3. Alasannya?

1216 Kata
"Yah, boleh ya? Please ...." Risyad menghela napas pendek, sambil menatap putranya itu dengan tatapan sinis, "Memangnya apa faedahnya kalau kamu ikut?" "Buat tambah pengalaman, Yah," jawab Devan dengan tatapan memelas.  "Selain itu, ada?" tanya Risyad dingin. Hal itu justru membuat Devan menghela napas panjang. Agaknya, sampai kapan pun sang ayah tidak akan pernah memberinya izin sama sekali. "Biar keren tahu, Yah," ujarnya masih berusaha membujuk sang ayah. "Mana tahu Devan jadi kapten tim gitu, kan? Wuih, tambah mantul nggak tuh, liatnya? Mantap betul." Sang ayah berdecak sekali, "Kalau ayah nggak kasih izin, gimana?" Tuh, kan. Apa Devan bilang? Pemuda itu menunduk sembari menghela napas panjang. Memperhatikan ujung-ujung kakinya yang ia gerak-gerakkan dalam diam, kemudian berujar pelan, "Kalau Ayah nggak kasih izin, ya udah ...." Risyad memperhatikan gerak-gerik putranya, yang tampak sangat kecewa itu. Seketika terbesit rasa bersalah dalam hatinya, tetapi mau bagaimana lagi? Ia melarang Devan seperti ini karena tak ingin terjadi sesuatu terhadap putranya itu. Ia tak mau sampai lalai seperti dulu-dulu lagi untuk keselamatan Devan. Tidak akan pernah lagi.  "Devan ke atas dulu, Yah," ucap Devan tiba-tiba, membuat Risyad tersadar dari lamunannya.  Baru saja Risyad ingin membuka mulutnya untuk berbicara, putranya itu sudah mulai menaiki satu-persatu anak tangga dengan langkah cepat menuju kamarnya. Risyad mendesah. Entah, keputusannya benar atau tidak, yang jelas ia merasa bersalah sekarang. Tak tega rasanya melihat Devan yang kehilangan semangatnya seperti itu, walaupun semua demi kebaikannya. ****** Devan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, melipat kedua tangannya sebagai bantal, sementara matanya fokus melihat ke langit-langit kamar. Sesekali, pemuda itu menghela napas panjang, seolah-olah membuat beban di pundaknya dapat berkurang di setiap embusan napas. Cukup lama berada di posisi itu, Devan kemudian memilih duduk lalu beranjak menuju lemari di hadapannya. Mengambil sebuah kotak kayu berukuran berukuran sedang yang digembok. Ia merogoh sakunya dan mendapati sebuah kunci di sana. Di mana kunci itu selalu ia bawa kemana pun ia pergi. Setelah kotak itu terbuka, Devan meraih sebuah bola basket yang sudah lama dibelinya. Tersenyum miring sambil memutar bola itu di tangannya. "Sayang banget ya, dibeli tapi nggak pernah dimainin," ujar Devan kepada benda mati itu.  Di dalam kotak itu juga terdapat satu setel baju basket, lengkap dengan nomor punggung dan namanya yang tercetak rapi di sana. Ia menyunggingkan senyum miris, "Beneran sayang banget nggak kepake." Sebenarnya, Devan tidak marah kepada sang ayah yang tak memberinya izin untuk kembali bermain basket. Hanya saja, ia kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri karena dia tak bisa seperti yang lain.  Devan kemudian memilih kembali menyimpan semua isinya ke dalam kotak, dan mengembalikannya ke tempat asal. Mungkin, barang-barang itu akan selalu tersimpan sampai ia tua nanti dan tak pernah dipakai?  ****** Dinda mengernyitkan dahinya bingung, saat melihat suaminya yang tampak tengah memikirkan sesuatu. Ia kemudian mendekat, lalu bertanya, "Kamu mikirin apa sih, Yah?" Risyad menoleh dan menatap istrinya itu dengan dahi berkerut tipis, "Memangnya kelihatan banget, ya?" tanyanya seperti orang bodoh.  "Iyalah, Mas." Dinda mengangguk, sebagai jawaban. "Kita sudah 18 tahun menikah, masa iya aku nggak hafal semua kebiasaan kamu?" Benar juga, pikir Risyad. Lelaki itu menghela napas pendek, kemudian menatap istrinya dengan tatapan serius. "Menurut kamu, aku kasih izin nggak, ya?" Bukannya mengerti, Dinda malah dibuat semakin kebingungan. "Izin apa, sih?" tanyanya yang membuat Risyad akhirnya menceritakan saat putra mereka meminta izin untuk mengikuti ekstrakurikuler basket, tadi.  Setelah mendengar cerita sang suami, Dinda meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan sang suami, lalu mengusapnya dengan lembut. "Menurut kamu, baiknya gimana?" Risyad berdecak kesal, "Kamu ini, aku minta saran malah ditanya balik," gerutunya. Mendengar protesan dan sang suami, membuat Dinda tertawa kecil, lalu memasang wajah serius kemudian. "Gini deh, Mas. Kamu percaya nggak, sama anakmu?" Risyad mengangguk, "Percaya." "Kalau kamu percaya, harusnya kasih izin, dong?" Dinda tersenyum hangat sembari meyakinkan sang suami, jika semua pasti akan baik-baik saja.  "Tapi aku nggak yakin buat kasih izin ke dia, Nda ...." Risyad mengusap wajahnya dengan kasar, membuat Dinda menaikkan salah satu alisnya bingung.  "Kenapa coba?" "Kamu tahu sendiri alasanku apa, kan?" Dinda berdecak, "Jangan terlalu posesiflah, Mas." "Kayak kamu enggak, aja," cibir Risyad tak mau kalah, sementara Dinda malah tertawa kecil. Wanita itu kemudian menepuk bahu sang suami sekali, kemudian berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.  "Semua keputusan ada di kamu, Mas. Aku tahu kalau kamu pasti punya keputusan yang terbaik," ujar Dinda kemudian.  ****** Devan menuruni satu persatu anak tangga, dengan langkah lemas. Malas rasanya ia ke sekolah hari ini. Semalam saja, ia melewatkan makan malam hanya karena menghindari sang ayah, dan rasanya pagi ini ia ingin melakukan hal serupa, tetapi mustahil untuk dilakukan. Ah sudahlah, seharusnya ia bersikap biasa saja, bukan?  Ia akhirnya mendudukkan bokongnya di samping sang bunda, sementara dari wajahnya terlihat sekali jika ia sedang malas sekarang. Dinda yang melihat wajah putranya tampak asam begitu, praktis bertanya, "Ini kenapa sih, mukanya anak bunda ditekuk gini?" Devan menggeleng, "Nggak apa-apa," jawabnya sambil melihat nasi goreng favoritnya yang tersaji di atas meja, sama sekali tidak membuatnya tertarik atau mood-nya kembali. Intinya, dia sedang malas makan.  "Kenapa?" Devan menoleh pada sumber suara yang sangat ia kenali. Siapa lagi kalau bukan ayahnya? Sebenarnya, Devan malas menjawab pertanyaan sang ayah, tetapi ya daripada dia dibilang anak durhaka, bisa berabe nantinya. "Enggak," jawabnya pada akhirnya. Itu pun dengan jawaban singkat yang terkesan malas. Ia tidak marah dengan ayahnya itu, tetapi mood-nya benar-benar sedang buruk sekarang.  Dinda menyajikan sepiring nasi goreng, kehadapan putranya itu. Lengkap dengan segelas s**u vanila. Devan hanya meliriknya sekilas. Tak berniat menyentuh sarapannya.  "Kenapa sayang?" tanya Dinda. Kali ini, tangannya mulai meraba dahi sang putra. Barangkali, putranya itu demam.  "Devan nggak apa-apa, Bunda," ujarnya malas.  "Kalau gitu, sarapannya dimakan dong." Dinda berusaha membujuk putranya itu, tetapi Devan malah terlihat ogah-ogahan.  "Nggak lapar," jawab Devan. Ia hanya meraih gelas berisi s**u lalu meneguknya perlahan hingga s**u itu tandas. Melihat Devan yang seperti ini, membuat Dinda jadi kebingungan sendiri untuk mengembalikan semangat putranya yang hilang itu.  "Devan berangkat," ujar Devan tiba-tiba, membuat Dinda terkejut seketika.  "Loh, Ayahnya belum selesai sarapan, Nak," tahan Dinda kemudian.  "Berangkat sendiri aja," jawab Devan sambil berusaha menyalami tangan sang ayah, "Devan berangkat, Yah." Baru saja ia akan bergerak, tangannya seketika ditahan oleh sang ayah yang menatap dengan tatapan datar.  "Biar ayah antar," ujar Risyad dingin.  "Sendiri aja, bisa naik angkot," jawab Devan lengkap dengan dengkusan kecil sebab mood-nya benar-benar semakin memburuk sekarang. Sementara itu, Dinda hanya diam memperhatikan dia lelaki kesayangannya itu saling melempar tatapan dingin satu sama lain.  "Duduk, habiskan sarapannya," ujar Risyad dengan ekspresi yang terlihat tak mau dibantah. Devan bisa apa kalau ayahnya sudah bilang begitu? Walaupun ia sudah benar-benar merasa malas, tetapi mau tak mau akhirnya ia menurut saja.  "Makan," ucap Risyad lagi.  "Nggak lapar, Yah." Risyad mendengus. "Makan atau kamu nggak akan ayah kasih izin buat main basket?" Devan awalnya ingin mendengkus keras, tetapi seketika, manik matanya membulat. "Hah, apa Yah?" Dinda mengulum senyumnya. Ia tahu, akhir dari percakapan tak penting ini sebenarnya.  "Ayah rasa, kamu belum tuli, Devan." "Jadi, beneran boleh, Yah?" tanya Devan antusias yang langsung dijawab Risyad dengan dehaman pelan. Seketika itu juga, Devan rasanya ingin melompat kegirangan dan langsung memeluk tubuh sang ayah dengan erat, "Makasih Yah, makasih," ujarnya. Ah, Devan jadi ingin menangis rasanya.  "Tapi ada syaratnya," ucap Risyad, membuat Devan terdiam. Haruskah ada syaratnya? "Syarat dari Ayah, gampang, jaga diri, jaga kesehatan. Jangan capek-capek, jangan ke-" "Iya Yah, siap! Devan sayang Ayah." *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN