Episode 17 : Menolak Lamaran

1007 Kata
“Kenapa kamu lebih memilih masa depan yang nggak jelas? Kamu nggak tahu, kan, apa yang dilakukannya di luar negeri? Bagaimana kalau dia ada main dengan wanita lain? Kamu di sini setia-setia, tapi akhirnya sia-sia? Hanya menjaga jodoh orang dan menunda masa depanmu sendiri?” Episode 17 : Menolak Lamaran Ketika Sunny turun dari taksi, ia dikejutkan oleh keberadaan Rafael yang sudah terjaga di depan gerbang indekosnya. Tak ada kendaraan termasuk mobil mewah yang selalu digunakan pria itu di setiap bepergian. Atau jangan-jangan, ia hanya sedang berdelusi saking kesalnya pada pria itu? Namun ketika Sunny mengucek kedua matanya kemudian kembali memastikan, Rafael yang ia dapati justru berangsur menghampirinya. “Iya, ini aku. Tidak usah pura-pura terkejut!” cibir Rafael sambil melirik sinis pada Sunny. “S-siapa yang terkejut? Lagi pula bukankah Anda yang menginginkan saya mengundurkan diri? Terus, kenapa Anda sampai jauh-jauh datang ke sini?” Sunny menepis tatapan Rafael. Namun tak lama setelah ia berucap, sebuah kertas HVS tersuguh di hadapannya bersamaan dengan pria itu yang juga berdiri di hadapannya. “Surat kontrak,”ucap Rafael jutek. Sunny mulai bingung. “Apa maksud Anda?” Ia menatap Rafael dengan saksama kemudian menatap kertas yang dimaksud. Ada tanda tangannya di atas materai. Ya, itu surat kontrak yang ia tanda tangani ketika baru menjadi karyawan di hotel Rafael. “Baca baik-baik. Di surat kontrak yang kamu tanda tangani tertulis berapa lama kamu harus bekerja.” Sunny bergeming. Ia ingat, ia tidak teliti membaca surat kontrak kerjanya karena saking bahagianya langsung diterima kerja di hotel milik Rafael yang merupakan salah satu hotel bergengsi di Indonesia. Ya ampun aku kecolongan. Kenapa aku bisa sangat ceroboh? Melihat Sunny menjadi gelisah, diam-diam Rafael tersenyum puas. “Kamu terikat kontrak lima tahun. Jadi kembali ke hotel dan bekerjalah.” Setelah mengatakan itu, Rafael menyimpan surat kontrak kerja Sunny di saku dalam jasnya. “Kenapa saya harus kembali ke hotel?” tanya Sunny yang memang jadi tidak tenang. Ia benar-benar kesal. Dan kenapa juga ia bisa memiliki hubungan dengan orang seperti Rafael? Sunny bahkan sampai berteriak mengulang pertanyaan itu jauh di lubuk hatinya. Ia menjerit dan merasa terjebak. Siaaaaal! “Kenapa bertanya seperti itu? Kamu mau, makan gaji buta?” Rafael setengah mengomel. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan saya tidak memiliki kemampuan untuk bekerja di hotel, kenapa saya harus tetap bekerja?” Sunny mendengkus dan menunduk. Ia sudah sangat malas memiliki urusan dengan Rafael. Ya Tuhan, tolong buat Rafael amnesia sebagian agar dia melupakan dan melepaskanku, aku mohon .... “Kalau kamu sadar diri tidak bisa bekerja, ya belajar!” Sunny tak acuh dan sengaja tidak menggubris kata-kata Rafael. “Iya ... iya. Mengenai alasanku menerimamu—itu lupakan saja. Kamu sudah bekerja keras dan memang memiliki kemampuan. Sedikit.” Rafael mengatakan itu tanpa menatap Sunny. “Kemampuanmu benar-benar sedikit!” tambahnya lirih. Sunny menatap Rafael dengan pandangan kesal. Baginya, Rafael memang tidak pernah tulus kepadanya. “Sudah cepat, kembali ke hotel.” Rafael memastikan waktu melalui arloji yang menghiasi pergelangan tangan kirinya. “Jam istirahat akan segera habis.” Ketika Sunny baru balik badan, ponselnya berdering. Ia langsung menerimanya karena itu telepon dari Sofia. “Iya, Ma?” Mendengar panggilan yang Sunny gunakan yaitu “Ma” pada si penelepon, Rafael yang berdiri di belakang Sunny menjadi ingin tahu pembicaraan yang dibahas. “Iya, aku masih istirahat. Ada apa? Masalah penting?” Sunny terdiam untuk menyimak. Pun dengan Rafael yang jauh lebih bekerja keras dalam melakukannya. Apalagi, kendati sudah mendekat, Rafael tidak bisa mendengar lebih jelas menganai apa yang dibahas mama Sunny di seberang. “Lamaran?” ucap Sunny terdengar sewot. “Lamaran?” gumam Rafael mengulang ucapan Sunny. “Biarkan saja. Ma ... iya biarkan saja. Mereka berhak melakukannya, tapi mereka nggak berhak menuntut balasan. Mama bahkan tahu kalau aku sama Kean sudah berjuang sejauh ini. Ya sudah mulai sekarang kalau ada tamu nggak usah dibukain pintu. Atau kalau mereka tetap maksa, bilang saja aku sudah menikah.” Nikahnya sama aku saja! Semangat Rafael menjadi menggebu-gebu “Eh ... jangan ngomong begitu nanti jadi susah jodoh,” sergah Sofia terdengar khawatir. “Sebenarnya Mama kenapa? Sebelumnya juga adem-ayem. Kenapa mendadak membahas pernikahan?” “Mama sama Papa bingung. Mama sama Papa sudah terlalu banyak menolak lamaran, Ny.” “Ya sudah. Bilang kalau aku sudah nikah di Bandung.” “Tapi harus ada bukti. Kalau mereka tanya mengenai resepsi dan seperangkatnya bagaimana?” “Ya ampun ... memangnya setiap pernikahan harus ada resepsi? Harus ada woro-woro, haiii, anak saya sudah menikah? Ya ya ... sebentar lagi pemerintah memang akan membuatkan sertifikat pernikahan. Sudahlah, Ma. Jangan bahas ini lagi.” Di tengah keseriusannya berbincang dengan Sofia melalui telepon, Sunny baru ingat kalau Rafael masih bersamanya. Benar saja, ketika ia menoleh ke belakang, wajah pria itu berada tepat di hadapannya dan kenyataan itu juga yang membuatnya buru-buru mundur. “Siapa yang meminta Anda menguping?” ucapnya sewot sesaat membekap ponselnya. Rafael menggeleng dan memberikan ekspresi wajah tak berdosa. “Siapa yang menguping? Hanya kebetulan mendengar saja. Aku kan nggak b***k. Lagi pula kamu ngomongnya juga kayak orang demo, teriak-teriak!” Gaya bahasa Rafael berubah. Sunny merasa seperti sedang berbicara dengan orang yang sudah dekat dengannya. Namun tetap saja, ia merasa harus tetap jaga-jaga dari Rafael yang baginya memiliki kepribadian ganda. “Kenapa kamu lebih memilih masa depan yang nggak jelas? Kamu nggak tahu, kan, apa yang dilakukannya di luar negeri? Bagaimana kalau dia ada main dengan wanita lain? Kamu di sini setia-setia, tapi akhirnya sia-sia? Hanya menjaga jodoh orang dan menunda masa depanmu sendiri?” celetuk Rafael. Rafael memang bertutur dengan santai, tidak meledak-ledak seperti sebelumnya. Akan tetapi, apa yang pria itu lakukan sangat melukai Sunny. Bahkan karenanya, detik itu juga benih-benih benci begitu tumbuh pesat dalam diri Sunny untuk pria itu. Apa hak Rafael berkata seperti itu mengenai hubungannya dengan Keandra? Memangnya pria itu siapa? “Sabar, Sunny. Kamu dan Kean sudah melangkah sejauh ini. Bahkan Kean sampai mau LDR dan sekarang sedang sangat berjuang. Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan indah pada waktunya,” batin Sunny. Sunny melirik sinis Rafael. “Kita lihat saja, sampai kapan kamu betah mengejarku! Dasar bos gila!” gumamnya. Rafael yang mendengar gumaman Sunny menjadi tersenyum miris sambil sesekali menghela napas. Karena entah kenapa, apa yang Sunny ucapkan sungguh membuatnya merasa lucu. “Kita sama-sama lihat, ya. Sampai kapan kamu bisa menghindariku!” tegas Rafael dengan santainya. Sunny yang mendengarnya kembali melirik sinis Rafael. “Apa yang kurang dari aku? Aku ini sempurna, Sunny. Aku punya segalanya dan aku juga sangat penyayang! Berhentilah berharap padanya yang masih sangat tidak jelas!” “Yang seharusnya berhenti itu Anda. Sudah, jangan jadi duri hubungan orang!” Sunny sengaja menjaga jarak dari Rafael. Namun Rafael yang menyadarinya juga langsung mengejar. Begitu seterusnya hingga akhirnya Sunny menjerit saking kesalnya menghadapi bosnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN