1. Kesayangan

1406 Kata
Dengan lembut, rambut hitam legam itu diusap perlahan. Membuat pemiliknya menggeliat semakin nyaman, dalam lembutnya sentuhan yang mampir di pucuk kepalanya.  "Sayang, bangun nak ...." Suara lembut itu, mengalun indah di telinga pemuda yang masih berada dalam alam mimpinya.  "Sayang, ayo bangun dulu. Nanti waktu subuhnya keburu habis, lho." Kecupan lembut serta usapan penuh kasih sayang di pucuk kepalanya, membuat si pemuda perlahan mulai mengerjapkan matanya sembari mengerang dengan suara parau, khas orang bangun tidur biasanya.  "Akhirnya ...." Si pemilik suara lembut tadi—bundanya—mendesah lega saat ia berhasil membuat si pemuda terbangun. Ia menyunggingkan senyum tipis, kala melihat sosok malaikat kesayangannya itu, tengah sibuk berkomat-kamit membaca doa bangun tidur. Setelahnya, pemuda itu terlihat menyeka air liur yang menempel di sudut-sudut bibirnya menggunakan lengan kaus oblong yang ia kenakan, membuat sang bunda meringis seketika menahan jijik.  "Anak bunda jorok banget sih, masyaallah," gerutu bundanya itu, dengan dahi berkerut dan sedikit menjauhkan tubuhnya dari sang putra.  Pemuda itu membuka lebar kedua matanya, sambil menguap sekali lagi. "Biarin," cetusnya tanpa dosa. "Namanya juga bangun tidur, Nda. Masa iya langsung lap meja? Iler dulu, dong biar kece." Sang bunda mengernyit jijik, "Kece dari mananya sih, Nak? Jorok yang ada. Malu sama cewek-cewek, tahu." Sementara itu, si pemuda hanya menampilkan cengar-cengir andalannya. Si hobi ngeles yang satu itu, memang sangat cocok menjadi sopir bajaj deh, sepertinya. Pasalnya, ia hobi sekali mengelak. Usianya baru 15, tetapi keterampilan mengelaknya jangan ditanya lagi. Dialah jagonya.  Wanita cantik yang dipanggil 'bunda' itu terkekeh. Tangan kanannya terulur merapikan rambut hitam putranya yang berantakan. "Ya udah. Sekarang, ambil wudu gih! Habis itu, salat subuh, ya?" Pemuda itu mengangguk, "Ayah mana?" Hal yang menjadi kebiasaan pemuda itu adalah mencari keberadaan sang ayah saat bangun tidur. Dia memang lengket sekali dengan ayahnya, omong-omong. Makanya tidak heran, jika yang pertama kali ia tanyakan setelah bangun tidur adalah ayahnya.  "Lagi meditasi," jawab bundanya itu diiringi kekehan. Garing! Pemuda itu bahkan tidak tertawa sama sekali karenanya. Bundanya itu memang tidak berbakat menjadi pelawak, sepertinya. "Bercanda. Ayah lagi nungguin kamu di ruang tengah. Makanya, kamu cepetan salat gih!" Pemuda itu perlahan turun dari ranjang empuknya menuju kamar mandi. "Nda ... mau nasi goreng, ya, buat sarapan?" pintanya setelah berada di dalam kamar mandi.  "Iya, nanti bunda buatkan," jawab sang bunda yang tengah merapikan tempat tidur anak tersayangnya itu.  Entah mengapa, selalu saja terselip rasa bangga dan syukur tiada akhir yang menjalar di hati perempuan 38 tahun itu. Didikannya bersama sang suami selama ini, berbuah begitu manis. Sang putra kini tumbuh seperti apa yang ia dan suaminya inginkan dan ia bahagia.  Selesai dengan urusan tempat tidur sang putra, wanita cantik itu memilih untuk menyiapkan seragam yang akan dikenakan putranya, lalu segera turun ke bawah dan membuat sarapan. Meninggalkan putranya yang kini sedang asyik melakukan konser dadakan di dalam kamar mandi—seperti yang sudah-sudah—sambi geleng-geleng kepala tak habis pikir.  Omong-omong, pemuda itu memang hobi sekali menyanyi asal. Apa pun lagu yang pernah mampir di telinganya, pasti akan ia nyanyikan ulang dengan aransemen dadakan yang sengaja ia buat untuk menghibur diri. Ah, tidak juga. Itu adalah bagian dari kegilaannya saja, sepertinya. Akan tetapi, tak apa-apalah. Selama tidak ada orang yang merasa dirugikan akan kebiasaannya, sang pemuda tetap melanjutkan kegiatan favoritnya itu, hingga nyawanya terkumpul sempurna untuk segera mandi dan menghadapi dinginnya air di pagi hari yang masih gelap ini.  ***** Devandra RAP Zildhan, nama pendeknya. Mau tahu nama panjangnya siapa? Tarik napas yang dalam, lalu embuskan. Tarik napas lagi yang dalam, jangan diembuskan.  Bercanda.  Nama lengkapnya adalah Devandra Riddi Angkasa Pratama Zildhan. Putra dari Risyad Abdi Pratama dan Dinda Putri Angkasa itu, kini tumbuh menjadi pemuda (sok) imut, tampan dan tidak mempesona. Ya, lagi pula, siapa yang akan terpesona dengan anak manja seperti dirinya, sih? Saking manjanya, ia malah terkadang masih sering disuapi ketika makan, diantar jemput ketika pergi dan pulang sekolah, serta banyak hal lagi. Tak hanya dimanjakan oleh kedua orang tua dan keluarganya saja, tetapi oleh semua orang. Benar, semua orang. Dapat dibayangkan bukan, betapa manjanya ia?  Usianya memang baru 15 tahun, tetapi jangan disangka jika ia masih duduk di bangku SMP. Percaya tidak percaya, Devan sudah kelas XI SMA, sekarang. Waktu itu, dia curi start duluan saat memasuki sekolah dasar sebab peraturan soal usia peserta didik belum seketat sekarang, saat itu. Devan juga tidak seperti anak-anak pada umumnya yang ingin bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Taman Kanak-kanak setelahnya, sebab Devan langsung ingin dimasukkan ke sekolah dasar dengan alasan jika seragam merah putih akan terlihat lebih keren jika ia yang memakainya. Sudah bisa dibayangkan bukan, bagaimana Devan sewaktu kecil dulu?  Di usia empat tahun lebih lima bulan, ia sudah duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika kelas 4 SD, Devan mengikuti akselerasi atau kelas percepatan, hingga akhirnya dia bisa berada di kelas XI SMA di usia 15 tahun seperti sekarang.  Devan, memang terlihat nakal. Ia juga terkesan manja, bahkan menyebalkan. Akan tetapi, untuk urusan otak? Jangan ditanya lagi. Predikat siswa termuda di kelas, masih ia pegang sampai kelas XI seperti sekarang. Di mana mayoritas siswa-siswi kelas XI sudah berusia 16, bahkan sudah ada yang 17 tahun.  Devan itu terlahir prematur di usia kandungan 31 minggu pada 28 Desember 15 tahun silam. Banyak orang berkata jika seorang bayi yang terlahir prematur itu, biasanya berbeda. Terbukti kepada Devan sekarang.  Orang bilang, anak yang lahir prematur itu unik. Sekalinya dia bodoh, akan selamanya dia seperti itu. Akan tetapi, sekalinya dia pintar, maka akan selamanya juga seperti itu. Hal itu terjadi kepada Devan, sebagai buktinya. Ia tak pernah absen mendapatkan gelar juara umum, dari SD, SMP, sampai sekarang. Ah iya, satu-satunya kelebihan Devan yang begitu akrab di mata teman-temannya adalah 'tidak sombong'. Hal yang jarang sekali dimiliki orang-orang di zaman sekarang.  "Yah, udah yuk, balik. Devan laper nih, belum sarapan," rengek Devan sembari memegangi lututnya dalam posisi ruku.  Pria 39 tahunan itu menghela napasnya, sembari menyeka keringat dari pelipis dengan handuk kecil yang ia sampirkan di leher. "Iya, habis ini pulang," ujarnya.  Jelas sekali terdengar gemuruh suara perut yang kelaparan. Dari siapa lagi kalau bukan Devan?  "Yah, ayo cepat. Nanti nasi goreng buatan Bunda keburu dingin. Nggak enak lagi, tahu," ajaknya sudah tak sabar. Membuat Risyad rasanya gemas sekali ingin mencubit ginjal putra manjanya itu. Kalau Devan sudah mulai cerewet seperti ini, memangnya dia bisa apa? Daripada Devan ngambek dan urusan menjadi semakin panjang, lebih baik dituruti saja.  Putranya itu memang sudah besar. Bahkan, tinggi badannya saja sudah menyamai dirinya sendiri. Terlebih lagi ia masih dalam masa pertumbuhan. Jadi, bukan tidak mungkin jika tinggi badan Devan akan melebihi tingginya sendiri nantinya.  "Ya sudah, ayo cepat." Keduanya kembali melemparkan tungkai masing-masing untuk kembali ke rumah. Mereka memang terbiasa melakukan lari pagi seperti ini, kalau sedang tidak malas. Risyad bilang, udara pagi sangat bagus untuk kesehatan, makanya Devan yang sayang sekali dengan sang ayah itu, mau tak mau harus menurut. Lumayan juga bisa mengumpulkan keringat dan pahala karena biasanya, ia akan bertemu dengan banyak orang—para asisten rumah tangga atau tukang kebun di kompleks perumahannya itu—lalu menyapa mereka lewat senyuman. Devan suka itu.  "Assalamualaikum, Bunda! Anakmu yang paling ganteng dan mempesona ini, pulang!" Teriakan heboh Devan, sontak membuat Risyad geleng-geleng sembari mengusap pucuk kepala putranya itu dengan sayang. "Jangan teriak-teriak begitu, Nak. Malu sama tetangga," nasihat Risyad membuat Devan memberikan cengiran terbaiknya kepada sang ayah.  "Keceplosan, Yah," ujarnya sambil cengar-cengir.  Sebenarnya, Risyad tidak marah. Ia bahkan gemas melihat kelakuan Devan yang agaknya tak pernah berubah sejak dulu. Masih sama, dan menggemaskan seperti biasanya. Membuat Risyad merasa tak ingin melihat Devan tumbuh lebih besar dari ini. "Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu ya? Terus siap-siap. Biar ayah antar nanti ke sekolahnya," ujar Risyad sambil menyunggingkan senyum tipis dan langsung dihadiahi anggukan oleh Devan. Setelahnya, pemuda itu segera mengambil langkah menuju kamarnya.  Sementara itu, Risyad memilih untuk menghampiri sang istri yang tengah sibuk memasak sarapan di dapur dan berniat merecokinya sebentar.  "Devan mana?" tanya sang istri langsung, begitu melihat sang suami berjalan mendekat. "Tadi kedengaran heboh banget. Sudah disuruh mandi, Yah?" "Sudah," jawab lelaki itu singkat. Ia mengambil gelas, lalu mengisinya dengan air di dispenser.  Dinda tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, "Ya sudah. Kalau begitu, ayah mandi gih sana? Bajunya udah bunda siapin. Mau antar Devan, kan? Atau bunda saja?" "Biar ayah saja, sekaliam ke kantor," jawabnya sambil membersihkan gelas yang ia pakai tadi, di wastafel.  "Oke," ucap Dinda seraya memberikan senyum manis kepada sang suami dan membiarkan Risyad melangkah menuju kamar sementara dirinya kembali sibuk melanjutkan masakannya yang sempat tertunda.  ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN