Hampir setengah jam duduk menunggu Vian di ruang kerjanya membuat Lean mulai jenuh. Tidak ada yang menarik untuk dilihat di ponsel. Diam juga membuat pikirannya ngelantur kemana-mana. Dia sudah terlalu muak jika harus mengingat lagi tentang mereka dengan segala sepak terjang dan mulut kotornya. Beranjak bangun, Lean menuang kopi dan berdiri menatap gedung-gedung menjulang di luar sana. Kota yang tak pernah mati, tapi lucunya dia kesepian di tengah hiruk-pikuknya. Kadang dia berpikir, apakah mama dan adiknya juga masih berada di kota yang sama? Kalau iya, kejam sekali sampai puluhan tahun tidak pernah mau datang menjenguknya. Seandainya dulu dia yang dibawa pergi mamanya, apakah nasibnya juga akan semenyedihkan ini? Apakah hidup adiknya lebih bahagia? Dia tidak pernah minta dilahirkan, ta