Sunny dapatkan.
Kenyataan tersebut membuat ketenangan Keandra gusar. Kenapa Sunny terlihat sangat sedih? Apa yang mengganggu wanitanya, atau jangan-jangan ada yang sengaja membuat Sunny sesedih sekarang seperti ketika Neon?
“Kata siapa kamu egois? Siapa yang bilang begitu?”
Sunny menggeleng dan kembali menunduk. Ekspresi yang benar-benar terjadi ketika ia sedang bersedih dan Keandra paham itu.
Keandra menyisihkan helm bekas Sunny ke jok motor bagian depan. Ia menahan kedua bahu Sunny dan menuntun wanita itu untuk menatapnya.
“Ada masalah?”
Sunny membalas pertanyaan Keandra dengan menggeleng lemah.
“Terus?”
“Kayaknya tinggal di Bandung lebih enak, ya?”
“Tapi aku baru diterima kerja,”
Mendapati Sunny langsung menengadah, Keandra pun menghentikan ucapannya.
“Ya sudah, kalau begitu, aku akan cari kerja lagi di Bandung,”
Sunny menatap Keandra dan bergeming. Ia teringat kata-kata Xan siang tadi.
“Kadang aku berpikir kalau Keandra hanya terobsesi ke kamu. Kalaupun dia tulus ke kamu, tapi kamu justru jadi kelemahannya. Coba saja, minta apa yang kamu inginkan pasti dia langsung usaha. Ibaratnya, Kean belum punya pendirian.”
“Kean, cari kerja itu nggak gampang. Susah. Bahkan kamu juga sudah merasakannya, kan?” ujar Sunny mencoba memberi Keandra pengertian.
“Terus?” Keandra menatap bingung kekasihnya.
Tatapan Sunny kembali turun tak bersemangat. Namun karena rintik hujan tiba-tiba mengguyur, Sunny meminta Keandra untuk masuk. Ia yang membukakan gerbang sementara Keandra mengendarai motornya.
Sunny dan Keandra masuk rumah dengan tubuh yang basah. Keandra sibuk mengelap sisa hujan di wajah dan kepala Sunny. Pemandangan itu membuat Sofia yang membukakan pintu menjadi cemas. Hubungan putrinya dengan Keandra makin hari makin lengket. Bahkan beberapa tetangga sudah mulai menjadikan kenyataan tersebut obrolan hangat. Karenanya, ketika Sunny membuatkan teh hangat untuk Keandra di dapur, sementara Keandra menunggu di ruang tamu, Sofia sengaja menemui putrinya untuk berbicara empat mata.
Sofia sampai menutup pintu dapur tanpa bisa menyembunyikan ketegangannya.
Sunny yang baru selesai mengaduk teh racikannya pun dibuat bingung dengan ekspresi serius Sofia yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Kenapa, Ma? Ada masalah?”
Sofia yang awalnya melangkah pelan, langsung bergegas setelah mendapatkan pertanyaan tersebut.
“Ny, Mama mau ngomong serius.”
Sunny mengangguk dan siap menyimak. Ia tak kalah serius dari Sofia yang sampai membuatnya tegang. Sampai-sampai, sendok yang masih ia pegang, berangsur ia letakan tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua manik mata Sofia.
“Tadi ada yang datang ke sini. Mereka orang kaya. Orang terpandang. Orang yang bisa kasih masa depan terang seperti yang kamu inginkan.”
Sofia menceritakannya dengan menggebu-gebu.
Sunny mengangguk. “Terus masalahnya apa? Apa hubungannya sama aku?” ujarnya bingung.
Sofia tidak langsung menjawab. Ia menggigit bibir sambil menengadah.
“Ma ... jangan bikin aku takut, ih ....” Sunny jadi harap-harap cemas di mana rasa takut juga mulai menyerang dan menguasai pikirannya.
“Masalahnya kamu sama Keandra. Mau dibawa ke mana hubungan kalian? Sebenarnya Mama bingung ke kamu. Kamu nggak mau dinikahi, tapi kalian makin lengket.”
Balasan Sofia membuat Sunny menunduk pasrah, membenarkan anggapan sang mama.
“Ny, kamu dan Keandra sama-sama dewasa. Kalian sama-sama normal dan punya nafsu. Bagaimana kalau kalian melakukan hal di luar batas hubungan, sementara semuanya tak lagi sama? Kamu dan Keandra tak lagi seperti sekarang atau malah, Keandra tak mungkin menikahimu karena suatu hal?”
“Putuskan dari sekarang. Kalau kamu benar-benar cinta, kamu nggak perlu menyesal. Hidup susah di awal nggak apa-apa. Ke depannya juga akan membaik asal Keandra tanggung jawab. Daripada kalian lontang-lantung nggak jelas. Yang rugi kamu bukan orang lain termasuk Keandra.”
Sunny terdiam. Suasana hatinya meredup sedangkan pikirannya melayang tak jelas. Ia memang mencintai Keandra, tapi ia tetap dengan prinsipnya untuk memiliki modal sebelum membangun rumah tangga. Namun jika harus memilih apalagi berpisah dengan Keandra, Sunny benar-benar tidak bisa.