Episode 15 : Rafael Veanso

1557 Kata
“Karena sepandai-pandainya Sunny menghindar, Rafael juga memiliki banyak cara untuk mendekatinya.” Episode 15 : Rafael Veanso Rafael Veanso, nama itu kembali menjadi pengirim buket mawar merah yang begitu indah. Tertera dalam kartu ucapan merah muda bertinta emas. Elegan dan romantis, begitulah kesan yang Sunny dapat dari kiriman bunga yang bahkan sudah membuat ruang kerjanya tak beda dengan toko bunga. Kalau tidak mawar merah, pasti mawar putih meski ornamen berikut aksesori yang melengkapi tak pernah sama. Hanya saja, nama pengirim berikut kata-kata yang tertulis di kartu ucapan pasti selalu menggunakan tinta emas. Awalnya Sunny merasa risi. Beberapa kali ia juga mengeluhkan kenyataan tersebut pada yang bersangkutan. Namun karena Rafael juga tipikal ngeyel dan terus memaksa di matanya, mau tidak mau ia menutup mata dan sengaja mengabaikannya. Sebab, seberapa pun mewah semua yang Rafael berikan padanya, hati dan kehidupannya sudah telanjur dikuasai Keandra tanpa seorang pun yang bisa mengusiknya. Pun kendati Rafael tak kalah memiliki wajah rupawan serta tubuh bidang yang kerap menjadi pembicaraan para karyawan. Cinta Sunny pada Keandra tetap tak tergoyahkan! Layaknya kini, di jam makan siang, ketika Sunny kembali ke ruang kerjanya setelah melakukan rutinitasnya yaitu menerima tamu dan mengecek semua keadaan hotel termasuk keluhan para tamu, ia dihadapkan dengan kiriman paket makanan. Sebuah meja saji telah diantarkan oleh seorang pelayan hotel yang bahkan sampai ia hafal namanya. Roni, pria muda berusia 19 tahun itu tersenyum dengan bibir yang sengaja tahan lebar. Roni berdiri tepat di balik tembok sebelah pintu memperhatikan ekspresi Sunny yang terlihat menjadi kaku, menatap bingung apa yang ia antarkan. Sunny menatap pria kurus di hadapannya. Lagi-lagi Roni jelas menertawakannya. “Orangnya ke mana?” tanyanya dengan suara lirih tak beda dengan berbisik. Kedua mata besarnya menatap ke sekitar depan ruangan dan jelas berjaga. Ia harus memastikan Rafael tidak menguntit layaknya biasa. Pun meski terkadang, Sunny juga merasa ngeri pada Rafael yang tiba-tiba muncul tanpa menunjukkan tanda termasuk suara langkah. Roni bungkam. Hanya menggeleng sambil menghalau senyumnya yang makin menjadi bahkan meski ia telah menekap bibirnya yang cukup hitam dikarenakan kerap menyesap kandungan nikotin. Sunny mengerucutkan bibir karena merasa sebal. “Ya sudah bawa masuk. Tapi kamu yang makan, ya?” ujarnya pasrah. Roni langsung menggeleng cepat. “Kenapa lagi?” desis Sunny mulai serba salah. Roni tetap melakukan hal yang sama, menggeleng tanpa disertai ucapan kendati Sunny tahu betul, pria muda di hadapannya bisa bicara dengan baik bahkan memiliki suara lantang jika sedang bercanda dengan karyawan lain. Sunny tidak sepenuhnya menyalahkan Roni, kenapa pria itu tidak menerima tawarannya. Sebab jika ia di posisi Roni, hal yang sama juga akan ia lakukan. Mana berani ia menghadapi Rafael yang sering berubah menjadi bengis tiba-tiba, padahal dalam hitungan detik sebelumnya baru bertegur sapa dengan begitu ramahnya. “Kalau begitu dimakan bareng-bareng saja di belakang, ya?” bujuk Sunny belum mau menyerah. “Bagi-bagi sama yang lain ...?” Makanan sebanyak itu mana mungkin Sunny habiskan sendiri. Kalaupun habis, itu bisa jadi jatah makannya selama satu minggu. Lagi pula, kenapa juga porsi makan kiriman hari ini berkali-kali lipat dari biasanya bahkan sampai datang dua meja saji lagi? Sunny buru-buru mengoreksi anggapannya mengenai jumlah porsi makanan itu. Karena dengan bertambahnya makanan, bisa menjadi jatah makannya selama 3 minggu. Gila saja jika ia harus menghabiskan semua itu. Kalaupun memang hanya mencicipi untuk keperluan hotel, tak seharusnya porsi sajian makanan dalam jumlah besar. Sunny terheran-heran menatapnya. Sedangkan ketiga pelayan pengantar makanan termasuk Roni, hanya menunduk sambil menyimpan kedua tangan mereka di depan perut. Pemandangan yang lumrah terjadi dari seorang pelayan sebagai tanda hormat mereka ketika sedang bekerja. “Sebenarnya ada apa? Kenapa makanan-makanan ini dikirim ke sini?” tanya Sunny makin penasaran. Apakah akan ada acara makan besar di ruang kerjanya? Tapi untuk apa? Ia bahkan ingin beristirahat ketimbang makan. Ia ingin tidur walau hanya sebentar. Bukan tanpa alasan, karena semalam setelah tiga bulan tidak pernah berkomunikasi dengan Keandra, pria itu menghubunginya menggunakan nomor baru. Nomor Korea Selatan, pastinya. Melalui aplikasi w******p, keduanya melakukan panggilan video. Semalam, Keandra melakukannya sambil berlatih dance. Hal baru bagi Keandra di tengah waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Dibilang Keandra, kekasihnya itu berlatih selama hampir 20 jam setiap harinya. Keandra juga tak hanya berlatih menyanyi dan dance, karena dia juga harus menguasai beberapa alat musik seperti gitar, basis, piano, juga drum. Sebab, terpilihnya Keandra memang sengaja dibentuk menjadi bintang yang serba bisa. Kini, hati Sunny menjadi mencelus tatkala sesosok tegap melangkah ke arahnya. Rafael Veanso, pria keturunan tionghoa itu datang melangkah ke arahnya dengan pandangan yang begitu lurus. Padahal Sunny sempat berpikir pria itu sedang di Jakarta untuk mengurus hotel utama. Namun sepertinya Rafael jauh lebih senang menghabiskan waktu di Bandung termasuk mengganggu Sunny. Sunny segera menunduk kemudian cukup membungkuk sebagai sambutannya pada Rafael. “Manajer Sunny belum makan siang, kan?” tanya Rafael tanpa basa-basi. Pun meski ketiga pelayan pria muda pengantar makanan, masih bersama mereka. Sunny tidak langsung menjawab. Aku nggak mau, gara-gara Rafael, aku kena denda 1 triliun. Kemudian ia berdeham tanpa menatap pria bersetelan jas hitam di hadapannya. “Hari ini saya tidak makan siang karena saya sedang puasa, Pak.” Sunny juga sengaja tetap menunduk dengan kedua tangan di depan perut layaknya ketiga pelayan yang mengantarkan makanan. Siapa juga yang puasa. Hari ini saja aku masih mens! Coba Pak Rafael mau ngapain lagi kalau aku sudah bilang puasa. Sunny kerap melirik Rafael diam-diam, memastikan perubahan ekspresi pria itu. Rafael mengerutkan dahi mencoba mencerna maksud Sunny. “Bukannya sekarang bukan bulan puasa, kenapa kamu puasa?” Rafael tampak tak percaya. “Kalian puasa juga?” tanyanya pada ketiga pelayan pria yang berdiri di samping belakangnya, terjaga untuk ketiga meja berisi makanan. Hal tersebut pula yang membuat Sunny segera memberi penjelasan. “Dalam agama kami, puasa tidak hanya di bulan puasa atau bulan Ramadan, Pak. Memang yang wajib hanya di bulan puasa, tetapi saya juga ingin menjalankan yang sunah.” Merasa belum paham juga, Rafael pun kembali bertanya mengenai apa yang dimaksud sunah. Ya ampun, orang ini niat banget! Meski kesal, Sunny tetap berlaku sopan kemudian menjelaskan. “Ibadah sunah itu ibadah yang bila dilakukan akan mendapat pahala, dan apa bila tidak lakukan tidak berdosa. Dan puasa sunah yang saya jalani memiliki penjelasan yang sama.” Tiba-tiba saja, Sunny merasa dirinya sedang berdakwah selain menjadi wanita yang lebih alim. Setelah terdiam cukup lama, Rafael berdeham dan menyuruh ketiga pelayan yang ada untuk membawa masuk makanan-makanannya ke ruang kerja Sunny. Kenyataan yang benar-benar di luar dugaan Sunny. Sunny menatap tidak percaya ketiga meja saji berisi makanan yang didorong masuk ke ruang kerjanya. “Pak Rafael akan makan siang di ruang kerja saya?” tanya Sunny gugup. “Ya.” Rafael mengangguk enteng. Seolah-olah tidak ada masalah meski ekspresi Sunny menunjukkan keberatan terhadap keputusannya. “Sekalian sama kamu.” Deg. Untuk beberapa saat dunia Sunny seolah berhenti. Kemudian ia bertanya-tanya dalam benaknya: Bosnya ini masih bisa mendengar sekaligus berpikir dengan baik, kan? Bukankah ia sudah menjelaskan sedang tidak bisa makan siang, sedang puasa? “Nggak usah puasa, kan nggak dosa. Aku nggak mau kamu sakit. Ayo, cepat makan.” Setelah berkata seperti itu, Rafael memasuki ruang kerja Sunny. Ketiga pelayan yang mengantar makanan kompak pergi menunggu di luar ruangan. Meski mengecam apa yang Rafael lakukan, mau tidak mau Sunny menyusul lengkap dengan tertutupnya pintu sesaat ia masuk. Di ruang kerja Sunny memang ada ruangan berisi meja dan sofa yang keberadaannya terpisah dari keberadaan meja kerja. Meja yang panjangnya hampir 2 meter berbentuk persegi panjang sementara di keempat sisinya disertai sofa. Dua sofa berukuran panjang layaknya meja, sementara duanya lagi hanya setengah bagiannya. Rafael duduk di salah satu sofa panjang sementara makanan yang tadi menghuni meja saji, telah tersusun rapi di meja. Rafael menyambut kedatangan Sunny dengan seulas senyum kemudian sebelah tangannya yang menopang pada sofa tempatnya duduk, menepuk-nepuk beberapa kali. Sunny yang berdiri di dekat sofa berukuran lebih kecil, paham Rafael memintanya duduk di sebelah pria itu. Namun sekali lagi, ia menolak layaknya permintaan-permintaan sebelumnya. Ia menolak permintaan itu dengan menggeleng pelan. Senyum di wajah Rafael menjadi berkurang. “Kenapa?” “Kalau Pak Rafael memang mau makan, makan saja karena aku akan tetap puasa.” “Nggak dosa meski nggak puasa, kan? Lagi pula, aku khawatir sama kesehatanmu.” Kenapa begini? Kenapa Pak Rafael mempersulit pekerjaanku? Apakah aku memang hanya bekerja sampai di sini? “Maaf, Pak. Sebelumnya saya baik-baik saja walau saya puasa. Tapi jika bekerja kepada Pak Rafael memang tidak memperbolehkan saya berpuasa, ....” Sunny terdiam sejenak. Sedangkan Rafael yang masih menyimak terlihat makin serius. Dari semua penolakan yang dilakukan, bagi Sunny ibadah merupakan jurus terampuh menghindari Rafael. Tapi jika setiap waktu harus beralasan, rasanya itu tidak mungkin. Karena sepandai-pandainya Sunny menghindar, Rafael juga memiliki banyak cara untuk mendekatinya. Namun, masa iya, Sunny harus berhenti bekerja dan menjadi pengangguran? “Kamu mau berhenti bekerja?” ujar Rafael memecahkan ketegangan Sunny. Sunny refleks terkesiap dan beberapa kali mengerjap. Rafael memang bukan orang biasa. Rafael masih menatap Sunny dengan tenang dan cukup santai. Ia melakukannya dengan cukup menengadah dikarenakan wanita muda yang selalu mengenakan setelan panjang itu berdiri cukup jauh darinya. “Kalau begitu berhentilah. Berhenti bekerja dan setelah itu menikah denganku.” Bak bom waktu yang langsung memorak-porandakan segalanya, pengakuan Rafael berhasil membuat Sunny menjengit sembari menatap tidak percaya pria tersebut. Rasa takut yang sejak awal kepindahannya ke Bandung ia tepis akhirnya membuncah dan terbukti. Rafael memiliki maksud lain atas semua perhatian sekaligus perlakuan khusus padanya. “Aku serius. Ayo kita menikah.” Sambil menunggu balasan Sunny, Rafael bersedekap. “Dari awal melihatmu, aku sudah tertarik kepadamu. Memangnya kamu pikir, ada alasan lain kenapa kamu dimutasi dan mendapatkan semuanya dalam waktu sangat singkat?” Sunny ketar-ketir. Sungguh tidak pernah ia duga jika keberhasilan yang ia dapatkan dan sempat ia banggakan justru hanya tipuan belaka. Sunny pikir alasannya mendapatkan jabatan itu karena dirinya pantas. Namun ternyata tidak. Karena itu juga, Sunny merasa hancur. Sakit sekaligus malu. Dan kenapa juga ia harus berhubungan dengan pria seperti Rafael? “Aku pikir aku hebat. Tapi ternyata tidak!” gumam Sunny nyaris menangis. Kedua tangannya mengepal erat di samping tubuh. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN