Bab 10. Keputusan Akhir Lean

1848 Kata
Hari berlalu, dan Lean masih kukuh untuk tidak menanggapi panggilan telepon maupun chat dari mereka. Hanya kiriman foto tempat tidurnya yang berantakan setelah dipakai bercinta dua anjing gila itu satu-satunya yang Lean balas. Dia cuma mengirim selembar foto apartemen mewah milik Vian. Itu saja sontak membuat Vina blingsatan saking kepo dimana kakaknya sekarang tinggal. Mungkin Vina pikir tanpa Sakha, hidup kakaknya akan sengsara. Atau bisa jadi dikira apartemen milik Lean itu adalah pemberian Sakha. Makanya sampai sebegitu dengki datang kesana dan berbuat m***m di kasur yang biasa kakaknya tiduri. Sinting! Benar-benar tidak waras. Hari ini Jeje dan anak buahnya datang ke apartemen Lean untuk membereskan barang-barang di sana. Tak ada yang Lean ambil selain barang yang dia beli sendiri. Memantau lewat video call, dia memberitahu Jeje mana yang harus diambil, atau dibuang. Semua pemberian Sakha biar semahal apapun dia campakkan. Sampai kemudian Sakha datang dengan membawa anak buahnya berusaha menghentikan Jeje. Dia ngotot meminta mereka memanggil Lean datang. Sialnya karena pria b******k itu lebih tahu dimana Lean menyimpan barang berharganya, Sakha mengambil ijazah dan mengancam akan merusaknya. Itulah kenapa kemudian Lean terpaksa datang kesana. Menunggu di lobi apartemen, Sakha, Vina dan ayahnya melotot melihat Lean turun dari mobil sport keluaran terbaru. Otak kotor mereka mulai berburuk sangka, dan mengira yang bukan-bukan ke Lean. “Wow, hebat sekali minggat dari rumah bisa tinggal di apartemen mewah dan naik mobil sport. Dokter kere sepertimu dapat uang dari mana? Kecuali jadi simpanan om-om berduit!” sambut Vina dengan hinaan begitu kakaknya mendekat. Lean hanya tersenyum, lalu duduk di sofa tunggu lobi tanpa peduli Sakha dan papanya mendelik. Saat mantan calon suaminya berusaha mendekat, Jeje dan Pras bodyguard keluarga Lin itu langsung menghadangnya. “Jangan karena kamu jadi p*****r simpanan Sakha, lalu menganggapku sama murahnya denganmu.” “Lalu kamu tinggal di apartemen mewah siapa? Mobil sport itu juga, punya siapa?” cecar Sakha. “Bukan urusanmu! Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi, jadi aku juga tidak punya kewajiban menjelaskan ke kalian!” tegas Lean. Tidak, hatinya sudah tak lagi sesakit waktu itu. Mungkin sudah mati rasa, saking jijik dan kecewa dengan kelakuan mereka. Tangisnya sudah selesai. Lean tidak ingin sebodoh itu tersakiti oleh pria sampah yang tak layak dicintai. “Aku papamu. Apa cukup berhak tahu dimana kamu tinggal sekarang dan dari mana mendapat fasilitas mewah itu?!” lontar Tama Wicaksana. Leandra tertawa dengan tatapan mengejeknya. Merasa lucu karena justru disaat seperti ini, pria itu menyebut dirinya sebagai papanya. “Selama ini kemana saja, baru sekarang bilang sebagai papaku? Itupun karena penasaran aku punya fasilitas mewah. Mobil itu seharga milyaran, tentu lebih mencolok daripada tangan anakmu yang masih terbalut perban. Iya, kan?” cibir Lean terkekeh sinis. Tama terdiam menatap tangan kanan anaknya. Malam itu saking panik dengan Vina yang diamuk oleh mama Sakha, dia sampai tidak sempat memikirkan Lean yang lari keluar. “Bagaimana dengan tanganmu?” tanyanya, tapi Leandra justru tertawa terkekeh sambil menggeleng. “Dari sejak peristiwa malam itu sampai sekarang, ratusan chat yang Papa kirim tidak satupun menanyakan keadaanku. Hanya desakan untuk pulang menyelesaikan masalah ini, dengan menyuruhku membujuk orang tua Sakha supaya menerima Vina dan bayi di perutnya. Terpikir tidak aku dimana? Sehancur apa hati dan mentalku? Juga bagaimana luka di tanganku? Tidak sama sekali. Begitukah seorang papa ke anaknya?” sahut Lean menampar telak harga diri Tama Wicaksana sebagai orang tua. “Kalau iri, ngomong! Dasar tidak tahu terima kasih! Hidupmu saja sudah dicukupi pakai uang mamaku! Memangnya kamu mau menuntut apalagi?” seru Vina. “Papa dengar itu, kan? Tahu apa artinya? Papa dianggap tidak berguna. Cuma benalu yang menumpang hidup. Itu kenapa aku selalu diinjak. Dan mirisnya, papaku sendiri pura-pura tuli dan tidak melihat semua.” “Leandra!” “Jangan bahas itu dulu, Lean! Pernikahan tinggal dua hari lagi. Tolong pulang, ya? Kita selesaikan secara baik-baik. Aku dan orang tuaku akan menuruti apapun permintaanmu, asal kamu melanjutkan rencana pernikahan kita. Ya?” ucap Sakha memohon. “Mana ijasahku?” Bukannya menjawab tuntutan Sakha, Lean justru balik bertanya. Matanya kemudian melirik map biru berisi ijazah dan surat penting lain miliknya yang berada di belakang pria itu. “Aku tidak akan memberikannya, kalau kamu tidak ikut aku pulang dan menikah sesuai rencana!” ancam Sakha. “Kamu tahu kenapa aku menjual apartemen ini?” tanya Lean dengan mata menguar penuh amarah, lalu beralih ke Vina yang menyeringai puas. “Nggak usah drama! Apartemen ini juga kamu dapat dari Sakha, kan? Lalu apa salahnya kalau aku pinjam sebentar? Toh, juga bukan dibeli dengan uangmu!” Tepat seperti dugaan Lean. Pelakor sialan itu mengira apartemen ini pemberian Sakha, jadi sengaja mengotorinya untuk mengusir Lean pergi. “Tanya ke Sakha mumpung orangnya juga disini! Apakah dia punya andil atas pembeliannya?! Aku bukan perempuan serakah seperti kamu dan ibumu yang mengincar Sakha karena hartanya. Apartemen ini aku beli dengan hasil jerih payahku sendiri. Paham?!” bentak Lean. “Cih, sok mengelak!” “Diam! Lean membeli dengan uangnya sendiri, dan menolak sepeserpun bantuanku!” sahut Sakha. “Iya, dan bangsatnya kalian berdua justru tidak tahu malu memakai kasurku untuk berbuat tak senonoh! k*****t! Dasar tidak punya otak! Kelakuan kalian seperti binatang yang menjijikkan!” seru Lean menggelegar keras. Sengaja biar orang-orang disana mendengar sebejat apa kelakuan seorang Sakha Ardhana. Papa Lean terperangah kaget, lalu menoleh ke Vina yang justru terkekeh bangga. Sedang Sakha bungkam pucat pasi. “Hebat anak kesayangan Papa. Kelakuan binalnya persis seperti mamanya!” “Lean!” tegur Tama. “Apa? Tidak terima? Tapi, seperti itulah kenyataannya. Aku susah payah membeli apartemen ini tanpa minta bantuanmu sedikitpun, tapi lihat apa yang dilakukan p*****r sialan ini dan pria b*****t itu! Mereka bergumul di tempat tidurku. Anjing, kan!” umpat Lean sampai papanya dan Sakha terdiam. Selama ini Lean tidak pernah mengumpat, apalagi sekasar itu. Beranjak berdiri dari duduknya, Lean melangkah mendekat ke Sakha. Jeje dan Pras berjaga-jaga, karena di belakang juga ada anak buah Sakha. “Sampai sejauh ini kamu tetap tidak tahu malu memaksaku untuk tetap menikah denganmu. Aku sama sekali tidak tergiur harta orang tuamu, jadi jangan pikir bisa membujukku dengan iming-iming status sebagai Nyonya Ardhana. Beberapa hari ini aku bahkan merasa lebih bahagia lepas dari orang-orang toxic seperti kalian. Silahkan lanjut drama kalian. Aku tidak tertarik jadi salah satu pemeran di dalamnya!” “Jangan harap kamu bisa pergi dariku, Lean! Kamu milikku. Selamanya akan tetap begitu!” tegasnya tanpa merasa ada yang salah dengan ancamannya. “Dalam mimpimu!” balas Lean menyeringai, lalu menyambar map itu. Sayangnya Sakha kembali bisa merebutnya. Jeje sudah hampir maju, ketika kemudian dibuat terperangah melihat Lean menyambar tangan Sakha dan memelintirnya ke belakang. Pria itu meringis, lalu Lean menendang kakinya hingga jatuh berlutut di lantai. “Lepas!” seru Vina menghambur hendak menampar kakaknya, tapi Lean menjambak rambutnya dengan tangan satunya sampai tersungkur. Setelah merebut map di tangan Sakha, Lean menendang punggung mantan calon suaminya hingga terjerembab mencium lantai. “Cukup, Lean! Keterlaluan kamu! Adikmu sedang hamil. Bagaimana kalau sampai bayinya kenapa-napa?!” gertak Tama. Tidak, Lean tidak sakit hati lagi kena bentak papanya yang membela adiknya. Dia sudah terbiasa sejak kecil diperlakukan begini. Dijadikan pihak yang salah dan dipaksa mengalah. “Pa, anggaplah sebagai balas budiku karena Papa sudah memberiku tempat berteduh dan makan sejak kecil. Jadi, aku kabulkan keinginan Papa yang memintaku mengalah dan menyerahkan calon suamiku untuk Vina.” “Beneran? Kamu tidak akan menyesal dan berubah pikiran kembali ke Sakha, kan?” sahut Tama berbinar senang. “Tidak, tapi ingat sebentar lagi kalian pasti akan menangis darah! Dulu Papa menyakiti mama demi gundik murahan itu. Dan sekarang, menyakitiku demi anak haram Papa! Luar biasa jahatnya Anda!” ucap Lean dengan tatapan mata getirnya. “Papa juga terpaksa, karena hanya dengan cara itu adikmu dan anak di perutnya bisa terselamatkan,” gumam Tama. “Terselamatkan dengan mengorbankan aku. Bukankan sejak dulu selalu begitu? Lupa atau sudah terbiasa?” cibir Lean. “Om Tama, bisa-bisa Om justru menuntut Lean pergi dariku! Yang salah itu Vina sudah menghancurkan hubungan kami. Bahkan sampai sekarang orang tuaku tetap kukuh tidak mau menerima jika aku menikahi Vina, meski dia hamil! Aku tidak akan menikah selain dengan Lean!” seru Sakha emosi. “Tapi, aku tidak sudi menikah dengan pecundang berkelakuan sampah sepertimu! Melihat mukamu saja aku muak, apalagi harus menikah dan hidup bersamamu! Nikahi saja anak p*****r sialan itu. Kalian serasi kok!” ujar Lean dengan langkah anggun menjauh dari sana. “Leandra! Kamu pasti akan menyesal!” teriak Sakha tanpa sanggup mengejar, karena dibuat tidak berkutik oleh Jeje dan Pras. Sambil membawa mapnya Leandra berhenti dan berbalik. Menyeringai sinis mengacungkan jari tengahnya ke Sakha yang makin tersulut dan mengumpat kasar. Dia melangkah keluar, lalu naik ke mobil sport merah yang Vian pinjamkan selama beberapa hari ini. “Tidak, dia tidak menyesal telah memilih meninggalkan pria sampah itu. Selama ini dia terlalu bodoh menuruti keinginan Sakha yang terlalu posesif dan tidak suka dirinya bergaul dengan banyak teman. Nyatanya di luar sana banyak orang-orang baik yang bahkan rela mengulurkan tangan saat dirinya terpuruk, tanpa syarat. Ponselnya berdering. Senyum merekah di bibir Lean begitu melihat nama Vian muncul di layar. Dia meraih earbuds nya dan memasang di telinga. “Halo ….” “Kamu dimana? Tidak apa-apa, kan? Ijazahnya sudah balik?” cecar Vian terdengar khawatir. “Banyak banget pertanyaannya. Mau dijawab yang mana dulu?” gurau Lean balik bertanya dengan senyum gelinya. “Terserah!” dengus Vian, pasti mulai merengut lagi. Namun, membayangkan itu Lean justru terkekeh. “Aku barusan pergi dari apartemen. Ijazahnya juga sudah balik. Ada Jeje dan Pras disana, tentu saja aku tidak akan kenapa-napa!” Helaan nafas lega Vian terdengar jelas di telinga Lean. Beberapa hari tinggal seatap, Lean makin melihat sisi lain seorang Vian. Meski irit ngomong dan lebih sering bersikap menyebalkan, tapi dia pria baik juga tidak tegaan. “Kamu jemput aku ke kantor, ya?” pintanya di seberang sana. “Mobilmu kenapa?” tanya Lean, karena tadi pagi Vian berangkat bawa mobil sendiri. “Tidak kenapa-napa, cuma ingin mengajakmu ke rumah Om Sat sebentar. Sekalian nanti mau cari hadiah buat acara baby showers nya Kak Shera. Kamu yang bantu pilihkan.” Lean yang sedang berhenti di lampu merah meringis. Malu bertemu dengan keluarga angkat Vian. Apalagi rumah mereka masih satu komplek dengan Dokter Sifa. “Lean …” “Ok, aku ke kantor sekarang!” “Tunggu di ruanganku. Aku masih meeting di lantai atas.” “Hm …,” angguk Lean sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka. Mau tidak mau dia memang harus bertemu dengan keluarga Vian untuk mengucapkan terima kasih. Melihat gelagat mereka tadi, sepertinya pernikahan akan tetap digelar dengan Vina yang menggantikan posisinya sebagai mempelai wanita. Tidak apa, sekarang dia sudah bisa berlapang hati merelakan apa yang bukan takdirnya. Lean akan memulai hidupnya yang baru. Tanpa bayang-bayang mereka yang sudah sedalam ini menyakitinya. Toh, sejak kecil dia sudah biasa sendiri. Papanya terlalu sibuk dengan keluarga barunya, dan tidak pernah menganggapnya ada. Sama seperti mamanya yang pergi membawa adiknya, dan tidak pernah peduli lagi padanya. Salah apa dirinya hingga orang tuanya pilih mencampakkannya begini. Bahagia yang tidak seberapa di genggamannya, juga akhirnya terampas tanpa sisa. Entah derita apalagi yang menantinya setelah ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN