4. Sabar, Ini Nasib

1251 Kata
Nadhira menghela napasnya sekali, sembari mengusap keringat yang membasahi dahinya. Gadis dengan potongan rambut pendek itu menekuk wajahnya sepanjang jalan. Cuaca terik dan menyengat, membuat suasana hatinya bertambah buruk saja.  Di sekolah, ia mendapatkan perundungan dan setelah pulang sekolah tadi, niatnya dia ingin langsung pergi ke kafe tempatnya bekerja. Namun, sialnya entah apa kesalahannya, ia dipecat begitu saja. Amplop cokelat di tangannya berisi uang pesangon—yang Nadhira sendiri tak tahu berapa isinya. Apakah cukup untuk kehidupannya ke depan, sampai ia mendapat pekerjaan lagi?  "Nadhira!" Gadis itu praktis menoleh, saat namanya dipanggil. "Jovi," gumam Nadhira pelan.  Di sana, seorang pemuda dengan wajah tampan dan senyum manisnya tengah berlari mendekatinya. "Dari mana?" tanya pemuda itu.  Joviazka Wilson, nama lengkapnya. Salah satu most wantednya, SMA Jaya Pertiwi, di mana Nadhira menuntut ilmu. Kapten basket berprestasi, ketua OSIS dan tentunya cerdas. Tak hanya di bidang non-akademik, tetapi juga di bidang akademik.  Nadhira meneguk salivanya. Tak bisa dipungkiri, jika pesona seorang Jovi memang sangat kuat. Namun, Nadhira harus ingat satu hal, dia harus menjauhi Jovi.  Nadhira tersenyum tipis, demi menghargai pertanyaan Jovi. "Jalan-jalan aja, sekarang mau pulang," jawab Nadhira. "Lo, dari mana?" Jovi tersenyum, manis sekali. "Gue dari toko buku tadi," ucap Jovi. Terlihat, dari mata Nadhira, di mana sebuah kantung plastik yang tengah Jovi tenteng.  "Oh," tanggap Nadhira.  Jovi menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Lo mau pulang kan, Dhir?" Nadhira mengangguk, "Iya." "Bareng gue, mau?" Mau banget, batin Nadhira. Akan tetapi, sayangnya ia tidak boleh mengiyakan hal itu jika hidupnya ingin tenang keesokan harinya. Dengan tak enak hati, ia menggeleng, "Nggak usah, Jovi. Makasih." Jovi tersenyum tipis, lantas mengusap pucuk kepala gadis itu. Hal yang Jovi lakukan, praktis membuat Nadhira membeku seketika di tempatnya. "Bareng gue aja, biar sekalian diantar." "Tapi ...." "Gue gak terima penolakan," ucap Jovi lembut.  Bagaikan tersihir, Nadhira langsung menurut. Suasana hatinya seketika membaik, bahkan hanya karena bersama dengan Jovi. Apakah semua perempuan selalu seperti ini? Mudah baper akan perlakuan kecil dari seorang lelaki?  "Makasih Jo," ucap Nadhira saat Jovi membukakan pintu mobil miliknya, yang terparkir tak jauh dari posisi mereka tadi.  "Belum juga sampe, Dhir. Udah makasih aja." Jovi tertawa kecil, hingga membuat Nadhira ikut tertawa dibuatnya. Ah, sepertinya memang benar jika tawa itu menular.  -----D----E----V----A----N----- Devan menyeka keringatnya sendiri dengan punggung tangan, sembari mendudukkan bokongnya di kursi.  "Minum, Dev." Sebotol air mineral dilempar kearahnya dan dengan sigap, langsung ditangkap oleh Devan.  Devan menatap si pelaku dengan tatapan sinis, pasalnya dia merasa kaget karena dilempar botol begitu saja. Beruntung refleksnya bagus. Siapa lagi si pelaku kalau bukan Dimas?  Pemuda itu praktis mendekat ke arah Devan, mengambil kembali botol yang sudah ia lemparkan tadi, lantas membuka penutupnya. "Santai, bro ... santai, jangan marah-marah." Dimas cekikikan karena melihat ekspresi sebal yang sahabatnya berikan kepadanya sekarang. "Minum dulu minum. Biar hatinya adem." Devan merebut paksa botol air tadi, lalu meneguk isinya, "Makasih!" ucapnya tak ikhlas dan bahkan terdengar ngegas.  Melihat itu, Dimas semakin mengencangkan tawanya, membuat Devan ingin sekali menyiram kepala Dimas dengan air yang ia minum.  Hening beberapa saat di antara keduanya, hingga akhirnya Dimas membuka pertanyaan, "Darrel ke mana?"  "Gue kocekin tadi," jawab pemuda itu asal.  Rasanya, Dimas ingin memukul kepala sahabatnya itu. Hanya saja, ia masih punya hati dan bukan untuk disakiti. Eh?  "Gue nanya beneran, bege!" kesal Dimas sambil mendengkus keras.  Devan mengangkat bahunya acuh, "Ya manalah gue tau. Emangnya gue pegangin kakinya?" Selain bersabar, Dimas tak tahu lagi harus bagaimana. Pasalnya, di situasi seperti ini, Devan sulit sekali diajak bicara serius. Melantur dan selalu saja tidak jelas. Untungnya, Dimas sudah hafal bagaimana Devan, jadi, ia tak perlu merasa harus melakukan k*******n terhadap sahabatnya itu.  "Dev," panggil Dimas, setelah suasana terasa canggung beberapa saat.  Devan bergumam sebagai jawaban. Ia tengah memainkan ponselnya untuk mengirimi pesan kepada sang bunda, karena hari ini ia akan pulang telat, tidak seperti biasanya.  "Besok, gue annive satu tahun, sama Seira," ujar Dimas sambil memandang ke arah sahabat bontotnya itu.  "Oh," tanggap Devan. "Berarti gue minta PJ." Pj apaan, wei? Dimas membatin sambil memberikan tatapan sinis kepada pemuda yang duduk di sampingnya itu. "Dev," panggilnya kemudian. "Apa?" Kali ini, suara pemuda itu dibuat selembut mungkin, demi menghargai Dimas dengan harga seribu perak. Bercanda.  "Besok gue sama Seira anniv." Dimas mengulang kata-katanya yang tadi. Ya, siapa tahu saja jika Devan tadi salah dengar, makanya menanggapi apa yang ia katakan dengan asal-asalan.  "Iya, paham gue, paham. Lo udah bilang tadi, kan?" Dimas mengangguk membenarkan. "Nah, ya udah kalo gitu. Gue minta PJ, bener, kan?" Bodo ah, capek. Dimas membatin dengan ekspresi muka datar. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari topik bahasan yang baru. Langsung kepada intinya saja. "Kira-kira, gue kasih apaan ya, Dev?" tanya Dimas dengan wajah lebih serius, berharap jika Devan kali ini menjadi lebih waras daripada yang tadi.  Devan menoleh sebentar ke arah sahabatnya itu dengan dahi berkerut, "Menurut gue ...." Ia memilih menggantung kalimatnya sejenak. Padahal, Devan sendiri tahu, jika digantung itu tidak enak. "Lo cukup traktir gue, sama Darrel bakso, selama seminggu. Itu aja udah cukup. Gak perlu pake acara bingung segala," sambungnya kemudian, dengan nada santai yang membuat Dimas rasanya ingin menangis.  Kenapa sih, ia harus memiliki teman seperti Devan? Kalau misalnya ia mengarungi pemuda itu, lalu dilempar ke laut saja, boleh tidak? Emosi soalnya lama-kelamaan menghadapi seorang Devan dalam posisi seperti ini. Serius. Dimas merasa batinnya tertekan dan jiwanya tersiksa sekarang. Oke, Dimas terlihat lebay. "Dev," panggil pemuda itu setelah cukup lama diam karena menahan kesal.  "Apa?" tanya Devan dengan tampang sok polosnya itu, ketika melihat Dimas yang menatapnya sinis.  Dimas diam saja selama beberapa saat, sementara dalam hatinya sudah mengumpat. Cepat waras, Dev. Cepat waras, batinnya sungguh-sungguh.  Awalnya, suasana tampak tenang-tenang saja---terlepas dari kekesalan dalam hati Dimas yang memuncak seketika---hingga suara cempreng yang sudah keduanya hafal siapa pemiliknya, terdengar. Membuat keduanya kompak menghela napas panjang, setengah frustrasi.  "Tuh, bayi yang lo cari tadi, akhirnya nyamperin, kan?" Devan berdiri dari duduknya saat sosok Darrel muncul dengan setengah berlari menghampiri keduanya. Sementara Devan sendiri, memilih pergi dari tempatnya dan meninggalkan Dimas sendirian dengan Darrel yang sepertinya kembali kumat, gilanya.  "Lah, Dev. Lo mau ke mana, wey? Gue dateng malah kabur. Duh-duh, dasar nggak sopan ya, kamu." Darrel geleng-geleng sambil berdecak beberapa kali.  "Mau cari kitab suci yang hilang," jawab Devan asal, sambil terus melangkahkan kakinya yang panjang. "Oh," sahut Darrel santai.  Setelah Devan berlalu, Darrel mengernyit kebingungan, saat melihat wajah Dimas yang ditekuk. Dengan cukup kuat, ia menepuk bahu Dimas, hingga membuat pemuda itu terlonjak kaget.  "Kaget, bodoh!" seru Dimas dengan wajah kesal bukan main. Tadi Devan, sekarang Darrel yang sama saja tidak punya akhlak seperti ini.  Darrel tertawa kecil, lantas merangkul bahu sahabatnya itu, "Lo kenapa sih, Mas?"  Dimas menatap Darrel sinis, "Mas-mas, dikira gue abangnya lo, apa?" Pemuda itu kesal jika dipanggil 'mas' karena menurutnya sangat tidak cocok untuknya.  "Weh-weh, tolong sadar diri ya, Anda." Darrel tidak terima karena ucapan Dimas barusan. "Jelas-jelas ya, di geng Trio D, lo yang paling tua. Inget umur!" "Apaan Trio D, ngaco. Lagian, siapa juga yang mau satu geng sama lo?" Dimas berkata cuek, dengan wajah yang semakin terlihat kesal.  "Aduh, baperan deh, Masku." Darrel mencolek dagu sahabatnya itu, hingga membuat Dimas kontak meradang karenanya.  "Panggil gue Di, Di, Di!" Dimas akhirnya berteriak karena sudah tak tahan lagi untuk sabar. Pemuda itu kemudian berdiri dari duduknya dan bergerak meninggalkan Darrel.  "Weh, Di. Mau ke mana lo?" tanya Darrel dengan setengah berteriak. "Jangan baperan gitu dong, Woi!" "Bodoh amat!" ucap Dimas tak kalah keras, membuat Darrel hanya bisa mengusap d**a.  Sabar, sabar. Orang sabar harus ganteng---maksudnya orang ganteng harus sabar, batinnya sambil tersenyum tabah. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN