2. Bertolak Belakang

1505 Kata
Dengan langkah yang sedikit tergesa, gadis berambut sebahu itu berlari untuk mencari tempat teduh. Berlindung dari hujan yang tiba-tiba mengguyur ibu kota di pagi hari ini. Dingin seketika menyeruak menyusup hingga ke tulang, membuat orang-orang rasanya ingin terus-menerus berada dalam balitan selimut tebal saja, hingga hujan berhenti. Namun, hal itu tentu saja tidak dapat dirasakan oleh seorang pelajar sepertinya-kecuali dirinya memang termasuk ke dalam jajaran siswa-siswi bandel yang sering membolos. Gadis dengan nama lengkap Nadhira Prasasti-atau yang lebih akrab disapa Nadhira-itu, memasukkan kedua tangannya ke saku hoodie yang ia kenakan untuj menghalau dingin. Di saat yang tidak tepat seperti ini, perutnya malah keroncongan karena belum sarapan. Hujan-hujan begini memang paling mudah membuat seseorang merasa lapar, ya?  Akhirnya Nadhira memutuskan untuk duduk di kursi halte yang sepi, berteman dengan rinai hujan yang terus berlomba-lomba untuk jatuh ke bumi. Gadis itu menghela napas kasar sembari membuka tas punggungnya. Ia mengeluarkan kotak bekal berwarna biru muda dan membuka penutupnya. Daripada ia semakin merasa kelaparan, akan lebih baik jika dia memakan bekalnya sekarang, bukan? Padahal seharusnya, bekal itu untuk dimakannya saat jam makan siang nanti, tetapi ya ... mau bagaimana lagi jika ia sudah merasa lapar di saat seperti ini?  "Tolong dong, hujannya berhenti dulu sebentar. Biarin gue ke sekolah dulu deh, habis itu mau hujan lagi juga nggak apa-apa," monolog gadis itu sambil mendongak menatap langit yang masih mendung. Tak terasa, nasi goreng kecap yang ia makan sudah habis berpindah ke perutnya. Dia memang benar-benar lapar, rupanya. Gadis itu kemudian memutuskan untuk menyimpan kotak bekalnya kembali ke dalam ransel dan meneguk air yang berada dalam botol miliknya, sambil terus memperhatikan hujan yang tersisa rintik-rintik. "Kalo diterobos aja, basah nggak ya, kira-kira?" Gadis itu menadahkan tangannya untuk memeriksa kira-kira hujan masih terasa deras atau tidak. Setepah memastikan jika ia tidak akan terlalu basah, akhirnya Nadhira segera berlari kecil untuk sampai ke sekolahnya yang masih lumayan jauh itu. Beruntung ia masih menemukan angkutan kota atau yang biasa disebut angkot di jam-jam mepet seperti ini, hingga bisa membawanya sampai ke sekolah tepat waktu. Ya, semoga saja ia benar-benar tidak terlambat kali ini.  ****** Devan menyuap nasi goreng dan mengunyahnya dengan cepat seolah-olah ia akan segera tertinggal pesawat. Um, mungkin perumpamaan ini terkesan aneh, tetapi orang-orang sering menggunakannya. Setelah itu, ia juga meneguk s**u dari gelasnya secara brutal, membuat ayah dan bundanya berdecak karena melihat sang putra yang tampak begitu bersemangat menghabiskan sarapannya. Ah, tidak. Bukan bersemangat, tetapi terburu-buru seperti dikejar waktu.  "Pelan-pelan, Devan ...." Risyad memperingatkan sang putra, agar makan dengan pelan, tetapi Devan tidak mendengarkannya.  "Udah telat, Yah," ujarnya sebagai pembelaan.  "Iya, tapi makannya pelan-pelan. Nanti tersedak." Bundanya juga gemas sekali saat melihat Devan yang susah diberi tahu begitu.  "Iya Bunda, ini udah mau habis." Dinda kemudian mengulurkan tangannya untuk mengacak pucuk kepala Devan, sambil membenahi tatanan rambut sang putra. "Besok ke barber shop ya, Nak? Rambutnya sudah panjang banget gini," ujar Dinda gemas, saat melihat rambut Devan yang terlihat panjang itu.  Devan hanya manggut-manggut saja, mengiyakan. Ia masih fokus menandaskan sarapannya yang tersisa beberapa suapan lagi.  "Di luar masih hujan, lho, Nak." Dinda menarik piring bekas makan putra dan suaminya itu, untuk ditumpuk menjadi satu. "Jaketnya jangan lupa dipakai, ya?" Lagi-lagi, Devan hanya mengangguk sebagai jawaban, membuat sang bunda jadi gemas dan menghadiahi pipi putranya itu dengan cubitan.  "Sakit, Nda ...." Devan merengek sambil memajukan bibirnya ala anak bebek. Hal itu jelas membuat ayah dan bundanya terbahak. Devan memang kadang aneh-aneh saja, sih. Bikin gemas. "Ayah ayo buruan, nanti keburu telat," ajaknya kepada sang ayah yang masih sibuk memperhatikannya.  "Iya-iya, ayo cepat." Risyad menghela napas pendek sambil mengacak pucuk kepala Devan.  "Sini, dasinya bunda pakaikan dulu." Dinda mendekat menghampiri sang putra, lalu dengan telaten memasangkan dasi di kerah seragam yang Devan kenakan.  Omong-omong, Devan memang sering lupa memakai dasinya sendiri, membuat Risyad hanya bisa berdecak pelan sambil menggerutu protes, "Kebiasaan." ****** Perundungan di sekolah, sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nadhira. Dia memang bukan gadis cupu yang akan diam saja saat teman-temannya berlaku tak adil kepadanya. Kalau bisa, ia pasti akan melawan. Namun, saat statusnya kembali dibuka di hadapan publik, seketika itu juga Nadhira merasa seperti layaknya orang tak berguna. Ia paling benci saat asal muasal dirinya hadis di bumi ini selalu saja dibongkar ke permukaan oleh orang-orang tak bertanggung jawab itu.  Nadhira lahir 16 tahun lalu, di mana sang ibu meninggal setelah memperjuangkannya untuk melihat dunia ini. Setelah kelahirannya, orang-orang berkata jika keluarga sang ayah tidak menerima kehadirannya karena sudah membuat sang ibu meninggal saat melahirkannya. Alhasil, ia akhirnya dibuang dengan dalih dititipkan di sebuah panti asuhan. Begitu kiranya cerita yang sempat Nadhira dengar dari selentingan kabar dari orang-orang disekitarnya.  Orang-orang juga berkata jika dirinya hanyalah anak hasil hubungan di luar nikah, yang membuat keluarga dari pihak mendiang ibunya pun tak sudi untuk merawatnya. Dia dianggap sebagai pembunuh, karena telah membunuh ibunya. Padahal, Nadhira sendiri tak pernah melihat wajah ibunya secara langsung. Tak mengerti bagaimana rasanya pelukan dan kasih sayang ibunya, tetapi mereka dengan tidak berperikemanusiaan selalu mencap dirinya sebagai pembunuh.  Nadhira akhirnya diasuh di sebuah panti hingga berusia lima tahun kala itu. Untunglah, ada sepasang suami istri yang berbaik hati mengadopsinya. Namun, semua itu tak bertahan lama. Saat usianya 12 tahun, kedua orang tua angkatnya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat yang membuatnya kembali sendirian. Dunia semakin terasa berat sekali menindih bahunya, kala ia harus membanting tulang hanya demi sesuap nasi untuk menyambung hidup.  Keluarga dari kedua orang tua angkatnya itu, sebenarnya masih ada. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang sudi menerima kehadirannya. Beruntungnya mereka masih memberi izin Nadhira untuk menempati rumah penuh kenangan itu, hingga waktu yang tak bisa ia tentukan. Mungkin saja, dia bisa terusir kapan pun dan Nadhira belum siap akan itu.  ***** "Seriusan, Dev?" Wajah antusias dari seorang Dimas Danendra Catra Nugraha, membuat Devan mengernyitkan dahinya. Bingung, melihat sikap kelewat antusias sahabatnya yang begitu tiba-tiba itu.  "Biasa aja kali, Di," celetuk Devan sambil melipat kedua tangannya di depan d**a.  Dimas-sapaan akrabnya itu berdecak, kemudian merangkul bahu Devan dengan gerakan sembrono. Membuat Devan nyaris saja oleng dibuatnya. "Gue serius, Dev. Beneran dikasih izin, lo?" tanya pemuda itu, kali ini dengan wajah serius dibuat-buat.  "Iya, iya," jawab Devan akhirnya, sambil menghela napas pendek.  Mendengar jawabannya Devan, membuat Dimas melompat layaknya anak kecil. Pemuda itu bahkan memeluk Devan dan mengajaknya berputar-putar hingga Devan merasa pusing. Ini kalau kekasihnya sampai tahu, seperti seru sekali untuk menjadi bahan ejekan. Devan mau mengadukannya saja, deh.  "Di," panggil Devan setelah sahabatnya itu berhenti mengajaknya berputar-putar dan tengah menikmati rasa pusing bersama-sama sambil saling berpelukan seperti pasangan sesama jenis.  "Hmm?"  "Si Seira belum ganti nomer hape kan?" tanya Devan.  Dimas mengangguk sembari melepaskan pelukan dari Devan dan sedikit memberi jarak dengan sahabatnya itu. "Iya, belum. Buat apa emang?" tanya Dimas penasaran. Wajahnya berubah seketika dengan mata yang menyipit. "Jangan bilang, lo mau nikung gue, ya?" Devan tersenyum miring, "Gue nggak doyan nikung," jawabnya santai, membuat Dimas menghela napas lega. "Gue doyannya langsung lamar." Satu detik, dua detik, Dimas masih terdiam. Namun, saat ia mulai sadar, kedua matanya sontak membulat sempurna, lalu meringis kemudian. "Gila, gila. Serem banget anak kecil main lamar aja," ucap Dimas dengan tatapan tak percaya, lalu tertawa terbahak-bahak. Sementara Devan sudah memasang wajah asam, karena dia tak suka dikatai anak kecil.  Usia Devan dan Dimas hanya berjarak satu tahun, di mana Dimas saat ini berusia 16 tahun. Akan tetapi, tentu saja tidak hanya dengan Dimas, karena seluruh siswa-siswi kelas XI juga berjarak satu tahun lebih tua dari Devan, bahkan ada yang sudah berusia 17. Ceritanya, Devan yang paling bontot di kelasnya dan masih sering dianggap sebagai anak kecil. Hanya saja, anak kecil mana yang tinggi badannya sudah seperti Devan, sih?  "Ayang Dimas ... Ayang Devan!" Dua nama yang dipanggil itu, seketika menutup telinga mereka karena merasa pengang seketika. Seisi kelas, yang hanya tinggal beberapa orang siswa saja, berubah menjadi riuh. Saling mendesah malas dan protes, akan ke-toaan suara seorang pemuda dengan tingkat kewarasan yang minim itu.  Darrel nama panggilannya. Teman sekelas Devan yang satu itu, memang selalu menghilang paling pertama saat bel istirahat berdering. Tak peduli walaupun agak mengganggu guru yang baru saja melangkah keluar. Tipe-tipe teman laknat tidak setia kawan, yang senang sekali meninggalkan Dimas dan Devan berdua di kelas. Memang seharusnya Devan tidak perlu mengakuinya sebagai teman, sih.  "Najis tau gak, Rel," dengkus Devan dan Dimas kompak.  Namanya Darrel Artha Rishaka, dan tentu saja usianya sudah bisa ditebak, bukan? Yup, 16 tahun. Pemuda itu hanya menunjukkan cengirannya yang khas, sambil iklan ala-ala pasta gigi. "Dev, seriusan lu mau ikut basket?" tanya Darrel langsung, tanpa basa-basi lagi. Ia duduk di meja, sambil merangkul Devan yang malah melongo diam di tempatnya.  Setan ini tahu dari mana, sih? Begitulah kiranya pikir Dimas dan Devan saat itu.  "Siapa yang bilang, coba?" tanya Devan santai. Kini, pemuda itu bisa menguasai dirinya.  Melihat reaksi temannya itu, membuat Darrel mengernyit bingung, "Loh?" "Gue? Ikutan basket? Ilang kali, kepala gue dipenggal sama ayah," jawab Devan kemudian.  Darrel mendesah, "Iya juga yak. Kabar burung perkutut, berarti." "Tapi emang bener, sih," cetus Devan seketika, membuat Dimas mengulum senyum dan Darrel melongo tak percaya.  "Anjir, seriusan?!" ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN